Sunday, June 15, 2008

Polemik UMB & SNMPTN: Elit yang Bertikai Masyarakat yang Terbengkalai

Oleh Salman Farishi

Berbicara mengenai pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi tidak hanya berbicara mengenai Biayanya yang terjangkau, dan kualitasnya yang baik. Setidaknya ada point ketiga yang tidak kalah pentingnya, yakni aksesisbilatasnya. Di sini kita berbicara mengenai kemudahan mengikuti proses penyeleksiannya yang murah, nyaman, dan tidak berbelit-belit tanpa perlu kehilangan kualitas parameter penyeleksiannya (kualitas soalnya).

Konflik yang terjadi antara beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia dengan Perhimpunan Panitia SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) beberapa bulan yang lalu rupanya belum sepenuhnya selesai. Pertemuan di Bali yang difasilitasi oleh Departemen Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) yang dalam hal ini diwakili oleh dirjen Dikti (Pendidikan Tinggi) Faslih Djalal, rupanya belum benar-benar membuahkan solusi yang memuaskan semua pihak. Bahkan berpotensi menjadi masalah yang lebih besar lagi jika tidak diseleseaikan secara bijak.

Ambiguitas pemicu Konflik

Konflik ini, berdasarkan berita yang dimuat di KOMPAS (13 maret 2008) diawali dari kekhawatiran sebagian besar Rektor PTN (41 PTN) peserta SPMB terhadap system keuangan SPMB yang sudah bertahun-tahun menerapkan system non PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Padahal, menurut persatuan PTN-PTN yang dikoordinatori oleh UNAIR (Universitas Airlangga, Surabaya) tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan no.115 tahun 2001 pemerintah telah memasukkan sektor pendidikan, khususnya penyelenggaraan ujian masuk ke Perguruan Tinggi negeri ke dalam PNBP.

PTN-PTN tersebut sebenarnya lebih memilih agar SPMB dimasukkan sebagai non PNBP karena penyelenggaraannya yang selama ini tidak meilbatkan Pemerintah secara langsung. Sehingga pengelolaan keuangannya dianggap wajar jika dilakukan secara swa kelola. Seperti yang diungkapkan Rektor UNAIR, Fasichulisan kepada detiksurabaya. com. Namun tampaknya keberanian PTN-PTN tersebut masih kurang untuk menuntut pemerintah mengubah peraturan dan memasukkan SPMB ke dalam non PNBP. Selain itu BPK yang saat ini sedang giat-giatnya “mencari mangsa” membuat para Rektor itu semakin khawatir akan adanya anggapan penyelewengan secara berjamaah selama bertahun-tahun ini.

Jikalau memang hanya karena perbedaan pemahaman terhadap SK Menkeu tersebut yang menjadi satu-satunya alasan keluarnya 41 PTN tersebut dari SPMB, nampaknya ada yang janggal dalam hal ini. Meskipun hal tersebut memang cukup beralasan. Pasalnya , SK tersebut telah lahir sejak 7 tahun yang lalu, dan selama itu pula SPMB telah terselenggara dengan lancarnya. Agaknya aneh jika hal ini disadari dan diributkan baru-baru ini saja. Bukankah dari awal seluruh PTN yang tergabung dalam SPMB telah bersepakat untuk menyelenggarakan ujian masuk yang bersifat swa kelola dengan membentuk organisasi tetap yang berpusat di Jakarta ?

Ada dua alasan lainnya yang menurut analisa penulis juga menjadi pemicu dari konflik yang terjadi, namun tidak banyak terekspose secara eksplisit di media massa . Pertama adalah kekhawatiran PTN-PTN tersebut terhadap kemungkinan dianggapnya pelaksanaan SPMB ini sebagai tindakan korupsi secara berjama’ah oleh BPK. Hal ini terungkap dalam diskusi informal yang penulis dan beberapa teman dari Mahasiswa UI lakukan bersama Dirjen Dikti, Faslih Djalal, di Jakarta pada tanggal 20 Mei yang lalu. Kedua, adanya anggapan dari panitia lokal terhadap ketidaktransparanan pengelolaan keuangan oleh panitia pusat. Hal ini juga pernah sempat mencuat di beberapa media massa yang mengangkat isu ini sebelum akhirnya masalah PNBP dan non PNBP dijadikan fokus utama pemicu konflik tersebut.

Permasalahan perbedaan pandangan terkait PNBP/non PNBP, kekhawatiran terhadap BPK, hingga ketidaktransparanan Pengelolaan keuangan oleh panitia pusat adalah permasalahan yang hanya berlaku pada tataran elit (dalam hal ini Paguyuban Rektor Se-Indonesia dan Panitia Penyelenggara SPMB. Dan jika kita perhatikan semuanya it’s all about the money, hanya permasalahan keuangan. Rasanya kurang bijak kalau alasan-alasan tersebut dijadikan alasan bubarnya SPMB yang telah establish selama 7 tahun. Bukannya berarti SPMB itu “suci” sehingga tidak mungkin berganti/bubar. Tetapi permasalahannya yang terjadi adalah keputusan yang diambil saat itu tampak tergesa-gesa dan reaktif, dan tidak mempertimbangkan efek psikologis yang akan berkembang di masyarakat nantinya.

SNMPTN, UMB, dan Aksesibilatasnya

Pertemuan Paguyuban Rektor di Bali yang difasilitasi oleh Dikti sesungguhnya hanya menunjukkan betapa masing-masing pihak tidak mampu memanage egonya masing-masing dan mengedepankan solusi dengan ‘kepala dingin’, sehingga membutuhkan pihak ketiga (dalam hal ini Dikti) sebagai penengah. Hal tersebut juga sebenarnya menunjukkan betapa tidak percaya dirinya para PTN tersebut dengan status Otonomi kampus, khususnya para PTBHMN. Seharusnya para Rektor PTN/PTBHMN dan Panitia Penyelenggara SPMB tersebut bisa duduk bareng tanpa kehadiran pemerintah sebagai penengah di dalamnya. Jika mental PTN/PTBHMN masih terus seperti itu bagaimana mungkin mereka siap menyambut status BHP yang saat ini masih sedang dibahas di DPR.

Buktinya adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tidak bisa memuaskan semua pihak. UI dan 4 PTN lainnya (UIN, UNJ, USU, dan UNHAS) adalah pihak yang tidak puas dengan keputusan itu, dan menyelenggarakan Ujian Masuk Bersama (UMB) sebagai bentuk ketidak puasan tersebut. Alasannya UI ingin menjaga kualitas Mahasiswa yang masuk. Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri, dalam sebuah kesempatan di acara ‘NgoBar (Ngobrol Bareng)’ Mahasiswa UI dan Rektorat (di mana penulis juga menjadi salah satu narasumbernya) mengungkapkan bahwa UMB nantinya akan dijalankan dengan sistem SPMB yang lama, sehingga akan lebih siap dalam menyelenggarakan ujian.

Lahirnya UMB, sebagaimana bisa dibayangkan sebelumnya, telah menimbulkan reaksi keras dari Mahasiswa-mahasiswa UI. Mereka menuntut UMB dan SNMPTN disatukan kembali menjadi SPMB. Pasalnya para mahasiswa mempermasalahkan aksesibilatas yang sangat rendah bagi calon mahasiswa yang berasal dari daerah dan pelosok-pelosok pedalaman. Banyak calon-calon mahaiswa yang berkualitas secara intelektual namun terbatas secara finansial dan geografis untuk menjangkau tempat ujian. Alih-alih berkuliah di UI dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan mereka, untuk mengikuti ujian saja mereka telah dipupus harapannya dengan akses yang sulit.

Jaminan Perlakuan yang sama terhadap jalur UMB dengan jalur regular lainnya (SNMPTN dan PPKB) dalam hal biaya kuliah dan sistem pendidikan tidaklah cukup memuaskan bagi Mahasiswa-mahasiswa UI yang menolak UMB dan SNMPTN tersebut. Aksesibilatas yang seluas-luasnya (minimal seluas jangkauan SPMB) dan Informasi yang valid dan massif menjadi harga mati bagi para mahasiswa tersebut.

Hilangkan Ego, Dahulukan kepentingan Masyarakat.

Nampaknya memang hampir menjadi budaya di negeri ini menjadikan masyarakat sebagai korban atas pertikaian dikalangan elit. Para Rektor PTN/PTBHMN yang bisa jadi merupakan representatif wajah pendidikan tinggi negeri ini seharusnya menjadi contoh yang baik dengan menghindarkan hal tersebut dan mendahulukan kepentingan masyarakat. Sektor pendidikan seharusnya menghindarkan diri dari ego-ego pribadi yang tidak memperdulikan kepentingan masyarakat luas, khususnya para anak didik.

Untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada sangat dibutuhkan jiwa besar pada setiap pihak terkait untuk meredam egonya masing-masing, duduk bersama kembali mencari dan lebih mengedepankan solusi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Jika permasalahan utmanya adalah PNBP/non PNBP maka dibutuhkan satu hal lagi. Yaitu keberanian untuk menuntut pemerintah mengubah/mencabut SK Menkeu no.115 th.2001 tersebut dan memasukkan sektor pendidikan sebagai non PNBP.

Jika melihat mekanisme PNBP yang berbelit-belit birokrasinya sebenarnya agak merugikan memasukkan Pendidikan kedalam PNBP. Selain birokrasi yang berbelit-belit, PNBP yang mengharuskan adanya mekanisme tender juga berpotensi terjadinya korupsi, serta keprofesionalitasan Panita Penyelenggara yang diperytanyakan karena memungkinkan berganti system dan kepanitiaan tiap tahunnya.

Saya percaya elit-elit pendidikan di Negeri ini masih memiliki jiwa besar dan keberanian untuk lebih mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan dan egonya masing-masing. Serta mampu menjadi contoh bagi elit-elit negeri ini di sektor lainnya. Semoga

Anggota Majelis Wali Amanah UI Unsur Mahasiswa, mahasiswa Fisika UI th.2004

Email: al_jahadussalman@yahoo.com / bee_16_one@yahoo.com

Phone: 085694859595

Wednesday, June 04, 2008

Membincangkan Peran Mahasiswa

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Membincangkan peran mahasiswa, merupakan usaha untuk merumuskan apa saja laku atau tindakan seorang mahasiswa, baik itu secara individu maupun kolektif. Mahasiswa ibarat tokoh dalam sandiwara yang memiliki rangkaian hal yang menjadikan si tokoh berlaku atau bertindak. Di sini saya mengartikan peran mahasiswa sebagai kumpulan bentuk tindakan seorang atau suatu kelompok mahasiswa. Adanya tindakan itu, menjadikan mahasiswa terlihat, terdengar dan terasakan keberadaannya, yang biasa disebut sebagai eksistensi mahasiswa. Pertanyaannya, ”apa peran mahasiswa?”. Atau lebih jelasnya ”apa saja tindakan yang termasuk dalam peran mahasiswa?”.

Menjawab pertanyaan itu, bagi saya tidak mudah. Jika seorang mahasiswa mencuri sepatu di masjid kampus, atau ada mahasiswa yang melakukan pesta seks bebas, sepertinya kita semua sepakat bahwa, itu bukan merupakan bentuk peran mahasiswa. Jadi kalau misalnya mahasiswa M melakukan tindakan itu, tidak ada sangkut pautnya dengan peran mahasiswa. Meski pun si M dalam melakukannya menggunakan jaket almamater.

Tetapi banyak hal-hal di mana kita sulit membedakan mana yang termasuk peran mahasiswa dengan yang bukan. Misalnya, ada kegiatan mahasiswa yang bernama Jazz Goes to Campus (JGTC) (atau acara musik lain); aktivitas bermain kartu, gitar, futsal atau yang lainnya; acara seminar dan pelatihan yang diselenggarakan mahasiswa di hotel-hotel berbintang, dengan memungut biaya besar (senilai ratusan ribu s/d jutaan rupiah) dari masyarakat; aksi demonstrasi mahasiswa dengan cara-cara ”anarkis”; aksi ”militan” mahasiswa dengan mengatasnamakan sebuah identitas agama yang memperjuangkan sebuah (sistem) ideologi agama; atau juga rutinitas perkuliahan yang cenderung ”datar-datar saja”. Manakah aktivitas tersebut yang bisa dibilang sebagai bentuk peran mahasiswa?

Bagi saya, aktivitas mahasiswa tersebut sulit dibedakan mana yang bisa dibilang sebagai bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Dan bila kita bertanya kepada masing-masing pelaku tindakan tersebut, (sepertinya) masing-masing akan mengkleim bahwa tindakannya merupakan bagian dari peran mahasiswa. Masing-masing punya alasan dan penjelasan atas tindakannya.

Dari keadaan itu, perlu bagi kita menentukan batasan untuk dijadikan acuan penilaian terhadap peran mahasiswa. Diperlukan batasan untuk bisa membedakan mana yang memang merupakan bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Tak hanya sebagai acuan, tetapi juga sebagai koridor dalam menentukan dan menjalankan peran mahasiswa; sekaligus dalam mengkritik suatu bentuk peran mahasiswa.

Dahulu, sebagian dari kita begitu mengagungkan peran mahasiswa dengan tiga jargon: agent (/ direct) of change; middle-class; dan iron-stock. Saya pikir peran sebagai pengantar (/ pengarah) perubahan; penyambung kaum alit dan kaum elit; serta sebagai generasi penurus, masih relevan untuk dijadikan sebagai batasan dalam menentukan tindakan kita sebagai mahasiswa. Hanya saja tiga batasan (peran) itu identik dimiliki oleh kalangan mahasiswa yang aktif dalam pergerakan (demonstrasi). Sehingga perlu adanya batasan lain yang bisa diterima oleh semua civitas akademik, khususnya mahasiswa.
Mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi formal di kampus (perguruan tinggi), sebaiknya juga menjadikan landasan perguruan tinggi sebagai batasan yang dipakai untuk merumuskan perannya. Kita mengenalnya dengan istilah Tridharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Jadi, jawaban dari pertanyaan "apa peran mahasiswa?" adalah, mahasiswa memiliki peran dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi (TPT). Bentuk peran mahasiswa harus sesuai dengan proses pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
TPT bagi saya merupakan landasan yang sejalan bagi manusia yang diartikan sebagai insan kamil (insan yang sempurna). Insan kamil adalah insan yang dalam setiap lakunya merupakan perwujudan dari potensinya sebagai makhluk yang selalu berusaha untuk belajar, berkarya dan bermanfaat. Sehingga tak salah -setidaknya bagi saya- jika TPT (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) merupakan pengistilahan (lain) dari semangat belajar, berkarya dan bermanfaat.

Dengan landasan TPT, kita bisa membedakan mana yang merupakan bentuk peran mahasiswa dan mana yang bukan. Ketika kita mengadakan atau menilai kegiatan JGTC, maka acuannya adalah TPT. Adakah semangat pem(belajar)an di dalamnya? Adakah semangat berkarya di sana? Dan, adakah manfaat (bersama) yang bisa dirasakan dari kegiatannnya? Ini pun berlaku bagi kegiatan mahasiswa yang lainnya.

Lalu, siapa yang berhak menilai suatu kegiatan bisa dikatakan sebagai bentuk peran mahasiswa? Bagi saya, semua berhak menilainya. Kita yang menjadi bagian dari civitas akademik kampus berhak memberikan pandangan (beserta penjelasannya) bahwa suatu kegiatan sesuai/ tidak dengan TPT. Artinya, pihak birokrat kampus tidak bisa seenaknya (sendiri) melarang suatu kegiatan atau menilai suatu kegiatan lebih penting dibandingkan kegiatan yang lain. Misalnya, pihak birokrat tidak bisa (secara sepihak) menilai perkuliahan lebih penting dibandingkan aksi demonstrasi turun ke jalan. Karena, aksi demontrasi bisa memiliki dimensi TPT. Aksi demonstrasi bisa saja mengandung semangat belajar, berkarya dan bermanfaat. Sebaliknya, bisa juga perkuliahan merupakan aktivitas yang secara sistemik bukan merupakan aktivitas yang berorientasi TPT.

Lalu, bagaimana proses penilaiannya? Saya pikir kita perlu menciptakan iklim kebebasan berpendapat di dalam kampus. Lembaga-lembaga mahasiswa (BEM Fakultas & UI; BO & BSO; atau mungkin juga lembaga mahasiswa ekstra kampus) perlu menciptakan iklim kebebasan berpendapat melalui program-program yang menekankan kepada semangat kebebasan. Misalnya dengan media tulis dan gambar (buletin, tembok grafiti, poster, dll.), Mading dan forum, yang terbuka terhadap berbagai macam pandangan dan pihak. Sedangkan untuk pendapat (publik) secara umum bisa dengan cara melakukan poling atau wawancara.

Untuk mencapai proses dan hasil yang optimal, perlu adanya dukungan dari pihak birokrat kampus dalam menyediakan fasilitas kampus yang memadai. Misalnya dengan menerapkan prosedur pemakaian auditorium, aula dan ruang kelas yang mudah dan terbuka. Atau dengan menyediakan panggung kebebasan di setiap kantin fakultas untuk digunakan sebagai penyampaian ekspresi dan aspirasi (seni-budaya, diskusi, orasi dll.) mahasiswa.

Di sini saya menempatkan proses penilaian bentuk-bentuk peran mahasiswa sebagai (bagian dari) pengkondisian sekaligus pengendalian dinamika kehidupan kampus. Dinamika kehidupan kampus akan berjalan ”sehat” dan optimal bila berada dalam iklim yang bebas. Iklim yang bebas akan mendorong kita untuk lebih kreatif dalam menentukan dan melaksanakan suatu bentuk tindakan yang kita anggap sebagai bagian dari peran mahasiswa. Selain itu, iklim yang bebas akan mengendalikan dinamika kehidupan kampus melalui kritik dan otokritik (yang bebas) dari kita. Baik atas nama individu, lembaga atau kolektivitas mahasiswa.

Dengan memegang batasan TPT dan penciptaan iklim kebebasan berpendapat, kita (bisa lebih memungkinkan) terhindar dari stigma kelompok yang mengatakan bahwa suatu tindakan/ aktivitas bukan bagian dari peran mahasiswa; atau stigma yang ditujukan kepada individu/ kelompok sebagai bukan bagian atau satu-satunya yang merepresentasikan (gerakan) mahasiswa. Dan kita pun terhindar dari pelarangan sepihak terhadap suatu tindakan/ aktivitas. Dengan begitu, (apa itu) peran mahasiswa bisa kita pahami dan sepakati bersama. Hebatnya, dalam perumusan dan pelaksanaan peran itu, kita menjadi bagian yang terlibat aktif. Dan tentu saja, kita pula yang harus bertanggung jawab. [6/1'08]

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas
Mahasiswa Geografi FMIPA UI
http://suma.ui.edu/?pilih=lihat&id=130