Thursday, September 13, 2007

Demi Keutuhan Bangsa

Oleh ARIFULLAH IBN RUSYD

Ternyata apa yang dikenal dengan konsep integrasi nasional masih labil. Proses nation and character building sama sekali jauh dari selesai. Kita semua, terutama para pemimpin formal, sejak proklamasi telah lengah dan lalai dalam merawat dan memelihara rasa kekitaan anak bangsa ini karena berasumsi bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sudah mapan, kokoh, dan pasti tahan banting. Perkiraan ini jelas ahistoris, tidak berpijak atas fakta sejarah.

Mengapa? Alasannya sangat gamblang. Indonesia sebagai bangsa, bukan kumpulan suku bangsa, baru muncul awal 1920-an. Sebab itu, pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia sudah muncul sejak zaman Kerajaan Kutai yang Hindu awal abad ke-5 atau sejak kerajaan maritim Sriwijaya yang Budis akhir abad ke-7, jelas mengada-ada. Tetapi, bahwa bekas kedua kerajaan itu kemudian menjadi bagian Indonesia modern, sepenuhnya didukung fakta sejarah.

Sebagai bangsa muda, kita harus ekstra hati-hati merawat Indonesia ini. Kecerobohan sentralistik selama empat dasawarsa yang lalu jangan diulang lagi pada masa depan, sebab risikonya adalah bahwa doktrin bhinneka tunggal ika bisa berantakan, dan bangsa muda ini dapat berkeping-keping, sesuatu yang harus dicegah. Kegagalan kita dalam upaya pencegahan proses disintegrasi ini pastilah akan berujung dengan malapetaka: Indonesia akan musnah dari peta sejarah. Sungguh suatu tragedi jika itu terjadi.

Sebab itu, pendekatan yang serba politik-legalistik dalam memperjuangkan suatu kehendak atau aspirasi politik hendaklah mempertimbangkan kondisi bangsa yang masih muda dan rentan ini. Keinginanan untuk memperjuangkan syariat Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam PERDA biasa, tidak dalam PERDA (berbau) syariah simbolik yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali. Bukankah perjuangan antimaksiat pada hakikatnya adalah perjuangan semua golongan? Dan itu semua dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama.

Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kenyataan yang berlaku selama ini. Berapa banyak undang-undang yang bertujuan melawan maksiat tetapi kandas dalam proses eksekusinya karena sebagian aparat penegak hukum merupakan bagian dari dunia gelap itu. Sebutlah misalnya masalah perjudian dan pelacuran. Sudah menjadi rahasia umum di mana-mana bahwa tempat-tempat maksiat itu pasti ada yang melindungi. Lingkaran setan semacam inilah yang harus dikaji secara sosiologis dengan kepala dingin melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Cara-cara emosional, demo dengan teriakan 'Allahu Akbar', apalagi ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek, pastilah akan bermuara pada kegagalan yang melelahkan.

Jika kenyataan ini berlaku, dari sisi dakwah, sungguh merupakan malapetaka (bumerang). Orang akan mencibir: ternyata produk yang serba syariah itu tidak membuahkan kenyamanan dan ketenteraman. Masalah ini jauh dari sederhana. Maka, otak-otak sederhana harus mau bertanya kepada ahl al-dzikr (para pakar) dari berbagai latar keilmuan melalui pendekatan interdisiplin. Tengoklah ia dari berbagai sudut pandang. Libatkan para pakar yang berkualitas dari UIN/IAIN di samping pakar dari perguruan tinggi umum. Hendaklah disadari benar bahwa proyek legalisasi syariah adalah sesuatu yang sangat serius. Saya tidak mau menyaksikan sebuah Islam yang gagal memperbaiki akhlak bangsa yang sedang rapuh ini, gara-gara kedunguan kita.

Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu? Bukankah kegagalan proyek negara Islam Pakistan yang sarat dengan korupsi itu adalah karena kegagalan ulama konservatif untuk berurusan dengan perkembangan zaman yang bergulir tanpa henti? Mereka mengharamkan kaum perempuan jadi pemimpin, sedangkan kaum lelakinya juga tidak becus mendaratkan pesan Alquran berupa rahmat bagi seluruh alam pada proyek negara Islam yang semula didukung oleh seluruh energi bangsa baru itu.

Dalam perspektif di atas, adalah sikap gegabah yang sia-sia bila orang dengan gampang menuduh orang lain sekuler jika tidak mendukung gagasan negara Islam, seperti yang kita alami tahun 1950-an. Pengalaman Indonesia menjelang dan pascaproklamasi tentang masalah dasar negara cukup kaya untuk kita buka kembali. Janganlah energi bangsa yang sudah hampir habis terkuras ini digunakan dengan serampangan, semata-mata karena ke-bahlul-an kita dalam membaca masyarakat Indonesia yang plural, heterogen, dan rentan ini. "Maka, ambillah pelajaran (secara sunguh-sungguh), wahai kamu yang diberi penglihatan tajam," seru Alquran dalam surat al-Hasyr (59): 2.

Manusia yang selalu merasa dirinya benar, sejatinya telah kehilangan kemanusiaan” []

Agustus 2006

ARIFULLAH IBN RUSYD
aktivis lintas batas

Membutuhkan Pemimpin Ideal

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Pernah saya menyempatkan diri mendatangi satu sekolah dasar (SD) di salah satu daerah (pelosok) di Banten. Seperti biasanya, fisik bangunan SD di daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota keadaannya jauh dari kelayakan. Di salah satu ruangan SD itu ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Sesuatu itu adalah sebuah majalah dinding yang isinya belum pernah saya lihat di ruang-ruang kelas sekolah lain. Majalah dinding itu ada di antara majalah dinding lain seperti denah bangku kelas, daftar pelajaran, jadwal piket, peta Indonesia serta petuah-petuah bijak yang bertuliskan "rajin pangkal pandai", "hemat pangkal kaya" dan yang lainnya. Majalah dinding itu berjudul, "Jika Aku Seorang Presiden".

Ternyata majalah dinding itu berisi tulisan anak-anak kelas 5 yang berandai-andai menjadi Presiden Republik Indonesia. Coba simak tulisan anak bernama Humaeroh, jika aku jadi Presiden aku akan: 1. membantu orang miskin; 2. memberantas korupsi; 3. menolong korban banjir, 4. menurunkan harga BBM; dan 5. membasmi teroris. Atau Masturi yang jika dia jadi Presiden ingin: 1. membantu orang yang kesusahan; 2. membangun sekolah yang rusak; 3. menyekolahkan yang ga mampu sekolah; 4. menolong anak yatim; dan 5. menolong orang yang kena bencana alam. Atau tulisan anak yang lain yang ingin membangun jalan, menyumbang panti asuhan, bikin saluran air agar tidak banjir, pasang kabel telepon dan lain-lain.

Tulisan-tulisan tersebut membuat saya tersenyum sekaligus sedih. Tersenyum karena saya bangga. Dibandingkan saya sewaktu sekolah di kelas 5 SD yang hanya memikirkan bermain dan jajan, anak-anak tersebut sudah bisa berandai-andai serta menuliskan harapan dan cita-cita mereka, atau setidaknya guru mereka telah mengarahkan ke hal tersebut. Sedangkan saya sedih, karena apa yang mereka tulis merupakan curahan langsung dari apa yang mereka rasakan. Mereka berada dalam atau dekat dengan (realita) masalah tersebut. Kemiskinan, sekolah rusak, tidak/ putus sekolah dan anak yatim. Kemudian keadaan daerah yang rusak jalannya, tidak ada telepon dan yang lainnya. Ditambah berita-berita yang sering mereka lihat seperti korupsi di mana mereka menjadi korban dari dampaknya. Mungkin mereka masih bisa tersenyum, bermain dan bahagia, tetapi mereka berada dalam lingkaran ketidak sejahteraan.

Ya, harapan dan "andai-andai" mereka merupakan salah satu jawaban dari masalah tersebut. Kita membutuhkan presiden sebagaimana yang mereka harapkan. Kita membutuhkan presiden yang ideal. Atau dengan istilah umum, kita membutuhkan pemimpin ideal. Ideal di sini berarti, mau dan bisa secara optimal menyelesaikan permasalahan yang anak-anak itu tulis. Permasalahan yang begitu nyata di hadapan kita. Kemiskinan, kebodohan, korupsi, fasilitas dan infrastruktur yang tidak memadai, bencana alam, dan yang lainnya. Lalu pertanyaannya, bagaimana kriteria pemimpin ideal itu? Pemimpin yang mau dan bisa secara optimal menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu.

Kriteria pemimpin ideal
Banyak defenisi mengenai pemimpin, sepertinya hampir sama banyak dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Di antaranya, pemimpin adalah orang yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial untuk melakukan sesuatu yang diharapkan dan dipersepsikannya (Hosking, 1988). Atau dalam defenisi lain, pemimpin adalah orang yang memberi pengarahan yang berarti terhadap usaha atau kerja kolektif dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs dan Jacques, 1990). Pemimpin tidak sama dengan orang(-orang) yang dipimpinnya. Pemimpin mempunyai kriteria yang tidak dimiliki oleh orang yang dipimpinnya.

1. Visioner
Dari dua defenisi pemimpin di atas, kita bisa mendapatkan satu kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin. Kriteria itu adalah visioner. Pemimpin harus mempunyai visi. Pemimpin harus mempunyai pandangan dan impian, mau diapakan dan mau jadi seperti apa orang, komunitas dan/ pemerintahan yang dipimpinnya. Tentu hal ini merupakan satu paket yang di dalamnya terdapat langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan untuk mencapai visi tersebut, inilah yang dinamakan misi.

2. Berwawasan
Kriteria berikutnya yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah wawasan yang luas. Agar visi bukan merupakan pandangan dan impian yang kosong dan juga agar visi bisa diterima oleh orang yang akan dipimpinnya, visi harus berangkat dari wawasan. Wawasan di sini meliputi wawasan yang sifatnya lokal dan juga global.
Wawasan lokal berarti, pemimpin mempunyai wawasan seputar siapa dan apa yang akan dipimpinnya. Ini bisa terwujudkan dengan mengakarnya seorang pemimpin. Pemimpin dikenal oleh orang yang (akan) dipimpinya. Pemimpin bisa mengetahui dan memahami serta merumuskan solusi terhadap masalah yang dialami oleh siapa dan apa yang dipimpinnya. Menurut almarhum Pramoedya Ananta Toer, syarat mutlak seorang Presiden adalah memahami geografi dan sosiologi. Artinya, seorang pemimpin harus memahami daerah dan orang-orang yang dipimpinnya.

Sedangkan wawasan global berarti, pemimpin mempunyai wawasan di luar wawasan yang sifatnya lokal. Pemimpin bukan merupakan sosok "katak dalam tempurung". Pemimpin merupakan orang yang kaya pengetahuan dan pengalaman dari berbagai macam tempat dan bidang. Inilah yang dikatakan oleh Amien Rais dengan istilah wawasan yang divergen. Pemimpin seperti ini memiliki banyak rumusan ide dan cara dalam memecahkan masalah, di samping banyaknya jaringan yang akan mendukung dan membantu kepemimpinannya.

3. "1% Visi, 99% Aksi!"
Thomas Alva Edison dalam riwayat hidupnya pernah berkata, "jenius adalah 1% inspirasi, 99% sisanya adalah keringat!". Mungkin inilah motto hidup yang mendorong dia melakukan ribuan kali percobaan dalam menemukan dan membuat lampu pijar. Jika perkataan Edison kita modifikasi menjadi, "keberhasilan adalah 1% visi dan 99% aksi!", mungkin bisa lebih mudah untuk kita dalam menentukan kriteria pemimpin ideal yang berikutnya, yaitu aksi atau tindakan nyata.

Benar, visi atau mempunyai visi merupakan hal penting. Tetapi itu tidak berguna tanpa adanya usaha untuk mewujudkannya. Seorang motivator muda bernama Danang Azis Akbarona berkata, "kita sering bermimpi tetapi kita tidak pernah menuju tahap selanjutnya, take action!". Visi memang penting, tujuan sangat dibutuhkan, tetapi itu hanya 1%. Visi menjadi "omong kosong" tanpa aksi dan usaha yang keras. Pemimpin ideal adalah pemimpin yang mewujudkan visinya dengan keringat, dengan aksi nyata yang optimal. Dan juga, pemimpin ideal adalah pemimpin yang terbentuk dari (akumulasi) tindakan dan aksi nyata yang memberikan dampak dan perubahan.

Dari sekian banyak kriteria pemimpin, itulah yang menurut saya merupakan kriteria yang paling penting. Kriteria inilah yang menjadi dasar seorang pemimpin untuk bisa menyelesaikan permasalahan seperti korupsi, kemiskinan, sekolah rusak, tidak/ putus sekolah dan anak yatim, fasilitas publik yang rusak dan minim serta masalah yang lainnya. Kriteria pemimpin yang bisa mewujudkan harapan anak-anak kelas 5 SD yang tertulis di majalah dinding ruang kelas. Kriteria pemimpin ideal yang kita butuhkan.

Tetapi idealita tidak lepas dari realita. Bahkan sering idealita bertolak belakang dan berbenturan dengan realita. Mungkin mereka yang memiliki kriteria pemimpin tersebut ada (dan mungkin banyak) di sekitar kita, tetapi mereka selalu terbentur oleh realitas masyarakat yang lengkap dengan kepentingan politiknya. Mereka yang layak menjadi pemimpin biasanya selalu terjegal oleh mereka-mereka yang hanya ingin mendapat "gelar pemimpin". Karena bukan rahasia bila orang yang mempunyai kekuasaaan (uang dan kekuatan) bisa mendapatkan posisi dan menjadi pemimpin.

Realitas itu harus kita lawan. Dengan cara apa? Mungkin banyak cara. Tetapi cara-cara tersebut sepertinya tidak lepas dari cara yang begitu mendasar ini. Cara yang akan memiliki efek luar biasa, yaitu dengan cara menjadikan kita sebagai pemimpin. Pe(/ me)mimpin diri kita sendiri. Jadikanlah diri-diri kita ini menjadi diri yang memiliki kriteria pemimpin. Visioner, berwawasan luas dan berusaha keras. Bukankah Nabi Muhammad menekankan perubahan dengan kalimat, "Ibda' bin nafsik", mulailah dari diri sendiri? Bukankah Abdullah Gymnastiar dengan komunitasnya yang hebat sering mengingatkan akan pentingnya 3M (mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari sekarang)? Yakinlah, bahwa untuk membuat pemerintahan yang baik (dengan sistem yang baik), dimulai dengan kualitas individu-individu yang baik. Karena apa? Salah satunya karena kita selalu membutuhkan pemimpin ideal, untuk menuju kondisi yang ideal.

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas
penggiat di FORKOMA UI Banten

Wednesday, September 12, 2007

Demokrasi Ala Indonesian Idol

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Beberapa tahun terakhir, hampir di setiap malam kita disuguhi acara televisi berupa referendum populer untuk memilih penyanyi terbaik dengan format pemilihan via sms. Salah satu dari acara tersebut bernama Indonesian Idol di RCTI. Indonesian Idol merupakan acara yang memperoleh lisensi dari acara di Amerika Serikat yang bernama American Idol. Seperti di negara asalnya, Indonesian Idol pun merupakan acara yang banyak ditonton oleh jutaan pasang mata pemirsa.

Jika Indonesian Idol bisa menjadi penyederhanaan demokrasi yang maknanya hanya sebatas pemilihan langsung yang ditentukan oleh kehendak mayoritas, menurut saya Indonesian Idol bisa dijadikan referensi yang baik bagi Indonesia yang sedang "belajar" berdemokrasi. Dalam Indonesian Idol terkandung nilai serta semangat dari demokrasi yang (bagi saya) baik dicontoh dalam proses pemilihan pemimpin negara, PEMILU atau proses pemilihan kepala daerah langsung, PILKADAL.

Kontestan independen
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam Indonesian Idol, semua orang bisa mendaftarkan diri menjadi kontestan. Tidak ada pembatasan yang diskriminatif. Semua yang merasa memiliki kemampuan menyanyi dan kepercayaan diri yang tinggi bisa mengikuti kompetisi ini. Proses penseleksian dengan sistem dan penjurian yang terbuka yang kemudian menentukan siapa yang layak menjadi kandidat pemenang merupakan salah satu nilai demokrasi di mana semua warga negara (yang memenuhi syarat) memiliki hak dipilih. Setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam berkompetisi. Dan setiap individu merupakan individu yang bebas, individu yang independen, individu yang tanpa disertai oleh unsur, pihak serta kepentingan lain.

Hal tersebut berbeda dengan yang berlaku di dalam PEMILU/ PILKADAL. Sistem perekrutan calon kandidat pemimpin PEMILU/ PILKADAL hanya mengenal mekanisme perekrutan melalui partai politik (Parpol). PEMILU/ PILKADAL belum menerapkan mekanisme perekrutan calon dari kalangan independen/ tidak lewat jalur Parpol. Padahal, mekanisme perekrutan calon dari kalangan independen lebih memungkinkan terbebas dari tarik-menarik kepentingan dari berbagai pihak.

Di samping itu, untuk mengoptimalkan hak mencalonkan dan hak dipilih beserta mengakomodir hak tersebut, dalam pemilihan pemimpin (negara/ daerah) secara langsung, perlu adanya asumsi bahwa masyarakat tidak lagi melihat dan memilih Parpol melainkan lebih melihat dan memilih figur dari calon kandidat. Saya yakin ada banyak calon pemimpin yang berkualitas yang layak mengikuti proses pemilihan yang kemudian bisa (terpilih) menjadi pemimpin. Sangat disayangkan jika hal ini harus dibatasi dengan mekanisme perekrutan melalui Parpol.

Tidak menjadikan ijazah sebagai persyaratan
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam Indonesian Idol semua orang bisa mendaftarkan diri sebagai kontestan. Artinya, persyaratan dalam Indonesian Idol tidak memberatkan siapa pun. Salah satunya dengan tidak adanya persyaratan pendidikan (formal) minimal. Siapa pun orangnya, entah Sarjana, lulusan SLTA, lulusan SLTP, lulusan SD, atau tidak pernah sekolah sekalipun, bukan merupakan hal penting. Yang penting adalah kualitas suaranya bagus dan menarik. Tidak peduli apakah calon pernah atau lulusan kursus olah vokal atau tidak.

Pada proses perekrutan calon dalam PEMILU/ PILKADAL, salah satu persyaratannya adalah ijazah pendidikan formal. Bagi saya ini merupakan pembatasan yang kurang substansial sifatnya. Karena, bukan berarti orang yang tidak memiliki ijazah formal tidak mempunyai pengetahuan yang luas serta tidak memiliki leadership skill. Sebaliknya, bukan berarti mereka yang gelarnya berderet pasti mempunyai pengetahuan yang luas serta mempunyai leadership skill. Paradigma gelar sebaiknya kita ganti menjadi paradigma kemampuan dan keahlian.

Di samping itu, gelar yang semula merupakan atribut penghargaan atas kemampuan, keahlian atau kinerja seseorang, kini telah berubah menjadi sebuah orientasi untuk mencapai posisi dan jabatan. Orang sekolah (secara asal) kemudian bergelar agar bisa mendapat posisi, naik jabatan, berubah status, berpenghasilan tinggi dan sebagainya. Bukan untuk menimba ilmu, membentuk kualitas pribadi berkemampuan dan berkeahlian yang bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menjadikan persyaratan ijazah pendidikan formal sebagai manifestasi kualitas calon, bagi saya terlalu formalistik. Karena sebagaimana yang kita ketahui tidak sedikit tokoh nasional dan tokoh dunia yang tidak mengenyam pendidikan formal bisa menciptakan perubahan bagi negara mereka dan dunia ini. Bisa jadi karena banyaknya gelar pendidikan formal, seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di intitusi pendidikan dibandingkan melakukan aksi nyata di masyarakat. Selain itu adanya persyaratan pendidikan formal sangat berpotensi munculnya pemalsuan, penipuan dan money politic dalam proses PEMILU/ PILKADAL. Belum lagi adanya praktek jual-beli gelar.

Sangat disayangkan jika ada seseorang yang telah banyak berkontribusi di masyarakat, memiliki jiwa sosial dan leadership skill yang tinggi serta berpengaruh dan dikenal di masyarakat, dibatasi hak berpolitiknya dengan adanya persyaratan pendidikan formal minimum. Biarlah masyarakat yang menyeleksi dan memilih siapa yang akan menjadi pemimpin negara/ daerah-nya. Mana yang (dianggapnya) berkualitas, apakah yang mempunyai gelar atau yang tidak bergelar.

Kedewasaan pemilih, pendidikan memilih dan pendidikan politik
Hal lain yang mencerminkan Indonesian Idol sebagai sebuah pemilihan yang demokratis adalah, para kontestan dipilih secara bebas (tidak diskriminatif) oleh para pemirsa (di studio dan di rumah) dengan cara yang jujur dan terbuka. Proses pemilihan dalam Indonesian Idol menggunakan asumsi bahwa pilihan pemirsa dengan suara terbanyak merupakan pilihan yang terbaik. Artinya, panitia Indonesian Idol percaya bahwa pemirsa bisa bersikap "cerdas" dalam memilih. Panitia percaya pemirsa adalah pemilih yang dewasa yang bisa menilai mana kontestan dengan kualitas suara serta penampilan yang baik dan mana yang buruk.

Tidak hanya itu saja, demokratisasi Indonesian Idol disertai dengan pendidikan memilih (vote education) bagi pemirsa, semacam panduan langsung dalam memilih. Ini diwujudkan dengan adanya juri yang kompeten di bidang tarik suara serta penampilan dan aksi panggung.

Kedua hal tersebut (beserta seleksi ketat yang dilakukan juri sebelum acara pemilihan) menjadikan kontestan yang terpilih sebagai pemenang dalam Indonesian Idol adalah pemenang yang memang memiliki kualitas suara dan penampilan yang luar biasa. Pemenang yang tidak hanya memiliki kemampuan bernyanyi tapi juga memiliki kemampuan menghibur. Itulah mengapa tidak ada yang meragukan/ memprotes kemenangan dan kemampuan dari seorang Joy/ Delon, Mike dan Ihsan atau (nanti) yang lainnya.

Keadaan itu belum tercipta dalam demokratisasi kita. Karena itu, sudah saatnya politik dijadikan sebagai diskursus publik. Salah satunya dengan menjadikan pendidikan politik yang berwawasan nasional dan lokal sebagai mata pelajaran di tingkat SLTA. Karena selain sudah merupakan usia memilih, siswa pada tingkat SLTA sudah bisa ditekankan pada pembelajaran yang sifatnya analisa. Siswa bisa aktif berdiskusi, berpendapat dan berwacana. Jika tiba waktunya siswa memperoleh hak memilih, siswa bisa tahu dan menentukan mana calon pemimpin negara/ daerah yang baik dan yang layak dipilih.

Ini sama halnya dengan pendidikan seni yang menjadi mata pelajaran kesenian di sekolah. Kita yang telah melewati pendidikan seni di sekolah, tentu setidaknya tahu mana (jenis) suara serta penampilan panggung yang bagus dan menarik. Menurut saya ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan cerdasnya pemirsa dalam memilih kontestan (penyanyi) terbaik di acara Indonesian Idol.

Politik belum menjadi diskursus publik yang baik. Masyarakat pada umumnya adalah pemilih yang belum "cerdas" dalam menentukan pilihannya. Keadaan seperti ini yang kemudian berpotensi menimbulkan money politic. Para (tim sukses) kandidat memanfaatkan kebingungan pemilih dengan penawaran imbalan jika memilih mereka.

Dalam konteks multi partai, pendidikan politik yang dilakukan oleh partai pun belum berjalan baik. Bagi saya partai-partai yang ada seperti sekte-sekte agama yang lebih mengedepankan simbol-simbol dan ajakan untuk masuk dan beramal kepada sektenya dibandingkan menawarkan dan memberikan nilai-nilai kehidupan. Partai-partai yang ada lebih sering menonjolkan atribut partainya serta mengajak untuk masuk dan berkontribusi untuk partainya (setidaknya memilih atau meyakini bahwa partai saya paling sempurna dan yang lainnya penuh kekurangan) dibandingkan memberikan pendidikan (pengetahuan dan pemahaman) (ber)politik.

Itulah mengapa, tidak salah jika ada (atau banyak) masyarakat yang apatis terhadap PEMILU/ PILKADAL. Partai sebagai elemen penting dalam demokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya -Bab IV Fungsi, Hak dan Kewajiban Partai Politik Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Masyarakat menjadi "muak" dengan kata politik. Politik diartikan sebagai sesuatu yang buruk dan kotor, janji-janji "surga" yang tidak tahu realisasi dan bentuknya seperti apa.

Dari hal tersebut kita dalam PEMILU/ PILKADAL membutuhkan lebih banyak yang berperan sebagaimana juri dalam pihak Indonesian Idol. Pihak yang bisa menilai secara objektif serta mengkritisi para calon pemimpin negara/ daerah. Pihak yang ahli dan kompeten di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum dan tata negara, atau bidang-bidang lainnya seperti bidang eksakta dan lingkungan hidup. Penilaian dan kritik mereka bisa dijadikan sebagai referensi dan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Di sinilah kemudian peran pers dan media yang bebas sebagai salah satu elemen penting dalam demokrasi berperan.

Untuk pemerintahan serta kondisi masyarakat yang lebih baik
PEMILU/ PILKADAL memang berbeda dengan Indonesian Idol. Proses menjadi pemimpin (negara/ daerah) tidak sama dan tidak semudah menjadi penyanyi idola. Menjadi pemimpin tidak hanya sebatas bagaimana memberikan kepercayaan terhadap masyarakat untuk memilih tetapi juga bagaimana kemudian membuktikan kepercayaan tersebut dengan rasa dan sikap yang bertanggung jawab. Jumlah suara pemilih dalam PEMILU/ PILKADAL tidak hanya sebagai legitimasi yang kuat dari terpilihnya seorang pemimpin tetapi juga merupakan kumpulan harapan-harapan menuju arah perbaikan dari masyarakat yang ditujukan kepada pemimpin yang mesti direalisasikan.

Semoga semangat dan nilai demokrasi dalam Indonesian Idol tersebut bisa menjadi pelajaran, inspirasi atau pun sesuatu yang bisa diadopsi dalam (proses) demokrasi kita. Semoga PEMILU/ PILKADAL saat ini merupakan sebuah bentuk pemilihan pemimpin yang belum "final", yang terus-menerus mengalami perubahan ke arah yang lebih baik untuk terciptanya pemerintahan serta kondisi masyarakat yang lebih baik. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas
penggemar musik yang belajar berdemokrasi

Jilbab dalam Aturan Publik

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Pelarangan jilbab terhadap perawat yang terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, Jawa Barat (Rakyat Merdeka, Selasa, 13 Februari 2007), menambah sejarah panjang permasalahan tindakan diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia, khususnya bagi muslimah yang berjilbab. Buku Revolusi Jilbab yang ditulis oleh Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti mencatat dengan baik banyaknya kasus pelarangan jilbab di SMA Negeri di Indonesia pada tahun 1982-1991.

Di sisi lain, jilbab tidak hanya menjadi permasalahan dalam pelarangan pemakaiannya. Pada kurun waktu belakangan ini, kewajiban pemakaian jilbab yang diterapkan di ruang publik melalui aturan legal formal, juga menjadi permasalahan yang menarik perhatian banyak pihak. Perda-Perda (yang mengatur perempuan dalam berpakaian) yang diberlakukan di daerah Padang, Cianjur, Bulukumba, Pamekasan atau yang lainnya, adalah contoh pengaturannya.

Saya akan sedikit membahas letak kedua permasalahan pengaturan jilbab tersebut. Dan saya pun akan memberikan pendapat, bagaimana sebaiknya kita memandang jilbab dalam (aturan) ruang publik.

Aturan publik yang melarang perempuan berjilbab
Dahulu Pemerintahan Orde Baru (Rezim ORBA) yang seringkali mencurigai Islam, menganggap kemunculan jilbab ini sebagai wujud gerakan (ideologi) politik yang oposan/ berseberangan terhadap pemerintah. Islam sebagai potensi disintegerasi bangsa dan ancaman stabilitas negara. Oleh sebab itu tidak heran bila kemudian terjadi konflik antara pelajar berjilbab dan pemerintah. Pemerintah di sini memainkan peran sebagai pihak yang kontra perubahan, sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk terus menghalang-halangi siswi-siswi di sekolah negeri yang memakai jilbab -Revolusi Jilbab; Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti.

Yang ditentang pada saat itu lebih tepatnya bukan sekedar jilbab, melainkan keseluruhan nilai-nilai "Islam politik" yang diyakini ada dibalik jilbab itu. Jilbab ditentang karena jilbab merupakan wujud fisik yang bisa dihalangi oleh sebuah peraturan. Mengingat membuat peraturan untuk membatasi nilai-nilai yang bersifat abstrak adalah sesuatu yang sulit.

Jelas ini merupakan politik kepentingan Rezim ORBA yang nyaman dan senang dengan kekuasaan, dan juga disertai kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga kebijakan dalam bentuk aturannya kerap kali menutup hal-hal yang memungkinkan akan menumbangkan (kekuasaan) Rezim ORBA.

Hal ini mendapat pembenaran dari sejarah kasus-kasus "pemberontakan" yang terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam yang ingin mendirikan Negara Islam, dengan syariat islam yang akan menggantikan Pancasila. Dengan hal ini jilbab dikaitkan sebagai wujud (fisik) nyata embrio pemberontakan, sehingga jilbab dilarang. Mereka yang berjilbab dipaksa melepaskan jilbabnya dengan ancaman sanksi.

Tumbangnya Rezim ORBA, meletusnya reformasi, dan diusungnya demokrasi menjadikan pelarangan jilbab di dalam ruang publik bisa dikikis. Perempuan bisa bebas mengenakan jilbab. Dan jilbab pun semakin banyak kita temukan dalam keseharian kehidupan kita.

Namun adanya pelarangan berjilbab terhadap perawat yang terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, yang disebutkan di awal tulisan ini, menandakan masih mengakarnya budaya pemaksaan kehendak. Selain atas dasar (politik) kepentingan kelompok, hal-hal lain pun dijadikan dasar pemaksaan kehendak dalam melarang berjilbab. Masih ditemukan lembaga/ perusahaan swasta yang melarang jilbab atas dasar penyeragaman dan estetika.

Kita memang masih belajar berdemokrasi. Sehingga pengakuan dan penghormatan atas hak-hak individu masih belum (sepenuhnya) terlaksana. Jelas, pelarangan berjilbab dalam sebuah lembaga sebagai bagian dari ruang publik merupakan intervensi terhadap hak individu dalam berkeyakinan. Bentuk pelanggaran HAM. Bentuk kezaliman.

Aturan publik yang mewajibkan perempuan berjilbab
Tumbangnya Rezim ORBA, meletusnya reformasi, dan diusungnya demokrasi melahirkan iklim kebebasan dalam berbicara, berpendapat, berserikat dan berkumpul beserta bentuk kebebasan lainnya. Bahkan kita sulit, membedakan mana yang bebas dan mana yang liar.

Salah satu buah kebebasan tersebut adalah lahirnya tuntutan otonomi daerah. Masing-masing pemerintahan daerah diberikan (lebih dari sebelumnya) kebebasan membangun dan mengembangkan daerahnya. Lahirlah kebijakan-kebijakan baru di masing-masing daerah. Salah satunya dalam bentuk Peraturan Derah (Perda).

Di antara Perda-Perda tersebut, ada Perda di beberapa daerah yang mengatur pakaian perempuan. Dalam beberapa Perda itu dikatakan bahwa perempuan harus menggunakan busana muslimah, yang dimaksud adalah jilbab. Padang, Cianjur, Bulukumba, Pamekasan adalah contoh daerah yang menerapkan aturan berjilbab.

Pertanyaannya, apakah aturan berjilbab tersebut merupakan aspirasi dari mayoritas masyarakat khususnya perempuan di daerahnya? Jika iya, apakah masyarakat yang tidak menginkan diberlakukan aturan berjilbab bisa menerima dan mau menjadi bagian dari masyarakat yang melaksanakan/ mematuhi aturan berjilbab? Apakah dalam pengajuan dan perumusan aturan berjilbab tersebut melibatkan pihak perempuan dari berbagai macam kalangan atau pihak?

Saya tidak mengetahui keadaan pasti di masing-masing daerah, yang dalam tulisan ini bisa dijadikan acuan untuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi coba bayangkan dengan pikiran dan perasaan kita, jika kita menjadi (perempuan) yang tidak setuju dengan aturan itu, atau jika memiliki pandangan bahwa jilbab bukan merupakan pakaian yang harus dikenakan, lalu kita terpaksa atau dipaksa untuk memakai jilbab. Bagaimana pikiran dan perasaan kita?

Bagi saya itu merupakan bentuk intervensi sewenang-wenang terhadap diri individu. Pemaksaan penggunaan jilbab bagi saya sama zalimnya dengan pelarangan penggunaan jilbab. Ini pun merupakan pelanggaran terhadap hak individu. Bentuk pelanggaran HAM. Sekali lagi, bentuk kezaliman.

Pemaksaan penggunaan jilbab di ruang publik tampaknya merupakan sikap yang lahir dari pandangan dengan logika yang berasumsi bahwa, semua orang meyakini bahwa jilbab adalah satu-satunya pakaian wajib untuk perempuan. Dan permasalahan tidak berjilbab adalah permasalahan ketidaksiapan untuk berjilbab. Karena tidak siap (tapi meyakini wajib), ya harus dipaksa atau perlu adanya paksaan berupa aturan publik.

Jelas itu tidak bijak. Saya rasa kita semua setuju jika kesopanan dalam berpakaian adalah hal yang penting. Tetapi kalau itu direpresentasikan kepada suatu bentuk pakaian tertentu yang kemudian menolak bentuk-bentuk pakaian lain disertai pemaksaan dalam penerapannya, saya kira itu tidak benar. Karena menurut saya semua hal yang dipaksakan adalah bertentangan dengan ajaran kemanusiaan, esensi dari ajaran Islam itu sendiri. Ajaran agama itu harus dijalankan dengan suka rela, jangan dipaksakan. Kalau sudah dibikin peraturan, berarti di sana ada pemaksaan. Tidak bijak jika berjilbab dipaksakan kepada semua perempuan.

Dalam konteks pemberlakuan aturan pada otonomi daerah, bukankah Perda yang akan dikembangkan di setiap wilayah, seharusnya juga menyertakan perempuan untuk berbicara? Bukankah Perda seharusnya lahir dari aspirasi dan partisipasi mereka? Karena menurut saya esensi dari otonomi daerah adalah bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat sebanyak mungkin. Dan ketika kita berbicara masyarakat, jangan lupa bahwa separuh di antaranya adalah perempuan.

Penutup
Dari kedua permasalahan aturan jilbab ini, tampaknya kita harus berpikir "jernih". Tepatkah jika berjilbab/ tidaknya perempuan harus diatur dalam aturan legal formal? Tepatkah aturan publik harus mengatur pemakaian dan pelarangan jilbab, yang mana jika melanggar akan dikenakan sanksi skorsing, denda atau penjara?

Bagi saya tidak tepat. Sebaiknya jilbab kita letakan pada konteks hak asasi individu. Biarkan jilbab menjadi "aturan" yang ada di ruang privat masing-masing individu yang referensinya dia dapat dari ajaran dan nilai-nilai yang ada di ruang publik. Biarkan masing-masing individu mempunyai pandangannya sendiri mengenai jilbab. Yang kemudian pandangan ini menjadi ekspresi (nyata) dalam pengenaan pakaian jilbab. Entah itu berjilbab sebagai kewajiban dalam menjalankan agama, atau berjilbab sebagai salah satu pilihan berpakaian yang terkait dengan kondisi, tempat dan waktu.

Janganlah hak asasi individu (yang bersifat privat) ini dinafikan dan dikorbankan atas nama kepentingan kelompok/ kepentingan ideologi politik yang dikemas dengan sebuah (jargon) cita-cita bersama. Berjilbab atau tidak berjilbab adalah hal yang sebaiknya terlepas dari tekanan, intervensi dan ancaman dari luar, apalagi berupa aturan publik. Karena berjilbab atau tidak, yang mengatur adalah individu atas dasar keyakinannya, bukan aturan publik. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

“TTM” yang Bernama Rokok

“TAAT CUMA KALO ADA YANG LIAT, TANYA KENAPA?”

Sering kali kita menemukan dan melihat pesan tersebut (atau yang sejenis), baik di rumah dengan melalui media elektronik berupa televisi, ataupun di jalan-jalan yang biasa kita lewati melalui media reklame. Pesan tersebut mudah kita temukan dan terlihat di mana-mana. Ya, sebagaimana yang kita ketahui pesan tersebut merupakan bentuk pemasaran (iklan) yang dibuat oleh salah satu merek dari produk rokok terkenal, A MILD. Redaksi pesan tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak pesan yang disampaikan oleh A MILD. Sebut saja yang lainnya, “Jalan Pintas Dianggap Pantas”, “Gali Lubang Tutup Lupa”, “Kalo Masih Banyak Celah Kenapa Harus Nyerah”, “Terus Terang, Terang Ga Bisa Terus-terusan”, “Mau Pintar Ko’ Mahal?”, “Susah Ngeliat Orang Seneng, Seneng Ngeliat Orang Susah” atau pesan berbau religius ketika di bulan Ramadhan, seperti “Ngobrol Jangan Cuma Setahun Sekali!” atau “Malu Sama Yang di Atas!” yang semua itu diakhiri dengan kalimat, “Tanya Kenapa?”
Jika kita baca, resapi dan pahami, pesan-pesan tersebut merupakan bentuk kritik moral terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah atau pun kepada sikap kita sehari-hari. Pesan-pesan yang ringan, santai dan tidak menggurui tetapi memiliki makna yang tajam dan mendalam. Tajam karena bersifat menggugat sesuatu yang umumnya biasa terjadi atau sering dilakukan tetapi justru merupakan sikap yang harus dirubah. Mendalam karena sangat menyadarkan kita, dan dengan perkataan akhir “Tanya Kenapa(?)”, menjadikan diri kita berintropeksi dan tergerak.

Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa, kini perusahaan rokok semakin dibatasi kesempatannya dalam memasarkan/ mengiklankan produknya, baik itu dalam hal ruang pemasaran maupun dalam hal waktu pemasaran. Perusahaan rokok dilarang memasarkan produknya serta tidak boleh menjadi sponsor kegiatan pada (umumnya) institusi pendidikan. Dalam memasarkan/ mengiklankan pun perusahaan rokok tidak boleh menampilkan wujud rokok serta aktivitas merokok baik itu dalam visualisasi berupa gambar atau film pada media televisi, internet dan reklame ataupun suara pada media radio. Waktu pemasaran pun dibatasi, yaitu di atas jam setengah sepuluh malam sampai jam lima pagi, dengan asumsi anak-anak pada waktu tersebut tidak menggunakan media elektronik yang informatif (Peraturan Pemerintah No.38 Th.2000). Dan rokok pun dalam pemasarannya “wajib” menyertakan peringatan pemerintah bahwa merokok dapat merusak kesehatan.

Kebijakan tersebut (termasuk kebijakan pengontrolan perokok dan asap rokok dengan menyediakan smoking room khususnya di kota Jakarta) ada karena secara mendasar orang tahu bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Bahan yang ada pada rokok (banyak) merupakan racun yang tentu saja tidak baik dikonsumsi/ dihisap, dalam hal ini rokok merusak kesehatan dan berbahaya bagi keselamatan jiwa si penghisap. Saat merokok, orang menghisap kurang lebih 4000 bahan kimia dengan tiga komponen utama, yaitu: nikotin yang menyebabkan ketergantungan/ adiksi, tar (benzo-a-piren, piren) yang bersifat karsinogenik dan karbon monoksida yang afinitasnya sangat kuat terhadap hemoglobin sehingga kadar oksigen dalam darah (terutama bagi perokok pasif) berkurang -sumber: Health Departement of Western Australia dari Lembaga M3 (Menanggulangi Masalah Merokok). Jika hal tersebut terakumulasi akan menimbulkan penyakit kanker, impotent, atau merusak jantung, paru-paru, janin, kandungan dan lainnya –Peringatan Pemerintah, tertera pada kemasan dan penyampaian iklan rokok. Dari hal-hal tersebut kita (termasuk perokok aktif) sepakat bahwa rokok merupakan produk yang merusak kesehatan. Produk yang membahayakan keselamatan jiwa. Rokok bersifat mematikan.

Dengan ter(dan di)sosialisasikannya pengetahuan atau informasi itu oleh para pakar, praktisi, dan aktivis kesehatan (atau yang lainnya) pada khalayak umum baik itu melalui media elektronik dan cetak maupun melalui kegiatan seminar, diskusi dan kampanye, serta dengan adanya kebijakan pemerintah yang membatasi pemasaran/ iklan rokok, tidak membuat perusahaan rokok dengan tim kreatif dan marketingnya “kehilangan akal”. Di saat perusahaan lain (selain perusahaan rokok) memasarkan produknya dengan cara mengatakan dan menampilkan keunggulan-keunggulan produknya ditambah dengan slogan-slogan seperti “propaganda konsumtif”, rokok yang sebelumnya juga dianggap sebagai “teman” kesendirian, kecemasan, kepusingan dan stress (candu), kini hadir sebagai “teman” yang senantiasa menyapa kita dengan pesan-pesan yang mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.
Selain pesan-pesan moral berupa kritik yang disampaikan oleh produk rokok merek A MILD dari SAMPOERNA GROUP, merek-merek lain pun tidak mau kalah friendly-nya. Sebut saja pesan, “Apa Obsesimu?” disertai dengan slogan “Bikin Hidup Lebih Hidup” dari merek STAR MILD, “U are U !” (baca: kamu adalah kamu) dari merek U MILD, “X-presikan Aksimu!” dari merek X MILD, dan yang lainnya, merupakan pesan-pesan hidup yang juga mencerahkan, bermakna, berguna dan bermanfaat.

Rokok dengan image sebagai “teman” pun hadir di saat teman-teman kita (yang memang kita anggap sebagai teman sepermainan) lengkap dengan pergaulannya, lebih banyak membicarakan dan melakukan kegiatan yang tidak bermakna, tidak berguna dan tidak bermanfaat serta jauh dari mencerahkan. Kegiatan-kegiatan yang konsumtif, tidak produktif dan bersifat hura-hura (hedonis). Rokok hadir sebagai “teman” dengan pesan dan nasehat di saat kebanyakan dari teman-teman kita tidak melakukannya. Rokok juga hadir sebagai “teman” di saat peran dan fungsi orangtua sebagai “teman” terdekat semakin berkurang karena berbagai macam kesibukannya.

Ya, rokok tampil sebagai “teman” dengan begitu percaya diri di saat banyak dari kita sulit atau tidak bisa melakukannya. Padahal, pesan-pesan dari masing-masing merek rokok tersebut disampaikan atas dasar agar rokok tetap bisa diterima oleh khalayak umum (begitu juga dengan banyaknya beasiswa yang tersedia di institusi pendidikan dari perusahaan-perusahaan rokok). Agar kita permisif/ mentolerir rokok yang bersifat merusak kesehatan dan mematikan. Agar kita bimbang terhadap mana nilai yang baik dan mana nilai yang buruk. Agar rokok bisa dianggap oleh kita sebagai “teman”. Hal ini membuat kita “lupa”, bahwa pesan-pesan tersebut tidak lebih dari strategi dalam memasarkan produk yang dibuat dan disebarkan oleh perusahaan rokok agar produknya tetap dan lebih laku dijual serta diterima di pasar dan dikonsumsi.

Jadi benar jika ada yang mengatakan, “marketing adalah bagaimana cara kita menjual sate babi di kampung Arab (dan laku)!”. Babi mungkin bisa enak, mengenyangkan dan laku dijual, tetapi tetap saja babi haram dikonsumsi (salah satunya karena merusak kesehatan) bagi orang Arab (baca: Islam). Begitu juga dengan rokok yang mungkin bisa menjadi “teman”, sebagai TTM. Tetapi bukan “teman tapi mesra” sebagaimana lagu yang dinyanyikan grup musik Ratu. Rokok adalah “teman” yang membahayakan kesehatan dan jiwa kita. Rokok, “teman” tapi mematikan. []

USEP HASAN SADIKIN
Lelaki anti Rokok

Tulisan ini merupakan pemenang ke-2 dalam Lomba Menulis Sehat 2006 (Dies Natalis FKM UI) yang diadakan Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;
Bisa juga dilihat di:
http://rokok.komunikasi.org/2007/05/30/blog-tamu-usep-hasan-sadikin/