Monday, October 02, 2006

IHSAN

Muhammad Ihsan Tahore, siapa orang Indonesia yang tak kenal dia sekarang? Pria asal Medan ini adalah pemenang Indonesian Idol 3. Mungkin dia tidak mengira dirinya bisa menjadi terkenal seperti sekarang ini. Banyak media cetak maupun elektronik yang memuat profilnya. Dan tentu saja nomor antri untuk tawaran manggung dan jobs telah dibuka.

Seperti halnya tokoh-tokoh yang memiliki kharisma, dalam kontestasi menyanyi tersebut Ihsan memiliki jamaah yang loyal dan jutaan jumlahnya. Janganlah membuat janji pada Jumat jam 8 malam. Karena, anak-anak, ABG, ibu-ibu atau bapak-bapak tak bisa untuk melewati tayangan live itu. Gara-gara Ihsan dan Indonesian Idol, banyak acara ditunda, banyak janji dibatalkan. Jutaan orang tak mau beranjak dari layar kaca. Mereka ingin melihat (sosok) menampilan dan kemampuan Ihsan yang bisa membuat jamaahnya bernyayi, tersenyum, tertawa, teriak histeris bahkan meringis dibanjiri air mata. Dan ketika terpilih menjadi pemenang, entah berapa banyak orang yang berucap syukur dan mengharu biru.

Padahal, siapa yang dulu tahu siapa Ihsan? Pemuda yang lahir pada 20 Agustus 1989 ini, tinggal bersama ayah yang bekerja sebagai penarik ojek. Dan untuk meringankan beban hidup keluarga, sepulang sekolah Ihsan pun membantu menggarap kebun kecil yang ditanami singkong. Tak banyak orang yang dulu tahu dan mengenal Ihsan. Anak muda yang lahir di tengah-tengah “kekurangan” hidup.

Tetapi itu (juga)lah yang membawa Ihsan menjadi pemenang Indonesian Idol 3. Di permukaan panggung spektakuler yang megah dan gemerlap itu, “kekurangan” yang biasanya menjadi kelemahan, menguak muncul sebagai kekuatan yang hebat dan dahsyat. Kekuatan yang bisa menyihir jamaahnya untuk tidak berkedip. Kekuatan yang bisa mengajak banyak pemirsa untuk bernyanyi. Kekuatan yang mendorong dan menggerakan otot-otot dan sendi-sendi tangan untuk menekan tombol ponsel sebagai bentuk pemberian dukungan dan harapan. Tidak hanya sekali-dua kali, tetapi berkali-kali dilakukan.

Sama halnya dengan Veri dalam Akademi Fantasi Indonesia (AFI) atau Wulan dalam Penghuni Terakhir, “kekurangan” di situ menjadi pembeda yang tidak dimiliki oleh kontestan lain, seperti halnya perbedaan suatu produk dalam teori marketing. “Kekurangan” yang hadir mengundang banyak simpati dan ikatan emosi yang kuat, sehingga membuat orang yang menyaksikannya mengeluarkan dan mengorbankan apa yang dimiliki.

Tentu saja dunia hiburan tahu dan mendukung hal ini. Tidak hanya dalam kontestasi semacam Indonesian Idol, AFI dan Penghuni Terakhir, dalam acara yang lain kekurangan menjadi barang obralan yang bisa dijadikan hiburan pemirsa, memperoleh rating yang tinggi dan mendatangkan banyak keuntungan.

Jika kita bandingkan dengan fenomena yang ada disekitar kita, mungkin semua itu seperti halnya dengan pengemis-pengemis atau pengamen-pengamen yang bertebaran di jalanan. Mereka berlomba-lomba untuk unjuk kekurangan. Kekurangan dipresentasikan. Kekurangan diperlihatkan oleh pemiliknya justru bukan sebagai kelemahan tetapi sebagai “kekuatan”. Kekuatan yang mendatangkan ikatan emosi, simpati, iba dan tentu saja tumpukan rupiah. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

0 Comments:

Post a Comment

<< Home