Wednesday, June 23, 2010

Minggu Pagi untuk TKW Indonesia

“Semua orang ingin berbuat sesuatu untuk orang lain.”

Kalimat itu sepertinya akan menghentak banyak dari kita saat menonton “Minggu Pagi di Victoria Park” (MPVP). Sebuah curahan hati muncul dari obrolan dua orang tenaga kerja wanita (TKW) di awal film. Menjawab kita yang bingung terhadap pilihan mereka yang kerja sebagai buruh migran. Petuah klasik “hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan uang di negeri orang,” tak berlaku bagi kita yang ingin memberikan manfaat terhadap sesama semasa hayat. MPVP tak sekedar menawarkan hal baru bagi nomenklatur perfilman Indonesia. Yang baru ditawarkannya pun merupakan hal penting. Ini terkait hak hidup manusia. Bertumpuk identitas menyerta di dalamnya. Dari identitas diri, seks/gender, keluarga, masyarakat, etnisitas, budaya, hingga negara.

Tapi peliknya permasalahan TKW dalam MPVP, renyah dinikmati. Terasa asyik di perlintasan budaya pop, MPVP berjalan lincah tak mengerutkan kening. Penonton akan sangat mungkin memahami permasalahan TKW, tapi mengetahuinya tak membuat pusing. Berbeda dengan derita pahlawan devisa yang kita ketahui lewat berita layar kaca.

MPVP berpusat pada kisah Mayang (diperankan oleh Lola Amaria), seorang TKW yang bekerja di Hongkong. Tujuan utamanya ke Hongkong, bukan untuk mencari uang. Melainkan, mencari adik kandungnya, Sekar (Titi Tjuman). Sekar, yang lebih dulu bekerja di Hongkong, tak lagi mengirim kabar dan (tentu saja) uang.

Ada rivalitas antara Mayang dan Sekar. Dari kecil, Mayang selalu di bawah bayang-bayang Sekar. Tapi keduanya sama, tak bisa lepas dari stigma dominasi laki-laki. Pilihan Mayang bekerja di ladang tebu, tak pernah dihargai kepala keluarga, si bapak. Sebaliknya, Sekar yang mengikuti permintaan bapaknya untuk menjadi TKW, dibanggakan karena menghasilkan banyak uang. Selain itu, karena dinilai cantik oleh banyak laki-laki, Sekar ada sebagai perempuan; sedangkan Mayang hanyalah bayang.

TKW di Hongkong
Masalah TKW di Hongkong, berbeda dengan TKW yang ada di Malaysia atau negara Timur Tengah. Ini bukan tragedi kekerasan rumah tangga oleh majikan. Bukan pula tragedi pemerkosaan seksual. Secara umum, masalah yang dihadapi oleh TKW Hongkong adalah kompleksitas makna uang. Sebagai materi yang dicari, uang di sini terkait dengan keluarga. Masyarakat umum menganggap, TKW banyak mendapat uang di negeri orang. Anggapan ini menimbulkan tekanan bagi TKW. Terus bekerja dan mengirimkan uang kepada orangtua, suami atau anak, di tanah air, adalah pilihan yang tak bisa ditawar.
Selain terkait dengan keluarga, uang yang dicari dan dimiliki TKW pun terkait dengan pergaulannya di negeri orang. Kebutuhan dalam hal cinta dan mode, juga dialami para TKW. Keduanya menuntut uang yang tak sedikit.

Masalah keluarga dan pergaulan tersebut, membuat banyak TKW dihimpit hutang. Permasalahan tambah sulit, karena banyak TKW yang melakukan transaksi kredit untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan. Kredit barang yang dibeli tak sanggup dilunasi. Hutang serta denda pun semakin terakumulasi.

Sekar adalah satu dari TKW yang terbelit hutang. Ia tak bisa lagi mengirimkan uang pada orangtuanya ke Indonesia. Uang yang didapatnya dari kerja serabutan cuma cukup untuk biaya makan sehari-hari. Perempuan yang selalu menjadi juara kelas saat di bangku sekolah ini, tak bisa mencari uang banyak karena tak punya passport. Orang Hongkong tak mau memperkerjakan TKW tak legal, karena akan dihukum oleh pemerintah. Passport Sekar tak ada karena disita pihak kreditor sebagai jaminan pelunasan. Dalam himpitan keadaan itu, citra perempuan “baik-baik” Sekar, terpaksa dilacurkan.

Mengharap pagi
Minggu pagi di Victoria Park merupakan ruang waktu yang khusus bagi para TKW di Hongkong. Memanfaatkan Minggu sebagai hari bebas tugas, para TKW bertemu saudara setanah air. Mereka berbincang pada masing-masing komunitasnya. TKW Indonesia yang sejak awal tahun 2000 mendominasi pengunjung Victoria Park, memiliki ragam komunitas sosial. Komunitas daerah, keluarga, hobi, gaya hidup, ideologi (Islam misalnya), hingga lesbian.

Sekar yang terbelit hutang, hanyalah salah satu masalah yang diutarakan di tengah hiruk pikuk Victoria Park. Sari yang rela diploroti lelaki Pakistan hanya untuk mendapatkan cinta, dominasi Agus untuk meminta banyak uang dalam hubungan lesbiannya bersama Yati, atau Mayang yang belum lancar bahasa Canton, merupakan beberapa masalah yang meletup di MPVP. Tentu saja itu di luar keluh kesah mereka terhadap pemerintah Indonesia yang tak memperhatikan TKW, meski telah menyumbang pendapatan negara, yang nilainya kedua terbesar, setelah migas.

Terlepas derita Yati yang hilang seiring kematiannya, untunglah kisah MPVP tak berakhir dengan akhir yang buruk. Air mata, jika pun hadir, lahir dari kebahagiaan. Mayang menemukan Sekar. Keduanya berbaikan dan saling menyayangi. Ini semacam optimisme kita yang coba memahami (dan semoga berusaha menyelesaikan) permasalahan TKW. Senja kelam mungkin muram dan panjang. Tapi pagi, ada pasti. Meski hanya di hari Minggu. Tentu kita tak lupa, bahwa Minggu adalah akhir dari pekan. Hangat, ceria, ramai dan bahagia, layaknya di Taman Victoria, semoga merupakan akhir dari kehidupan para TKW. []


Usep Hasan S.

Monday, June 21, 2010

Perang “Persia”, Palestina-Israel dan Poligami

“Percuma kita berbicara, jika pedang sudah dihunuskan.”

(sebuah dialog dalam film Prince of Persia: The Sands of Time)

Anda setuju dengan pernyataan itu? Saya sih tidak. Saya berkeyakinan bahwa, perang tak akan menciptakan perdamaian. Cara kekerasan, apapun itu, hanya menunda masalah, bukan menyelesaikan. Damai yang dicapai dari perang, hanyalah jeda dari satu perang ke perang berikutnya. Karena perang akan menjadi adegan yang direkam film ingatan kita. Nantinya, ia menjadi pilihan untuk menyakiti, saat kita merasa mempunyai kekuatan.

Keyakinan itu coba ditekankan dalam film “Prince of Persia”. Melalui tokoh protagonis Dastan (diperankan Jake Gyllenhaal), film ini coba berpesan bahwa berbicara dengan kepala dingin (meski hati mungkin panas) merupakan cara beradab untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, dalam berbicara, tempatkanlah pihak lain secara setara, sebagai saudara. Pihak lain bukan untuk dihilangkan atau dikuasai, tapi merupakan subjek bagi kehidupan bersama yang damai.

Kisah perang di Persia

Dastan sejatinya adalah manusia “biasa”. Ia bukan pangeran, yang lahir dari sperma raja. Darah birunya didapat dari niat baik yang tulus, bukan karena ingin mencari kuasa dan gelar pangeran. Karakternya bersahaja, rendah hati, dan menempatkan (prestasi) kemampuan sebagai jalan menghadirkan manfaat. Sehingga, makna pangeran adalah karya dan kebermanfaatan, bukan posisi.

Dastan kecil dipungut di pasar oleh Raja Persia, Sharaman (Ronald Pickup). Sang Raja kepincut karena talenta akrobatik dan iba pada kesengsaraan yatim-piatu Dastan. Anak Raja menjadi tiga: Tus (Richard Coyle), Garsiv (Toby Kebbell), dan si anak angkat, Dastan.

Saat pemerintahan kosong ditinggal raja, Nizam (Ben Kingsley), saudara kandung Sang Raja, menyarankan putra sulung raja untuk memerangi kerajaan Alamut. Menurut paman ketiga pengeran itu, Alamut mempunyai senjata rahasia yang bisa mengancam kedamaian Persia. Perang Persia pun menjadi pilihan.

Ternyata Nizam bermuslihat. Gudang senjata yang dimaksud tak ada. Nizam sebenarnya ingin memiliki harta keramat Alamut, berupa sebilah belati. Keistimewaan Belati Alamut bisa memutar mundur waktu. Nizam ingin ke masa remaja, saat ia menyelamatkan saudara kandungnya, Sharaman, yang hampir diterkam harimau. Seandainya Sharaman mati saat itu, Nizam lah yang menjadi Raja Persia. Dengan Belati Alamut pun, ia akan mengusai dunia. Sejarah peradaban akan dirubah, sesuai keinginan sifat/sikap kekerasan dan gila kuasanya.

Dari cerita itu, “Prince of Persia” seperti metafora Perang Irak-Amerika Serikat. Saat rezim Saddam Husein itu dijatuhkan, Bush sebelumnya mengatakan bahwa alasan Irak diperangi adalah karena Irak mempunyai senjata pemusnah massal. Padahal Amerika Serikat ingin mendapatkan sumber minyak. Tak lain, tujuannya untuk meneruskan status Amerika Serikat sebagai adidaya dunia.

Kini perang di Irak, “berakhir”. Tapi, keadaanya terus dihantui teror. Korban ledakan bom, martir, ranjau atau dari tembakan militer Amerika Serikat dan pasukan oposisinya masih saja hadir. Damai seperti mimpi seribu satu malam.

Tragedi Mavi Marmara

Di lain tempat, perang antara Palestina-Isreal masih berlangsung. Ketenangan di sana, hanyalah jeda perang yang tak lama. Israel sebagai pihak agresif, terus memperluas daerahnya dengan membangun permukiman di luasan daerah Palestina. Perlawanan warga Palestina memperjuangkan hak tinggal dan hidupnya, selalu ditanggapi tentara Israel dengan serangan yang lebih besar.

Terakhir watak agresif Israel terjadi di perairan tepi barat Gaza pada Senin (31/05/2010) kemarin. Pasukan pertahanan Israel (IDF) menyerang konvoi relawan kemanusiaan “Flotila to Gaza”. Mavi Marmara, salah satu kapal di rombongan, yang berisi 700-an orang, paling banyak jatuh korban. IDF menyatakan bahwa pihaknya cuma membela diri. “Soalnya, kami diserang lebih dahulu dengan pisau dan senjata,” kata pihak Israel. Pembelaan yang langsung dibantah oleh penumpang yang menyaksikan. “Pasukan Israel mulai menembak saat mereka masih berada di dalam helikopter yang membuntuti kapal,” kata Zuabi sebagaimana media massa Reuters, AP, dan AFP mewartakan, Selasa (1/6/2010)—kompas.com (2/6/2010).

Kita mungkin bingung kenapa tindak kekerasan Israel itu dilakukan. Di antara kita, yang tak bisa berbuat apa-apa, mungkin ada yang membayangkan, memutar kejadian agar para relawan tak memaksakan pergi ke Gaza, karena Israel sudah melarang-memperingati. Atau, memutar waktu untuk mencegah IDF tak memilih bertindak bidab. Atau memutar lebih jauh, mencegah negara Israel didirikan.

Tapi saya akan membayangkan lebih jauh lagi. Seandainya saya mempunyai Belati Almanut, saya akan menyayat dimensi waktu, untuk kembali ke masa Nabi Ibrahim. Isma(i)el dan Israel merupakan dua garis keturunan dari ibu berbeda, Hajar dan Sarah. Hajar melahirkan Ismail, dan Sarah melahirkan Ishaq. Dari mereka, lahir klan Arab Islam (serta Nasrani) dan Yahudi. Keturunannya semakin banyak, dan melestarikan keyakinan. Sebagian, yang berada di sekitar tanah (yang katanya) suci Yerussalem, memilih berperang hingga kini.

Yahudi Israel dan Arab (Islam) Palestina terus berperang memperebutkan tanah dan kuasa. Hak hidup dan kejayaan masa lalu menjadi dasar masing-masing berseteru. Keyakinan kedua pihak mengklaim bahwa agama dan kitab sucinya yang Benar, sedangkan lainnya salah. Ini menjadi dasar pembenaran pertumpahan darah meraka. Mungkin hanya kelelahan yang menghentikan keduanya, seperti berakhirnya perang salib yang menjadi sejarah kelam.

Seandainya waktu bisa diputar, saya akan mencegah Ibrahim berpoligami. Ibrahim harusnya lebih sabar mempunyai anak, sehingga tak perlu menikahi Hajar. Dengan begitu, perang Palestina-Israel tak pernah ada. Bapak yang nyaris menyembelih putranya, Ismail—dalam literatur Kristen, yang disembelih adalah Ishaq—itu, secara genetis merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap sejarah dan keaktualan pembantaian (ke)manusia(an) di Palestina-Israel. Termasuk tragedi Mavi Marmara, kemarin.

Saya sadari, pikiran saya soal poligami Ibrahim terlalu ngelantur. Tapi, bagi saya, ini tak lebih ngelantur dibandingkan menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Ngelanturnya masyarakat dunia, khususnya bagi yang berkonflik, karena menjadikan “perang” sebagai pilihan. Yakinlah, damai tak berpasangan dengan perang, layaknya siang-malam. “Kita semua bersaudara,” kata Dastan. Karena itu, hanya ada satu pilihan: damai. []

***

Usep Hasan S adalah Penyuka film, tak suka perang—apalagi poligami

http://hminews.com/news/perang-“persia”-palestina-israel-dan-poligami/

Sunday, June 13, 2010

Perempuan dalam Relasi Masjid-Ruang Publik

Raheel Reza, penulis buku “Their Jihad, Not My Jihad”, menjadi imam dan khatib shalat Jumat di Oxford (BBCIndonesia.com – detikNews, Jumat, 11/06/2010). Kejadian ini mengulang kontroversi di kalangan umat Islam. Lima tahun yang lalu, tepatnya tanggal 18 Maret 2005, Amina Wadud melakukan hal yang sama. Amina mengadakan ibadah sholat Jumat di di gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John The Divine, Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS). Amina bertindak sebagai khatib dan imam shalat yang dihadiri oleh jamaat laki-laki dan perempuan.

Tindakan Amina pada waktu itu disambut oleh reaksi keras umat Islam. Raheel pun, kini, mengalami hal serupa. Aksi Raheel dan Amina oleh mayoritas muslim dianggap sebagai hal menyimpang. Tradisi Islam (dalam konsensus umum) yang sudah berlangsung belasan abad, hingga sekarang, dikhawatirkan akan rusak.

Sikap keras menolak imam perempuan seolah menggambarkan adanya tembok baja dalam usaha mewujudkan kesetaraan gender dalam Islam. Sikap penolakan terhadap imam perempuan tersebut muncul dari baik umat Islam yang menolak maupun menerima kepimpinan perempuan di ranah publik.

Yang membolehkan

Taruhlah memang tradisi Islam tak pernah mempraktekkan perempuan menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki (dan perempuan), tetapi apakah itu berarti ada larangan terhadap perempuan untuk menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki? Atau, apakah Muhammad pernah secara langsung dan tegas menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam dan khatib bagi jamaah laki-laki?

Tampaknya, penyelenggaraan sholat Jumat Raheel merupakan jawaban terhadap pertanyaan semacam itu. Dalam ajaran Islam, posisi laki-laki dan perempuan adalah setara. Tak ada yang lebih tinggi, dan tak ada yang lebih rendah. Yang melebihkan antara keduanya adalah tingkat kualitas, wawasan, keilmuan, amal perbuatan, atau dalam bahasa agamanya adalah taqwa (QS. 49: 13). Demonstrasi “radikal” Raheel merupakan refleksi dari makna ajaran tersebut.

Sholat Jumat ibadah merupakan bentuk ritus Islam yang kaya akan nilai-nilai sosial yang pada umumnya dilakukan di masjid. Sholat tak hanya mengandung dimensi spiritual, tetapi juga terdapat dimensi sosial yang kuat. Nilai-nilai dari dimensi sosial ini yang dianjurkan diterapkan di dalam ruang publik. Di antaranya adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk beraktualisasi dan berkontribusi di ruang publik. Menjadi imam atau pemimpin merupakan salah satu bentuknya.

Di sinilah kompleksitas demonstrasi Raheel dan Amina. Kepemimpinan perempuan ia tempatkan tak hanya pada ranah ibadah mahdhah (ritual). Kedua intelektual muslimah ini juga memposisikan perempuan pada relasi antara masjid dan ruang publik. Perlu ada penjelasan dalam bingkai istilah privat dan publik terhadap masjid. Sehingga akan muncul pertanyaan, yaitu apakah masjid termasuk ruang publik? Jika perempuan boleh menjadi pemimpin di ruang publik, kenapa perempuan tak boleh menjadi imam di masjid?

Masjid-ruang publik

Dalam relasi masjid-ruang publik, tampaknya perempuan menjadi imam dan khatib belum diterima dan populer. Bisa jadi karena pada umumnya umat Islam masih membedakan antara masjid-ruang publik dan memisahkan antara ruang dalam-luar masjid. Masjid masih dipandang sebagai “rumah Tuhan” yang suci dan terikat oleh aturan tradisi keyakinan agama, sedangkan luar masjid adalah ruang yang penuh dengan kepentingan dunia yang fana.

Masjid dan lingkungan di luar masjid merupakan dua bagian yang bersatu dalam sistem kehidupan sosial masyarakat. Keduanya merupakan relasi yang saling terkait, yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya satu kesatuan ruang publik. Bentuk aturan/perlakuan umum yang berlaku di masjid adalah representasi dari budaya yang berlaku di lingkungan masyarakat luar masjid, begitu juga sebaliknya. Aturan/perlakuan umum yang berlaku di masjid (sebagai ruang publik) bersifat terbuka, tidak tetap, dan diusahakan bebas dari paksaan serta dominasi.

Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, masjid menjadi pusat kegiatan sosial-politik dan keagamaan. Suara dan aspirasi kaum perempuan juga terakomodir di dalamnya dan merupakan perwujudan dari opini publik. Keadaan pada masa itu tak memungkinkan perempuan menjadi pemimpin, imam shalat atau khatib karena telah lama dibentuk oleh tradisi patriarki yang misoginis. Perempuan tak mengenyam pendidikan. Perempuan tak diberi kesempatan dan kebebasan untuk tampil di ruang publik. Pada saat itu, perempuan adalah kaum kelas dua dari laki-laki.

Mengubah paradigma masyarakat dan meningkatkan kualitas kaum perempuan membutuhkan perjuangan keras dan proses yang lama. Posisi dan peran perempuan pada saat itu merupakan hasil proses pemikiran dan negosiasi Muhammad dengan pandangan (budaya) masyarakat Arab pada zamannya. Negosiasi yang dimaksud adalah antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial dengan seluruh kendala yang ada. Bentuk “kesetaraan” laki-laki dan perempuan pada saat itu adalah hasil suatu pertemuan dialektik antara “yang universal” dengan “yang partikular”.

Dari apa yang telah Muhammad putuskan saat itu, yang perlu diambil untuk masa sekarang adalah “yang universal"-nya, bukan “yang partikular"-nya. Yang diterapkan sekarang ini adalah nilai, semangat dan tujuan utamanya, bukan bentuk (teknis) pelaksanaannya.

Dalam pembahasan lain, benar memang, Muhammad telah “memberikan penghargaan” berupa mahar, hak waris (1/2 dari laki-laki), hak/kewajiban menjadi saksi (1/2 dari laki-laki), atau yang lainnya, tetapi bukan (bentuk) itu yang diambil untuk masa dan konteks sekarang. Yang perlu diambil adalah pesan dan semangat kesetaraan (gender) di balik bentuk-bentuk penghargaan itu. Artinya, bukan berarti yang diterapkan Muhammad di masanya akan/selalu cocok untuk masa dan konteks sekarang. Sekarang sudah terjadi banyak perubahan pandangan dan keadaan terhadap perempuan.

Kesetaraan gender di dalam masjid

Fungsi masjid sebagai ruang publik perlu dioptimalkan dengan menyertakan semangat kesetaraan gender yang diambil dari (bentuk) penghargaan yang Muhammad berikan kepada perempuan. Hendaknya masjid dijadikan ruang terbuka yang memberikan hak (dan kewajiban) dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam beraktivitas di dalamnya.

Permasalahan yang melanda kaum perempuan sekarang cukup mendesak untuk diselesaikan dan diperjuangkan. Kekerasan, pelecehan, trafficking, prostitusi, kesehatan, kesenjangan atas hak publik/berpolitik adalah beberapa contohnya. Masjid seharusnya menjadi semacam “laboratorium” civil society. Di dalamnya segala permasalahan publik/masyarakat diperbincangkan, didialogkan, kemudian dirumuskan penyelesaiannya. Dalam konteks permasalahan kaum perempuan, pihak yang paling tepat berbicara adalah pihak perempuan. Di sini seharusnya perempuan diberikan hak dan kesempatan yang lebih banyak, itu berarti salah satunya adalah untuk tampil berbicara.

Kondisi atau aturan masjid yang sarat dengan hijab/pembatas, melarang perempuan menjadi imam, khatib atau turut serta dalam shalat Jumat, perlu dipertanyakan, dipertimbangkan dan dirumuskan kembali untuk menghasilkan perubahan yang bersifat membebaskan dan partisipatoris. Kondisi dan aturan masjid yang demikian akan membentuk pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Pandangan yang hanya membolehkan perempuan menjadi pemimpin, asal tak ada laki-laki yang mampu menjadi pemimpin; atau hanya membolehkan perempuan memimpin/berbicara di forum perempuan merupakan pandangan yang sangat bias gender. Pandangan yang melahirkan penilaian dan keputusan berdasarkan jenis kelamin/gender-nya. Apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan, jika dia perempuan, ya, tidak.

Masjid sebaiknya menjadi ruang publik yang memberikan keterbukaan dan kesempatan berarti kepada perempuan. Di ruang ini perempuan bisa berbicara, didengar, menguji dan membuktikan gagasan atau kualitas pribadinya. Di ruang ini kaum laki-laki, bisa belajar terbuka, menerima, dan membiasakan untuk mendengarkan dan memahami gagasan dan permasalahan perempuan serta (bersedia) dipimpin oleh seorang perempuan, sebagaimana perempuan yang telah terbuka untuk menerima dan terbiasa dipimpin oleh laki-laki.

Jika masjid yang memiliki fungsi sebagai ruang publik masih memilihara kondisi yang bias gender, selamanya kondisi masyarakat sebagai bentuk ruang publik yang lebih luas dan nyata akan cenderung memiliki pandangan dan memelihara kondisi yang bias gender pula. Selamanya, ranah pijak masyarakat, muslim khususnya tak akan mencapai kesetaraan gender. []

USEP HASAN S.

http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/perempuan_dalam_relasi_masjid_ruang_publik/