Tuesday, October 03, 2006

Krisis Timur Tengah dan Paradoks Demokrasi Barat

Oleh ZACKY KHAIRUL UMAM

Gempuran dahsyat Israel sebulan lebih atas Lebanon sudah tak terkira. Israel terus melakukan serangan yang membabi buta terhadap Lebanon demi melumpuhkan Hezbollah. Bukan hanya kematian berserakan di mana-mana, kehidupan bahkan peradaban Lebanon telah mundur setengah abad ke belakang.

Negeri yang dulu identik dengan Swiss-nya Arab kini terisolasi dan sarat dengan suasana yang hancur dan tak teratur. Situasi politik Timur Tengah semakin memanas, sementara dunia menunggu kepastian aksi perdamaian dan gencatan senjata yang tidak kunjung datang.

Jika hanya karena ulah Hezbollah yang menangkap dua serdadu Israel yang dijadikan alasan kuat gempuran Israel sesungguhnya hanya dalih belaka. Israel di bawah PM Ehud Olmert, warisan politik Sharon, tidak ingin kemenangan Hamas (Harakat al-Muqawwama al-islamiyya) di Palestina berulang dengan semakin kuatnya pengaruh Hezbollah di Lebanon. Secara politik, munculnya kekuatan “baru” revivalisme politik Islam di beberapa negara Arab akan menjadi batu sandung Israel.

Munculnya fenomena revivalisme politik Islam disertai dengan instrumen brigade bersenjata, seperti Hezbollah dan seterusnya, secara faktual menjadi kekuatan perlawanan bagi rezim Israel yang “konservatif”. Itulah mengapa tindakan Israel selalu diamini Amerika Serikat (AS). AS justru malah mengambil sikap diam dan alot dalam membangun rezim perdamaian alternatif di forum internasional sekelas PBB. Interdependensi Israel-AS menjadi jelas sebagai sekutu hipokrit dalam Peace Road Map dan demokrasi, yang justru mereka dengungkan.

Hezbollah dan radikalisme (Islam)

Keinginan kuat Israel dan Barat (terutama AS) untuk menekan Hezbollah dan kekuatan radikalisme Islam, secara umum, harus dipertanyakan. Persoalannya, benarkah demokratisasi di Timur Tengah dibangun dengan cara-cara yang fair dan demokratis? Ataukah proyek demokratisasi Timur Tengah oleh AS membenarkan kepentingan pragmatis di kawasan itu? Di sini perlu dikritik lubang hitam demokrasi (liberal) yang dipaksakan, bukan kesadaran. Rezim the old one yang jumud dengan berlindung di balik retorika demokrasi sudah saatnya mendapat counter-hegemony secara mondial.

Politik internasional AS (dan Barat) yang ditopang oleh Israel di Timur Tengah untuk mereduksi radikalisme harus dibongkar ulang. Intervensi Barat di Timur Tengah yang ditandai dengan kuatnya pengaruh AS di Arab Saudi (House of Bush House of Saud, Craig Unger, 2004), Irak, Afghanistan, dan seterusnya semakin menguatkan banyak kalangan kritis-progresif untuk mempreteli retorika Barat.

Dalam perspektif eksistensi yang periferal, maka munculnya ideologi Islam radikal yang berupaya menjadi simbol perlawanan Barat hingga aksi bom bunuh diri dan ancaman serta aksi teror—selain perlawanan perang—harus dilihat dengan kacamata luas sebagai manifestasi politik identitas modern, ketimbang sebagai sebuah afirmasi terhadap budaya tradisional Islam. Ia sebuah format ideologi perlawanan yang lahir dari rahim modernitas yang timpang.

Maka, radikalisme Islam bukan sesuatu yang asing. Ia sama barunya sebagai ekses modern dan amat akrab dengan Barat sejak mulainya gerakan politik ekstrem. Fakta bahwa ini adalah modern tidak kemudian menjadi sesuatu yang tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana kemudian mencari akar persoalan dan solusi yang mungkin terhadap masalah tersebut.

Francis Fukuyama (Journal of Democracy, volume 17, April 2006) sependapat dengan sarjana Perancis terkemuka, Oliver Roy dalam bukunya Globalized Islam, bahwa radikal Islam kontemporer merupakan sebuah bentuk politik identitas. Akar radikalisme Islam bukanlah kultural, yaitu bukanlah sebuah produk dari ajaran Islam atau sistem budaya di mana agama ini lahir. Akan tetapi radikalisme ini muncul karena Islam menjadi terperdayakan/ lemah, dengan mengambil cara membuka kembali pertanyaan tentang identitas sebagai Muslim.

Jika logika radikalisme Islam dipahami sebagai produk politik identitas dan fenomena modern sebagaimana tesis Fukuyama, maka masalah radikalisme dan ideologi perlawanan terhadap Barat ialah reaksi atas lahirnya hegemoni dunia Barat yang timpang. Politik mondial dari rahim modernitas telah melahirkan posisi sentral untuk Barat dan periferal bagi “yang lain” (The Rest).

Untuk itu, masalah radikalisme dan terorisme Islam tidak akan dapat dipecahkan dengan membawa modernisasi dan demokrasi di Timur Tengah. Kabinet Bush memandang terorisme ini didorong oleh kurangnya demokrasi. Padahal, faktanya terdapat banyak teroris menjadi radikal di negara-negara demokratis Eropa. Sangat naif jika berpikir bahwa Islam radikal membenci Barat tanpa peduli dengan apa itu Barat.

Resep demokrasi bagi krisis Timur Tengah dengan demikian semakin memperkuat tudingan bahwa Barat punya agenda super-pragmatis di kawasan tersebut. Radikalisme, terorisme, dan ramalan musuh ciptaan Barat berikutnya di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya, sesungguhnya hanya dijadikan dalih di balik kepentingan politis Barat dengan agenda demokrasi yang sebenarnya semu.

“Endisme” yang pongah

Persoalan ini akan semakin terang ketika paradigma Barat sebagai pemegang otoritas peradaban terkini (super power) masih dipegang sebagai nubuat historis yang benar adanya. Yakni, paradigma yang berangkat dari klaim “endisme” (endism) bahwa Barat dan demokrasi liberal merupakan “akhir sejarah”, “akhir ideologi”, atau “akhir negara-bangsa”. Akhirnya Barat merasa superior untuk membangun imperium dunia, sementara “yang lain” harus taklid. Sehingga klaim ini menjadi justifikasi bagi “benturan peradaban” (clash of civilizations) Sungguh pongah!

Paradigma tersebut harus dikritik melalui keniscayaan pluralisme mondial yang saling melengkapi: bahwa realitas di luar dunia Barat merupakan komplemen bagi tata dunia yang berimbang dan berkeadilan, bukan saling menegasikan. Sehingga muncullah keniscayaan semacam oksidentalisme Muslim dengan semangat mengimbangi hegemoni Barat.

Konsekuensinya, demokrasi global untuk mereduksi illiberal democracy (Fareed Zakaria) bukan diwujudkan dalam panorama yang paradoks. Diplomasi transformatif Amerika model baru yang mengakui negara-negara lain (baca: Arab dan Islam) sebagai partership dalam membangun demokrasi global jangan hanya sekedar retorika untuk mengukuhkan unilateralisme dan fundamentalisme baru yang terselubung.

Kritik bagi demokrasi “gombal” gaya Barat melalui permisivisme politik mondial yakni demokrasi semu yang melahirkan embrio perlawanan di pelbagai negara. Lebih tepatnya, pemaksaan demokratisasi yang justru menimbulkan resistensi politik identitas atas kezaliman politik dan tirani (Barat). Oleh karena itu, tindakan semena-mena dengan menghalalkan segala cara untuk menggapai demokratisasi, seperti cara Israel menggempur Lebanon, adalah “biadab”. Sebab demokrasi meniscayakan keberadaban. Sampai kapan? []

Agustus 2006

Zacky Khairul Umam,
Mahasiswa Program Studi Arab, FIB UI

Busway, Solusi atau Masalah?

Oleh AHMAD JAYADI

Kehadiran Busway selama kurang lebih dua tahun semenjak tahun 2004 telah menuai banyak kontroversi serta kritik di kalangan masyarakat, terutama dari kalangan masyarakat bawah. Pasalnya proyek Busway yang mulanya bertujuan untuk memecahkan masalah kemacetan di Jakarta tersebut, kini malah menjadi penyebab kemacetan itu sendiri. Parahnya lagi, proyek tersebut telah membuat banyak orang kehilangan mata pencahariannya yang notabene mengandalkan trotoar sebagai ladang usahanya, seperti penambal ban, warung-warung, dan yang lainnya.

Kemacetan, kecelakaan merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dengan adanya kehadiran jalur Busway tersebut. Rencana pemerintah untuk memecahkan permasalahan kemacetan di Jakarta dengan menghadirkan Busway, telah dianggap gagal oleh sebagian masyarakat. Namun walaupun telah dianggap gagal oleh sebagian masyarakat, pemda DKI Jakarta tetap melaksanakan perluasan koridor Busway tersebut di beberapa daerah DKI Jakarta. Lalu mengapa masyarakat menganggap gagal proyek tersebut? Ada beberapa alasan mengapa proyek tersebut dianggap gagal.

Pertama, proyek tersebut dalam pembangunannya tidak memperhatikan luas jalan yang ada. Koridor Busway I memang dirasa cukup sukses untuk menangani masalah lalu lintas, hal tersebut dikarenakan kondisi luas jalan di koridor tersebut cukup luas untuk diambil sebagian jalurnya. Namun dalam koridor- koridor selanjutnya, Pemda dirasa kurang memperhitungkan kondisi luas jalan yang akan dibangun Busway. Kondisi jalanan yang biasanya sudah macet tanpa adanya jalur Bus way tersebut, kini semakin diperparah dengan adanya jalur khusus Busway.

Kedua, proyek Busway tersebut tidak dibarengi dengan pembatasan kendaraan pribadi. Bila pertumbuhan kendaraan pribadi tidak dikendalikan dan diatur dengan cukup baik oleh Pemda, maka proyek Busway tersebut akan menjadi hal yang sia-sia, karena kunci kemacetan di kota Jakarta adalah jumlah kendaraan pribadi yang tak terkendali.

Ketiga, kehadiran Busway dirasakan sebagai pesaing utama bagi kendaraan umum lainnya. Tidak sedikit dari para supir angkutan umum mengeluh dengan adanya kehadiran kendaraan yang dirasakan cukup eksklusif tersebut. Income yang mereka dapat turun drastis setelah kehadiran Busway tersebut, karena para penumpang yang biasanya menaiki kendaraan mereka, kini beralih kepada Busway.

Proyek Busway terus berlanjut, namun akhirnya pemerintah diharapkan dapat lebih memperhitungkan langkah-langkah berikutnya yang akan diambil dalam melaksanakan proyek tersebut sehingga nantinya tidak menimbulkan kekecawaan lebih lanjut di kalangan masyarakat.

September 2006

AHMAD JAYADI
Anggota Forum Lintas Batas
Mahasiswa JIP FIB UI

Monday, October 02, 2006

IHSAN

Muhammad Ihsan Tahore, siapa orang Indonesia yang tak kenal dia sekarang? Pria asal Medan ini adalah pemenang Indonesian Idol 3. Mungkin dia tidak mengira dirinya bisa menjadi terkenal seperti sekarang ini. Banyak media cetak maupun elektronik yang memuat profilnya. Dan tentu saja nomor antri untuk tawaran manggung dan jobs telah dibuka.

Seperti halnya tokoh-tokoh yang memiliki kharisma, dalam kontestasi menyanyi tersebut Ihsan memiliki jamaah yang loyal dan jutaan jumlahnya. Janganlah membuat janji pada Jumat jam 8 malam. Karena, anak-anak, ABG, ibu-ibu atau bapak-bapak tak bisa untuk melewati tayangan live itu. Gara-gara Ihsan dan Indonesian Idol, banyak acara ditunda, banyak janji dibatalkan. Jutaan orang tak mau beranjak dari layar kaca. Mereka ingin melihat (sosok) menampilan dan kemampuan Ihsan yang bisa membuat jamaahnya bernyayi, tersenyum, tertawa, teriak histeris bahkan meringis dibanjiri air mata. Dan ketika terpilih menjadi pemenang, entah berapa banyak orang yang berucap syukur dan mengharu biru.

Padahal, siapa yang dulu tahu siapa Ihsan? Pemuda yang lahir pada 20 Agustus 1989 ini, tinggal bersama ayah yang bekerja sebagai penarik ojek. Dan untuk meringankan beban hidup keluarga, sepulang sekolah Ihsan pun membantu menggarap kebun kecil yang ditanami singkong. Tak banyak orang yang dulu tahu dan mengenal Ihsan. Anak muda yang lahir di tengah-tengah “kekurangan” hidup.

Tetapi itu (juga)lah yang membawa Ihsan menjadi pemenang Indonesian Idol 3. Di permukaan panggung spektakuler yang megah dan gemerlap itu, “kekurangan” yang biasanya menjadi kelemahan, menguak muncul sebagai kekuatan yang hebat dan dahsyat. Kekuatan yang bisa menyihir jamaahnya untuk tidak berkedip. Kekuatan yang bisa mengajak banyak pemirsa untuk bernyanyi. Kekuatan yang mendorong dan menggerakan otot-otot dan sendi-sendi tangan untuk menekan tombol ponsel sebagai bentuk pemberian dukungan dan harapan. Tidak hanya sekali-dua kali, tetapi berkali-kali dilakukan.

Sama halnya dengan Veri dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI) atau Wulan dalam Penghuni Terakhir, “kekurangan” di situ menjadi pembeda yang tidak dimiliki oleh kontestan lain, seperti halnya perbedaan suatu produk dalam teori marketing. “Kekurangan” yang hadir mengundang banyak simpati dan ikatan emosi yang kuat, sehingga membuat orang yang menyaksikannya mengeluarkan dan mengorbankan apa yang dimiliki.

Tentu saja dunia hiburan tahu dan mendukung hal ini. Tidak hanya dalam kontestasi semacam Indonesian Idol, AFI dan Penghuni Terakhir, dalam acara yang lain kekurangan menjadi barang obralan yang bisa dijadikan hiburan pemirsa, memperoleh rating yang tinggi dan mendatangkan banyak keuntungan.

Jika kita bandingkan dengan fenomena yang ada disekitar kita, mungkin semua itu seperti halnya dengan pengemis-pengemis atau pengamen-pengamen yang bertebaran di jalanan. Mereka berlomba-lomba untuk unjuk kekurangan. Kekurangan dipresentasikan. Kekurangan diperlihatkan oleh pemiliknya justru bukan sebagai kelemahan tetapi sebagai “kekuatan”. Kekuatan yang mendatangkan ikatan emosi, simpati, iba dan tentu saja tumpukan rupiah. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

Di Balik Kontroversi Revisi UU Ketenagakerjaan:

antara Pola Kebijakan Pengembangan Dunia Usaha dan Tuntutan Akan Perlindungan Hak-hak Kemanusiaan*
Oleh TAUFIK HIDAYAT

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Saat ini penduduk Indonesia diperkirakan lebih dari 220 juta jiwa. Pada dasarnya penduduk merupakan salah modal terpenting dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar apabila dilatih dan dibina sehingga memiliki produktifitas yang tinggi dan menjadi sumber daya manusia yang handal akan menjadi modal dasar yang efektif dalam mengelola dan mencapai tujuan pembangunan. Artinya, disini terdapat kaitan yang sangat erat antara dunia ketenagakerjaan dengan aspek kependudukan yang kesemuanya diarahkan dalam mencapai tujuan pembangunan.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, besarnya jumlah penduduk justru menjadi masalah tersendiri. Hal ini berkaitan dengan tidak seimbangnya jumlah tenaga kerja (penduduk yang memerlukan pekerjaan) dengan daya serap tenaga kerja itu sendiri. Daya serap terhadap tenaga kerja sangat sedikit dibanding dengan banyaknya tenaga kerja. Masalah ini tidak lepas dari lemahnya daya serap ekonomi sebagai akibat dari ketidakarifan dalam mengelola pembangunan, ditambah rendahnya kualitas serta produktifitas tenaga kerja. Hal tersebut menjadikan masalah dalam dunia ketenagakerjaan begitu pelik. Belum lagi bila kita melihat bahwa dari struktur umur penduduk Indonesia sebagian besar merupakan kelompok yang membutuhkan pelayanan masyarakat, termasuk didalamnya lapangan pekerjaan. Krisis moneter yang menimpa Indonesia semakin menambah masalah karena jutaaan penduduk kembali menjadi penganguran. Peraturan yang diharapkan pun sampai saat ini belum dapat dibilang telah sampai pada titik dimana para pihak yang terkait dalam dunia ketenagakerjaan dapat menerima.

Berdasarkan dari apa yang diuraikan, dapat dilihat bahwa permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang tidak dapat dilihat hanya dari salah satu sudut pandang. Didalamnya sangat terkait dengan permasalahan, seperti ekonomi, hukum, sosial politik, budaya, serta dunia internasional. Artinya, permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan sangatlah komprehensif.

Arus reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim Soeharto membawa konsekuensi akan adanya tuntutan perubahan dalam setiap bidang kehidupan, termasuk di dalamnya tuntutan akan pembaharuan hukum. Berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan, pembaharuan hukum tersebut tercermin dengan dikeluarkannya Undang-Undang no.13 Tahun 2003 tentang dunia ketenagakerjaan yang menggantikan Undang-Undang no.25 Tahun 1997. Lahirnya UU tersebut ketika itu menimbulkan beberapa kontroversi. Diduga pihak IMF bermain dalam merumuskan UU tersebut dan sangat berharap UU tersebut begitu berpihak pada kepentingan kaum pemilik modal, terutama bagi para pemilik modal yang berasal dari luar negeri. Namun, apa yang diharapkan oleh IMF ternyata tidak terealisasikan karena menurut mereka UU yang dilahirkan justru sangat begitu menguntungkan kaum pekerja.

Pada tahun 2005 di Aula FISIP UI, Depok, Tery L. Caraway, yang berasal dari Departement Of Political Science University of Minnesota, AS, memaparkan hasil risetnya atas putusan-putusan P4P selama 2 tahun sekaligus penelitian terhadap palaksanaan UU Ketenagakerjaan. Dari paparannya terungkap beberapa hal:
1. Dengan adanya UU tersebut, para pengurus SP/SB yang di PHK karena dituduh menggerakan mogok, diputuskan oleh P4P harus dipekerjakan kembali.
2. Para pekerja yang di PHK tanpa mendapatkan hak apapun dari perusahaan karena dinyatakan kontrak kerjanya habis, tetapi karena adanya aturan dalam UU mengenai PKWT, Outsourcing, hubungan kerja dengan Labour Supplier, maka putusan P4P mempekerjakan kembali mereka sebagai PKWTT atau mereka berhak atas uang pesangon sesuai dengan pasal 156.
3. Adanya kekecewaan IMF tehadap UU tersebut karena sangat memberikan proteksi yang begitu ketat kepada pekerja, terutama soal PKWT, outsourcing, labour supplier, mogok, sulitnya mem-PHK dan besarnya uang pesangon yang harus dibayar perusahaan.
4. Ketidakpuasan IMF ditindak lanjuti dengan mengirim konsep perubahan UU tersebut kepada BAPPENAS.

Dikalangan pekerja pun ketika itu terjadi perpecahan pendapat berkaitan dengan dikeluarkannya UU ketenagakerjaan. Pertama, kelompok pekerja yang menolak
adanya UU tersebut. Mereka menganggap bahwa UU tersebut sangat tidak berpihak kepada kaum pekerja. Kelompok inilah yang memang lebih terpublikasikan ketika itu. Belakangan diketahui bahwa aspirasi yang mereka kemukakan tidak lain merupakan perpanjangan kepentingan dari kalangan pengusaha, dan terutama IMF tentunya. Kedua, kelompok yang menerima UU tersebut dengan kesadaran pula bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam UU tersebut.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa saat ini terdapat dorongan yang begitu deras terhadap tuntutan perubahan UU ketenagakerjaan. Anehnya tuntutan tersebut justru tidak berasal dari salah satu anggota bipatride (pekerja ataupun pengusaha), tetapi dari pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh para petinggi negara kita bahwa UU ketenagakerjaan yang saat ini berlaku sangat tidak berpihak pada kepentingan masuknya investasi di Indonesia. Tersiar kabar pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh adanya pertemuan antara SBY dengan para pengusaha Asia di Singapura, dan SBY disesak untuk merevisi UU tersebut (hal ini secara tidak sengaja terlontar dari mulut Menakertrans Erman Soeparno ketika terjadi pertemuan informal dengan para SP/SB di kantor PBNU).

Hal ini langsung menimbulkan reaksi terutama dikalangan pekerja. Mereka menolak keras adanya revisi tersebut dengan menggelar demonstrasi yang dilakukan secara stimultan di berbagai kota. Dikalangan pengusaha, hal ini direspon dengan menyiapkan draft revisi pendamping yang dikeluarkan pemerintah melalui BAPPENAS. Oleh karena begitu derasnya suara yang menolak akan revisi tersebut, maka pemerintah menarik draft revisi dan mengalihkan kebijakan dengan menggelar forum tripatride untuk membahas masalah revisi UU ketenagakerjaan.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari adanya revisi UU tersebut:
1. Menghapus larangan mempekerjakan TKA sebagai personalia dan memberikan kebebasan kepada TKA untuk menduduki jabatan seperti supervisor, foreman, dll (pasal 46) serta menghapus kewajiban untuk mengalihkan teknologi (pasal 49);
2. Menghapus kewajiban pengusaha memberikan perlindungan kesejahteraan kepada pekerja (pasal 35, 66, 79 ayat 2 huruf d, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 100, 150, 155 ayat 3);
3. Mengizinkan pengusaha membuat kerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, dengan masa kontrak bisa sampai 5 tahun dan jika tidak diperpanjang pekerja hanya diberikan santunan, dan jika PHK karena melanggar perjanjian kontrak pekerja wajib membayar ganti rugi sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya kontrak (pasal 59);
4. Membolehkan anak dibawah umur (15 tahun) menandatangani perjanjian kerja karena dianggap sudah cakap melakukan perbuatan hukum (pasal 68A) serta menghapus larangan mempekerjakan anak di bawah umur bersama-sama orang dewasa (pasal 72);
5. Menghilangkan pesangon bagi pekerja yang upahnya diatas PTKP, mengurangi besarnya pesangon dan menghilangkan hak penggantian perumahan 10% (pasal 156) serta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah dan hak-hak pekerja yang diskorsing dalam proses PHK (pasal 155 ayat 3).

Pada dasarnya perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, yang harus digaris bawahi adalah apa yang menjadi semangat dalam melakukan perubahan tersebut. Adanya intervensi pun merupakan salah satu bentuk dari sebuah interaksi sosial. Justru yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita masih begitu mudah untuk diintervensi. Diharapkan adanya perbaikan dalam dunia ketenagakerjaan dengan tidak berpaling bahwa paradigma suatu hukum ketenagakerjaan haruslah berpihak pada kepentingan para pekerja.

“Jangan Hanya Berpikir Tentang Keadilan Sosial, Tapi Berbuatlah Dengan Penuh Keadilan Sosial” []

* Pernah disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Bidang Hukum dan HAM HMI cabang Depok Komisariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

TAUFIK HIDAYAT
Mahasiswa Fakultas Hukum UI;
Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi Universitas Indonesia (FKMB UI); Wasekum Hukum & HAM Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum UI

Regulasi Pornografi: Belajar dari Kasus Pengaturan Rokok

Oleh Usep Hasan Sadikin

Dalam sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi, seorang dokter dan seksologi terkenal menawarkan pembawa acara untuk melihat koleksi film-film pornonya. Sontak si pembawa acara kaget dan menolak. Entah karena tidak suka atau takut dilihat pemirsa di rumah yang menonton, ia menampik. Pembawa acara tersebut lalu melanjutkan acara dengan menanyakan hal-hal seputar wilayah pribadi si dokter.

Dari tayangan tersebut, saya menafsirkan, sepertinya si dokter merupakan seorang yang mengangap film porno sebagai sesuatu yang bersifat netral. Artinya baik/tidaknya tergantung siapa yang menggunakan atau mengonsumsinya, dan untuk apa ia digunakan atau dikonsumsi. Film porno tidak baik jika digunakan dan dikonsumsi anak-anak di bawah umur, tapi mungkin baik jika digunakan untuk mereka yang mau atau sudah memiliki pasangan hidup (suami-istri) sebagai pengetahuan seputar seks. Apalagi dokter tersebut mengambil spesialisasi seksologi yang dituntut untuk mengetahui dan memahami bidangnya.

Berbicara pornografi (gambar porno) adalah berbicara antara dua pandangan tentang pornografi itu sendiri. Masing-masing pandangan malahirkan hal yang saling bertentangan. Pandangan pertama menilai bahwa produk porno (pornografi) adalah produk terlarang karena bersifat merusak (moral). Artinya segala hal yang berkaitan dengannya, seperti memproses, memproduksi, memperlihatkan, menjual, membeli atau yang lainnya, adalah terlarang. Dari pandangan ini, lahirlah perasaan berhak untuk membrangus produk porno, sebagaimana orang berhak menghilangkan sesuatu yang tidak dia sukai.

Pandangan kedua menilai bahwa produk porno merupakan salah satu kebutuhan. Artinya produk porno merupakan produk yang mungkin berguna atau dapat digunakan untuk keperluan atau kebutuhan tertentu. Misalnya, seseorang memerlukan atau membutuhkan produk porno untuk hiburan (sebagaimana seseorang mendengarkan musik untuk menghibur diri) atau seseorang memerlukan dan membutuhkan produk porno sebagai sarana edukasi. Dari pandangan ini lahirlah hak untuk menggunakan, mendapatkan, mengonsumsi, membeli, membuat, memproduksi, menjual, dan memasarkan produk porno. Puncaknya, produk porno menjadi industri.

Membicarakan pornografi menurut saya sama halnya ketika kita membicarakan rokok. Ada pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan produk yang terlarang karena bersifat merusak kesehatan baik bagi si pengguna (penghisap) maupun yang tidak menghisap atau perokok pasif. Tetapi ada saja pandangan yang menilai bahwa rokok merupakan keperluan dan kebutuhan hidup karena dapat menghilangkan stres dan meningkatkan kinerja otak. Kedua pandangan ini (terus) saling "bertarung" memperjuangkan haknya. Yang satu ingin memberantas rokok, sedangkan "lawan"-nya membutuhkan rokok atau ingin membuat industri rokok.

Bagi penentu kebijakan, merupakan hal yang bijak ketika pemerintah membuat aturan yang mampu mengakomodasi hak-hak masing-masing pandangan (penilaian). Untuk rokok, kebijakan yang ada sekarang ini menurut saya sudah cukup baik. Adanya peringatan pemerintah akan bahaya kesehatan di setiap bungkusnya, serta peninggian pajak terhadap rokok merupakan hal yang bisa menambah pertimbangan masing-masing individu atau pun kelompok dalam menjual, membeli dan atau mengonsumsinya.

Pengaturan terhadap perusahaan rokok dalam mengiklankan produknya di televisi di atas jam 9 malam, serta tidak boleh memperlihatkan bentuk produk rokoknya, merupakan sikap yang bijak dan "cerdas". Itu perlu untuk mengurangi kemungkinan masyarakat, khususnya anak kecil, melihat dan mengetahui suatu produk rokok. Dan yang terbaru, penyediaan ruangan merokok (di Jakarta) merupakan sikap pengendalian (bukan pemusnahan) asap rokok yang bisa diterima masing-masing pihak (perokok dan bukan perokok).

Mungkin kita perlu menyikapi pornografi sebagaimana kita menyikapi rokok. Kita perlu mencontoh kebijakan pemerintah terhadap produk rokok dalam (turut serta) menentukan kebijakan terhadap pornografi. Memang perlu adanya pengaturan dalam distribusi dan pemasaran pornografi. Perlu adanya pengaturan di mana pornografi boleh beredar dan siapa saja yang boleh menggunakan dan membeli serta mengonsumsinya.

Perlu adanya peninggian pajak terhadap industri pornografi. Perlu adanya peringatan pemerintah akan bahaya kerusakan moral pada kemasan produk porno. Perlu adanya penegakan hukum yang tajam terhadap industri atau pihak yang terlibat, apabila melanggar (peng)aturan itu. Dan memang, soal penegakan hukum inilah yang merupakan permasalahan klasik di negeri ini.

Tapi, negara atau pemerintah juga tidak bisa atau tidak perlu memusnahkan pornografi. Yang bisa dan diperlukan adalah bagaimana negara membuat aturan terhadap distribusi dan pemasaran pornografi, serta menindak tegas (sekali lagi, menindak tegas) pihak-pihak yang melanggar aturan yang telah dibuat.

Bagi pihak yang tidak setuju terhadap produk porno, lakukanlah aksi-aksi yang "cerdas" sebagaimana mereka yang tidak setuju akan rokok. Melakukan himbauan-himbauan melalui media cetak dan elektronik, sekolah-sekolah, tempat-tampat ibadah, disertai dengan penanaman kepedulian dan sikap kritis masyarakat (individu dan keluarga) dalam menyikapi aturan yang dibuat, adalah perlu. Atau dengan membentuk komunitas "moral sehat" sebagaimana komunitas "jantung sehat" pada rokok.

Dari kedua pandangan dan penilaian ini, biarlah kedewasaan dan kematangan masing-masing individu serta keluarga yang menilai dan menentukan sikapnya terhadap produk tersebut. Memaksakan suatu hak atau kehendak terhadap hak atau kehendak yang lain merupakan sikap yang tidak bijak dan akan menciptakan iklim demokrasi yang tidak sehat. Biarlah pro dan kontra tetap terjadi, sehingga ia menjadi referensi kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukanlah sikap bijak jika kita memusnahkan industri pornografi (juga rokok) karena di situ juga mungkin terkait soal keperluan, kebutuhan, dan pemenuhan “kesejahteraan hidup” sebagian masyarakat. Mudah-mudahan saran ini bermanfaat dan tidak ditanggapi secara emosial. []

April 2005

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

RUU APP?


Oleh Silvia Rahmah P.

Belakangan ini di media cetak maupun elektronik marak dibicarakan pro kontra mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Berdasarkan namanya, undang-undang ini jelas dibuat untuk mengatasi pornografi dan pornoaksi yang dianggap mulai meresahkan masyarakat. Diawali dengan goyang “Ratu Ngebor” Inul Daratista sampai terakhir terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia. Jika memang tujuan dari RUU APP itu baik, mengapa bisa terjadi pro dan kontra dalam masyarakat?

Mereka yang kontra terhadap RUU APP ini diantaranya adalah dari kalangan aktivis perempuan. RUU APP yang salah satu tujuannya untuk melindungi kaum perempuan ini diangap mengkriminalkan tubuh perempuan, artinya RUU ini tidak menghukum mereka (laki-laki) yang mempunyai pikiran kotor. Disini terjadi perlakuan hukum yang diskriminatif terhadap laki-laki dan perempuan.

Menurut saya, sebaiknya RUU APP ini lebih fokus pada pengaturan terhadap mereka yang memproduksi, mendistribusi dan mengkonsumsi pornografi dan pornoaksi, bukan malah membatasi penampilan perempuan apalagi mengatur privasi individu terlalu jauh. Undang-undang yang ada seharusnya sudah cukup untuk mengatasi masalah pornografi dan pornoaksi. Penayangan televisi, dan penerbitan media cetak tentu sudah ada undang-undang yang mengaturnya.

Mungkin munculnya RUU APP ini merupakan indikator bahwa undang-undang yang ada tidak cukup untuk mengatasi masalah tersebut (atau mungkin karena pelaksanaannya kurang baik?). Jika demikian maka pembuatan RUU APP ini jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Artinya, isi dari RUU APP beserta aplikasinya harus jelas dan tegas sehingga dapat diterima oleh semua kalangan.

Pembuatan RUU APP ini memang bukan hal yang mudah. Contohnya pendefinisian pornografi dan pornoaksi sendiri. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Batasan sesuatu dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi memang masih banyak diperdebatkan, karena memang sulit mencari batasannya. Buat sebagian orang gambar atau aksi perempuan dengan pakaian terbuka, tarian eksotis dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi. Namun, untuk sebagian yang lain bisa jadi itu hanya hal biasa, tergantung bagaimana pikiran orang yang melihatnya. Bahkan penggunaan baju adat (kebaya, baju bali, dll) yang memang terbuka dan transparan juga diperdebatkan. Hal-hal yang menimbulkan banyak persepsi seperti di atas memang sudah selayaknya diperjelas agar RUU ini bisa diaplikasikan dengan baik. Jangan sampai RUU ini dijadikan alat pembenaran untuk bebas mengadili seseorang sesuai dengan persepsi masing-masing.

Jika ditinjau dari tujuan awalnya yang baik RUU APP ini memang harus diperjuangkan agar menjadi undang-undang yang bisa diterima oleh semua kalangan. RUU APP ini dibuat untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi kita semua. Jadi, jangan sampai ini justru menjadikan perpecahan dan membuat kondisi menjadi semakin buruk. Sebagai bangsa yang bermoral tentu kita harus membuka diri dan menerima sesuatu yang memang bertujuan memperbaiki moral bangsa. Bagi kelompok atau individu yang pro dan kontra sebaiknya bertemu dan berdiskusi untuk mencari jalan keluar yang terbaik, sehingga keinginnan untuk mewujudkan kondisi bangsa yang lebih baik dapat diwujudkan segera. Jika kita semua terus berteriak serta memaksakan kehendak dan merasa diri paling benar, sepertinya kita lebih membutuhkan RUU APP yang lain yaitu Rancangan Undang-Undang Anti Perpecahan dan Permusuhan. []

April 2005

Silvia Rahmah P
aktivis lintas batas
Mahasiswa Farmasi FMIPA UI

In The Name of Money : Globalisasi dan Pelanggaran HAM

Oleh YUSTISIA RAHMAN

“Jika dunia ini adalah sebuah kampung global yang terdiri dari 100 orang, 70 diantaranya buta huruf, dan hanya satu yang mengalami pendidikan tinggi. Lebih dari 50 orang kekurangan gizi, lebih dari 80 orang hidup di gubuk-gubuk reot. Jika dunia adalah sebuah kampung global berpenduduk 100 orang, 6 diantaranya adalah orang Amerika. Keenam orang ini mengambil, menguasai dan menikmati lebih dari separuh pendapatan dan kekayaan seluruh orang kampung !”
***

Globalisasi ditandai dengan di-integrasikannya perekonomian nasional ke dalam sebuah perekonomian global melalui proses liberalisasi perdagangan. Proses ini diyakini akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang terilibat di dalamnya.

Perekonomian negara-negara yang terlibat dalam permainan perdagangan global ini akan bertumbuh sedemikan rupa, karena mereka akan mengekspor apa yang memang mereka kuasai dan mampu sediakan. Lalu, mereka akan mengimpor hanya yang memang tidak mampu mereka adakan sendiri (teori keuntungan perbandingan). Pengajur teori ini meyakini bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan manfaat kepada semua negara, termasuk negara-negara berkembang dan termiskin sekalipun, bahkan keuntungan dari pedagangan bebas ini diyakini akan menetes (trickle down effect) ke penduduk miskin –lapisan penduduk terbawah dan terbanyak.

Pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Globalisasi justru menciptakan kondisi ketidakadilan global. Distribusi pendapatan yang tidak merata dan arus modal yang lebih banyak berputar di negara-negara maju, semakin memperlebar jurang pendapatan di beberapa negara. Di tingkat lokal, globalisasi membuat kelompok kaya (secuil pengusaha dan politisi-komprador yang diuntungkan dengan perdagangan bebas) menjadi semakin kaya, sebaliknya kelompok terbesar -kelompok miskin (buruh, kaum miskin kota, petani tradisional dan masyarakat adat) semakin terperangkap di lembah kemiskinan.

Hal ini adalah kenyataan yang wajar, sebab globalisasi yang dimaksud oleh penganjur perdagangan bebas adalah Globalisasi Perusahaan (Corporate Globalisation). Yakni sebuah upaya-upaya yang terus meningkat untuk memasukan perekonomian nasional ke dalam perekonomian global melalui pengaturan-pengaturan penanaman modal, perdagangan, dan swastanisasi (privatisasi), yang didukung oleh kemajuan teknologi mutakhir (Hines: 2004). Upaya-upaya itu berusaha mengurangi sampai sesedikit mungkin hambatan-hambatan bagi penanaman modal dan perdagangan, tetapi dalam prosesnya ternyata juga mengurangi sampai sesedikit mungkin pengendalian demokratis oleh negara dan rakyatnya atas urusan-urusan perekonomian nasional bahkan politik dalam negeri mereka. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan agar Perusahaan-perusahaan Multinasional (Multinational Corporation, MNC) dan lembaga keuangan transnasional mendapatkan keuntungan maksimal.

Paradigma globalisasi seperti ini pada akhirnya hanya menguntungkan penguasa modal internasional saja (MNC dan lembaga-lembaga keuangan transnasional seperti IMF dan Bank Dunia). Mereka menggunakan teori tentang keuntungan perbandingan, persaingan dagang internasional, dan model pertumbuhan ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Dan semua itu terjadi dengan mengorbankan kehidupan sosial, lingkungan hidup, perbaikan taraf hidup kaum buruh, dan semakin meningkatnya ketidakadilan di sebagian besar dunia (Hines : 2004).

Di Indonesia, pengaruh globalisasi dan masuknya modal asing diawali dengan lahirnya Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, tidak lama setelah keruntuhan rezim Orde Lama yang sangat kontroversial. Regulasi ini menandakan berubahnya arah kebijakan ekonomi dan politik luar negeri pemerintah Orde Baru yang “kembali ke pasar”. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang anggota tim ekonomi pemerintahan Orde Baru, M. Sadli, “Mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul barat” (Gatra :Agustus 2005).

Seolah telah direncanakan, dalam waktu singkat investor asing mulai menanamkan modalnya di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi di era-Soekarno dikembalikan lagi ke pemiliknya. Dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, sektor pertambangan menjadi komoditi yang paling menggiurkan bagi perusahan-perusahaan transnasional. Freeport-Rio Tinto diberikan konsesi pengusahaan kekayaan alam di Papua, Exxon di Aceh, Newmont di Minahasa dan sebagainya. Pemerintah ORBA juga mulai menjalin hubungan dengan IMF dan Bank Dunia untuk mendapatkan pinjaman luar negri guna menutupi defisit APBN.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Orde Baru memang menghasilkan perbaikan ekonomi di awal kekuasannya. Namun dalam waktu yang bersamaan pemerintah juga mulai menjual kedaulatan negara ke perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia, seiring dengan semakin berkurangnya peran negara dalam penguasaan ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam.

Bagi masyarakat, kehadiran kuasa modal mendatangkan malapetaka yang mengerikan. Kehadiran perusahaan-perusahaan transnasional yang mengantongi izin untuk mengeruk kekayaan alam biasanya diiringi dengan aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan yang juga berbanding lurus dengan pelanggaran hak asasi masyarakat setempat. Kehadiran Freeport di Papua misalnya. Sejak tahun 1967 Freeport telah melakukan aktivitas pertambangan yang diiringi dengan perusakan lingkungan dan kejahatan HAM terhadap masyarakat adat setempat.

Freeport telah membuat Gunung Yet Segel Ongop Segel (Grasberg) jadi lubang raksasa sedalam 700 m, padahal gunung ini dikiaskan sebagai kepala ibu bagi Suku Amungme- masyarakat adat setempat, yang sangat menghormati wilayah keramat itu. Danau Wanagon, sebagai danau suci orang Amungme juga hancur, karena dijadikan tumpukan batuan limbah (overburden) yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayahs Mimika, yaitu Sungai Aghawagon, Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa sebagai tempat pembuangan tailing (limbah pasir dan hasil produksi). Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke Sungai Aghawagon, yang kemudian akan mengalir memasuki Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa. Partikel tailing yang tidak mengendap kemudian ikut mengalir sampai ke Laut Arafura (JATAM : 2003).

Perusakan lingkungan di wilayah masyarakat adat yang dilakukan oleh Freeport telah melanggar kovenan tentang perlindungan masyarakat adat yakni Konvensi ILO 169 (Convention ILO No. 169 Concerning Indigeneous and Tribal Peoples in Independent Countries). Selain itu dalam dokumen AMDAL PT Freeport Indonesia, sebenarnya pemerintah sudah mengetahui resiko lingkungan atas aktivitas pertambangan yang dilakukannya. Namun pemerintah seolah tutup mata atas kenyataan ini.

Selain nelakukan pelanggaran terhadap hak atas identitas budaya dan hak ulayat (yang dilindungi oleh pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria), Freeport juga melakukan kejahatan HAM dengan melakukan pembunuhan pada masyarakat adat yang menolak aktivitas pertambangan yang dilakukan. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1977 adalah peristwa pertama dimana Freeport (kuasa modal) menggunakan TNI (kuasa militer) melakukan pembunuhan atas pemberontakan Suku Amungme dan enam suku lainnya di sekitar wilayah konsesi Freeport. Lebih dari 900 orang meninggal dunia dalam peristiwa ini. Keterlibatan TNI dalam pelanggaran HAM dalam kasus ini pertama kali diungkapkan oleh Uskup Muninghof tahun 1995. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) segera membentuk tim untuk meneliti kebenaran laporan itu. Tapi, negara tidak pernah menggunakan kekuasaanya untuk memberi sanksi pada pelaku pelanggaran HAM termasuk Freeport yang menyediakan sarananya.

Masuknya Freeport dan MNC lainnya ke Indonesia adalah dampak dari Globalisasi Perusahaan. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara selatan (negara berkembang dan miskin) lainnya -yang entah mengapa sebagian besar memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah untuk industri dan populasi penduduk yang besar sebagai pasar yang potensial. MNC dan lembaga keuangan transnasional membawa keuntungan dari negara-negara selatan dan meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kemerosotan nilai sosial budaya dan hiper-inflasi

Globalisasi bekerja dalam sebuah sistem perekonomian yang berpusat pada uang (capital oriented) dan bukan pada manusia (human oriented), sistem yang memfasilitasi keserakahan manusia yang tanpa batas. Gobalsasi tidak lebih dari sebuah mesin global yang memangsa darah dan memuntahkan dollar (Subcomandante Marcos : 2003). Perlawanan pada globalisasi tidak boleh berhenti pada aksi-aksi simbolik semata. Perlawanan pada globalisasi harus diiringi dengan upaya mencari alternatif sistem yang adil dan lebh baik. Sehingga gerakan anti globalisasi tidak hanya mengglobalkan perlawanan tetapi juga mengglobalkan harapan. []

YUSTISIA RAHMAN
Penggiat CONFRONT ! (Community for Freedom and Social Transformation),
Mahasiswa Fakultas Hukum UI

Menggugat Eksistensi Pemuda

Oleh EKI RIDLO N

Kaum muda selalu saja menempati sebuah posisi yang strategis, karena keberadaannya selalu diperhitungkan dan menjadi harapan serta tumpuan bagi proses peradaban umat manusia. Tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa depan sebuah bangsa, yang menginginkan kebermartabatan, keadilan dan kemakmuran serta cita-cita yang luhur untuk kemanusiaan.

Indonesia sebagai bangsa yang besar, merasakan kehadiran pemuda dalam setiap nafas dan kehidupan rakyat Indonesia. Bagaimana peran pemuda di zaman penjajahan memberikan makna, kesan dan ingatan yang sungguh mendalam dan sangat berarti saat itu, dengan penyatuan visi kebangsaannya secara universal dalam bingkai dan semangat nasionalisme. Betapa besar potensi dan eksistensinya dalam menggerakkan dan menggelorakan spirit nasionalisme rakyat kita. Menginginkan kemerdekaan sejati untuk terlepas dari belenggu kenistaan, keterbelakangan dan pembodohan atas cengkraman penjajah rezim kolonial yang bukan saja merugikan dan merendahkan harkat dan martabat manusia di bumi pertiwi ini namun juga menghempaskan nilai-nilai sisi kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati bangsa-bangsa di dunia.

Hal tersebut cukup membuktikan geliat kaum muda, yang hingga saat ini masih terus dan tetap membara dalam setiap perubahan zaman. Pengalaman sejarah bangsa akan terus dipenuhi oleh jiwa semangat pembaharu, sebagai direct of change, moral force dan iron stock yang merupakan predikat yang dimiliki kaum muda yang takkan hilang ditelan zaman. Menghantarkan peradaban manusia kepada nilai-nilai hakiki kemanusiaan yang tidak bisa dinilai oleh sekedar materi dan lingkaran kekuasaan. Di era kolonial, pemuda memiliki tekad dan kemampuan keras agar terbebas dari penjajahan. Di tahun-tahun revolusi, pemuda menjadi pelopor terbentuknya negara Indonesia. Di pergantian rezim apapun, pemuda selalu menyertai dan mewarnai dinamika politik bangsa ini. Dan di era reformasi yang sekarang kita rasakan tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kaum muda (mahasiswa).

Pengalaman itu mungkin saja akan terus disuarakan dan dikumandangkan oleh pemuda, sebagai gerak motivasi perjuangan dalam melawan setiap bentuk kesewenang-wenangan penguasa yang tiranik terhadap rakyat yang masih terjebak dalam kelaparan dan kemiskinan. Motivasi ini tumbuh dan berkembang sejalan dengan realitas dan perjalanan sosial historis anak bangsa.

Kecendrungan pandangan kaum muda yang selalu bergerak dan berpihak pada kaum terpinggirkan (mustadh'afin) itu akan terus menyirami spirit dan naluri perjuangannya dalam aneka persoalan kehidupan. Ketidakadilan sosial dan pembodohan masyarakat di dalam sistem yang dikendalikan oleh penguasa korup senantiasa terus digugat dan dikritisi secara masif dan progresif. Semuanya tidak lain untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat serta perbaikan sistem secara adil.

Secara politik, posisi kaum muda dihadirkan pada pihak oposan, pihak yang mengkritisi setiap kebijakan yang dinilai menyengsarakan rakyat. Revolusi kemerdekaan yang jelas perjuangannya untuk memperebutkan hak bangsa secara mandiri dari penjajah ataupun di setiap pergantian rezim yang melepaskan belenggu penindasan penguasa dari ketidakadilan juga dalam perguliran (reformasi) yang merupakan peralihan rezim, penegakan supremasi sipil dan hukum maupun kesejahteraan masyarakat adalah bagian dari torehan perjuangan kaum muda.

Sebagai sarana penyaluran aktivitas kepemudaan dibutuhkan kelembagaan/ institusi yang mampu memberi bentuk atas ruh semangat itu. Kaum muda dari kalangan intelektual, mahasiswa, kaum-kaum terpelajar berperan sebagai sumbu setiap aktivitasnya. Predikat sebagai generasi penerus (iron stock) bangsa tentu tidak mudah bagi mereka. Saat ini kehadirannya diharapkan memberi solusi atas permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Kita lihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, yang dinilai hanya berorientasi kepada kepentingan jangka pendek, tidak memberi jaminan kesejahteraan sosial dan rasa aman serta bersifat pragmatis. Pemuda hadir dan berada pada garda terdepan dalam menyikapi dan mengkritisinya. Kondisi budaya yang mapan dan mengakar di masyarakat yang bersifat patriarkhi, monolitik, kaku dan korup mereka lawan untuk menciptakan budaya yang demokratis, inklusif dan pluralis.

Idealisme pemuda yang tercipta dari sebuah lingkungan akademis dan intelektual turut menumbuhkan pemikiran yang jernih dan lepas dari kepentingan-kepentingan kelompok serta menjadikan kemandirian sikap dan tindakan yang tidak terpengaruh oleh kemauan ataupun hasrat untuk masuk dan terjerat dalam lingkaran kekuasaan.Optimismenya membangkitkan dan memberi pengharapan yang pasti. Pengetahuannya memberikan pencerahan dan pemahaman yang substansial akan persoalan yang dihadapi rakyat.

Tetapi banyak sebagian dari mereka yang terombang-ambing di tengah hempasan arus modernisasi yang ditandai oleh budaya hidup dalam kesenangan sesaat (hedonisme), pola hidup instan dan ingin meningkatkan tingkat dan status ekonominya, yang kesemuanya itu merontokan nilai-nilai idealisme dan menggunakan cara pandang sempit dan segalanya selalu diukur di atas materi.

Sungguh ironis, di satu sisi kesulitan-kesulitan yang mendera rakyat kecil yang belum tertangani dan pemuda diharapkan kehadirannya minimal keberpihakan terhadap kaum miskin yang lemah, disisi lain mereka menodai pengharapan rakyat dengan berperilaku hedonis, berpola hidup instan, dan pragmatis serta haus terhadap kekuasaan, demi meneguk kepuasan materiil. Hal ini kemudian seakan peran dan eksistensi pemuda tercabut dari prinsip dan nilai dasarnya yang seharusnya mereka pegang teguh. Bukan tanpa alasan, ketika pemuda yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan dan perjuangan rakyat dalam membebaskan belenggu keterbelakangan di setiap sisi kehidupan seolah menandakan terkikisnya daya kritis, matinya daya dobrak inteleknya yang pada akhirnya mengarah kepada kecenderungan bersikap oportunis, lunak dan arogan.

Dinamika kehidupan pemuda dalam eksistensinya, menyuguhkan berbagai pertentangan ideologi, egoisme kelompok, klaim-klaim kebenaran yang dianutnya. Hal yang kemudian menjadi jurang pemisah yang tajam serta tersegmentasinya pergerakan kaum muda dan mahasiwa dalam menyuarakan kepentingan rakyatnya. Saatnya pemuda harus mengembalikan citranya sebagai direct of change, moral force dan iron stock yang lebih berpihak pada kaum lemah terpinggirkan, agar mereka terus eksis, disegani setiap generasi dan didambakan masyarakat bahkan diperhitungkan oleh penguasa. Menancapkan kembali daya kritis, intelektualnya dalam mewujudkan masyarakat madani, sejahtera, adil dan makmur. []

EKI RIDLO N
aktivis lintas batas
Mahasiswa FISIP UNTIRTA

Melihat dan Mengakui Persamaan


Oleh Usep Hasan Sadikin

Banyak orang di dunia ini yang mengagumi Nelson Mandela karena keberhasilannya dalam mewujudkan rekonsiliasi Afrika Selatan sekitar tahun 1994. Menghancurkan politik Apartheid yang merupakan suatu kebijakan diskriminasi rasial yang menjadi rezim kekuasaan pada saat itu. Permasalahan ini diperlihatkan secara fisik dengan membeda-bedakan atau memisahkan sesama warga negara berdasarkan warna kulit, yaitu kulit hitam dengan kulit putih.

Tapi menurut saya, permasalahan yang diselesaikan Nelson Mandela pada saat itu terlalu sederhana jika dibandingkan dengan permasalahan yang ada di Indonesia (khususnya dalam kurun waktu belakangan ini). Masalah di Indonesia tidak hanya bagaimana mempersatukan dua perbedaaan tetapi bagaimana mempersatukan ratusan atau bahkan ribuan perbedaannya. Jika di Afrika Selatan hanya ada dua warna kulit, di Indonesia terdapat banyak warna kulit yang bisa dibedakan secara gradual. Dari putih, kuning, coklat sampai hitam. Terdapat juga belasan ribu (hampir dua puluh ribu) pulau disertai dengan ratusan bahkan ribuan suku, bahasa, budaya, tradisi, adat dan sebagainya. Egosentris terhadap paham kesukuan yang menganggap salah satunya lebih baik dari pada yang lainnya merupakan permasalahan klasik yang selalu muncul dalam kehidupan keberagaman di Indonesia.

Permasalahan tidak hanya terjadi pada bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural, sebagai bangsa yang beragama, Indonesia mengalami penurunan kepercayaan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya. Dampaknya adalah tidak terjalinnya kerjasama dalam membangun negara dan civil society. Selain itu juga di masing-masing agama diributkan dengan kleim kebenaran serta ketidakbenaran (kesesatan). Merasa diri atau kelompoknya yang benar sedangkan yang lainnya salah atau sesat.

Menurut hemat saya, semua itu bisa (sering) terjadi karena kita selalu dan terlalu melihat sisi perbedaan yang terdapat di antara kita. Sehingga kita mengalami kesulitan untuk bekerjasama dalam mengatasi berbagai macam permasalahan atau bahkan mungkin tidak mau bekerjasama karena tidak bisa mencocokan satu sama lain.

Kita tidak terbiasa melihat dan mengakui sisi persamaan yang kita miliki. Suatu persamaan berupa nilai yang diakui secara universal. Nilai yang bisa diterima oleh semua individu, kelompok, golongan, suku, agama, ras dan antar golongan.

Kita lupa bahwa kita ikatan kebangsaan, bahwa kita semua adalah satu bangsa dan satu tanah air, bangsa dan tanah air Indonesia. Bukankah dulu bangsa ini bisa berjuang bersama, karena kesadaran atas persamaan yang dimiliki. Persamaan nasib, persamaan aspirasi perjuangan dan persamaan atas musuh yang dihadapi (penjajahan), serta persamaan substansi tujuan yaitu kebebasan (kemerdekaan).

Dengan melihat dan mengakui adanya persamaan di antara kita, hal itu memudahkan bagi kita untuk bersatu. Ketika kelompok atau beberapa kelompok manusia dihadapkan dengan permasalahan yang sama maka semuanya akan bersatu untuk mencari pemecahan masalahnya, sehingga akan terjadi kerjasama di antara mereka.

Sekarang ini, kita lebih merasa dihadapkan kepada permasalahan kelompok-kelompok kecil yang berbeda. Di antara kelompok tersebut tidak lagi berkeinginan untuk bersatu, yang muncul adalah perasaan atau keyakinan kelompok yang berlebihan. Sehingga tidak menerima orang atau kelompok lain untuk ikut solider di kelompoknya yang dampaknya akan terbentuk sikap negatif dan sterotip terhadap orang lain atau kelompok lain (out group). Akibatnya terjadi saling serang dan menjatuhkan di antara kelompok-kelompok tersebut.

Mungkin ini juga dikarenakan oleh trend demokrasi yang diartikan sebagai bebas menentukan nasib sendiri, sehingga bermuatan perilaku, sikap, idealisme dan kepentingan fragmental di luar koridor kepentingan bangsa (nasional). Situasi seperti itu menyebabkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang memanipulasi logika demokrasi demi kepentingannya masing-masing.

Kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi pada sebelum kemerdekaan mempunyai tujuan yang jelas dan punya visi yang sama, yaitu untuk menghapuskan penjajahan menuju kemerdekaan. Lalu apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat kita setelah merdeka? Semua pasti akan menjawab mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan pembangunan.

Kita tahu bahwa, dalam mengisi kemerdekaan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi sangat penting dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan tersebut. Untuk itu, adanya perbedaan SARA janganlah menjadikan penghambat bagi pembangunan bangsa. Jadikan semua itu sebagai bentuk kekayaan bagi bangsa kita yang tak ternilai harganya. Jangan ada sikap primordialisme atau eksklusivisme di antara kita yang justru kontra produktif dan dapat memecah belah bangsa serta menghambat pembangunan wawasan kebangsaan Indonesia yang kuat.

Nilai-nilai dan ikatan kebangsaan yang kuat perlu dibangun dan dijaga bersama secara berkesinambungan agar paham multikultural nasionalisme tidak tergeser oleh multinaturalisme yang menjurus ke pemecahbelahan persatuan di Indonesia. Seharusnya kita yakin bahwa persatuan Indonesia tidak akan menghapus keanekaragaman dan bukan menciptakan keseragaman, melainkan melestarikan dan mengembangkan kebhinekaan.

Melihat dan mengakui persamaan di antara kita bukan berarti menyeragamkan, menghilangkan atau menafikan perbedaan (di luar persamaan) di antara kita, tetapi merupakan upaya mencari titik temu semua suku, agama, ras, antar golongan sehingga tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai penghalang tetapi menjadi ornamen-ornamen yang mampu bekerja sama secara sinergis dalam membangun, menjaga dan menjalankan nilai-nilai kebangsaan. []

Oktober 2005

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas