Thursday, November 11, 2010

Otonomi Tubuh Perempuan

Oleh USEP HASAN S.

Akhir Agustus 2010, di pantai Venice, California, puluhan perempuan melakukan aksi telanjang dada. Menamakan diri “GoTopless” para perempuan ini menuntut persamaan hak dalam konstitusi Amerika Serikat (Amrik). Perempuan pun harus bisa bertelanjang dada di tempat umum, layaknya laki-laki. Inti perjuangan GoTopless adalah menolak kendali negara (melalui undang-undang) terhadap tubuh perempuan, termasuk dada. Selain itu, GoTopless pun ingin menciptakan kesadaran kepada masyarakat bahwa setiap inci tubuh perempuan―sekali lagi, termasuk dada―dimiliki oleh dirinya; masing-masing perempuan.

Tentu saja, aksi GoTopless membuat sebagian masyarakat Amrik kaget. Mereka terjebak pada bentuk ekspresi aspirasi. Bila reaksi penolakan bisa muncul di Amrik, lalu bagaimana reaksi masyarakat di negara lain? Kita yang saling terhubung di iklim globalisasi, memerlukan penjelasan yang lebih mumpuni.

Sejarah Perjuangan “Tubuh”
Yang dilakukan GoTopless termasuk kategori demonstrasi radikal. Wajar jika menghentak nalar umum. Bentuk unjuk rasa seperti itu disertai pemikiran yang mengakar (radic). Pemikiran tak biasa ini, biasanya, sulit dipahami masyarakat biasa. Sehingga seringkali, agenda demonstrasi terdistorsi oleh proses penafsiran massa dari wujud unjuk rasa yang tak biasa.

Unjuk rasa tak biasa yang serupa, pernah juga dilakukan oleh gerakan feminis di masa lalu. Meski pembahasan tubuh sudah dimulai sejak Plato menyatakan “cogito” (pemikiran) sebagai hal yang penting dibanding tubuh, namun perjuangan perempuan untuk menempatkan tubuhnya sebagai subjek di ruang publik, baru dilakukan di pertengahan abad dua puluh. Adalah feminis(me) radikal yang merintis perjuangan ini.

Seksualitas sebagai tubuh yang berdasar pengalaman dari setiap manusia yang menyertakan perbedaan jenis kelaminnya, bagi feminisme radikal merupakan hal yang sangat penting. Dalam “Filsafat Berperspektif Feminis” (Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), Gadis Arivia menuliskan kembali sejarah perjuangan feminis radikal bagi tubuh perempuan yang ditulis oleh Angela Y. Davis dalam “Women Race & Class” (1983). Dipelopori dengan argumentasi aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi di tahun 1960-an, “hak untuk memilih” dijadikan slogan perjuangan. Bukan negara yang menentukan apakah perempuan hamil dan punya anak. Adalah hak bagi setiap perempuan untuk menentukan dirinya hamil dan mempunyai anak atau tidak. Perempuanlah yang mempunyai tubuhnya, sehingga perempuan yang berhak menentukan apa yang terbaik untuk diri perempuan atas tubuhnya.

Saat itu, kontrasepsi merupakan keharusan bagi perempuan. Jenis kontrasepsi yang digunakan pun bukan pilihan perempuan. Bahkan perempuan tak mempunyai kebebasan mengakses alat kontrasepsi beserta informasi kesehatan. Padahal hal ini berdampak langsung pada tubuh, kesehatan bahkan nyawa perempuan.

Demonstrasi terkait tubuh perempuan selanjutnya pernah dilakukan gerakan feminis di tahun 1968, tepatnya saat pemilihan Miss America. Di kontes pemilihan ratu kecantikan se-Amerika itu, berlangsung juga unjuk rasa. Menamakan diri sebagai kelompok feminis radikal, aspirasi yang diusung adalah penolakan terhadap acara pemilihan Miss America. Mereka menilai kontes yang diadakan di Atlantic City itu, sebagai eksploitasi dan perendahan terhadap perempuan.

Seorang jurnalis berkewarganegaraan Australia, Germaine Greer, melakukan aksi teatrikal. Ia membakar segala aksesoris pada tubuh perempuan. Wig, kosmetika, korset, sepatu hak tinggi, hingga bra, dibuang ke sebuah wadah yang dinamai “The Freedom Trash Can”, lalu dibakarnya. Aksi ini kemudian dikenal bernama “The Bra Burning”.

Aksi “The Bra Burning” dinilai radikal, karena menohok pemahaman umum masyarakat. Perempuan saat itu direpresentasikan secara tunggal oleh nalar konsumtif yang dikendalikan kepentingan bisnis. Tubuh perempuan dinilai sebagai “perempuan” bila menggunakan bra, kosmetika, sepatu hak, atau yang modis lainnya. Perempuan dieksploitasi tubuhnya oleh kalangan pemodal. Akibatnya otonomi tubuh perempuan hilang, dikendalikan trend fashion.

Fenomena “Queen of Pop” Madonna di fase 1990-an, pun disikapi sebagian feminis dengan isu kepemilikan tubuh perempuan. Buku Madonna berjudul “Sex” yang berisi gambar seksual provokatif dan eksplisit, menimbulkan reaksi negatif dari media dan masyarakat. Reaksi tersebut berlanjut saat Madonna melahirkan album berjudul “Erotica”. Bagi mereka yang sepakat dengan sikap Madonna, berargumen bahwa eksistensi tubuh perempuan merupakan pilihan mutlak si perempuan, sebagai pemilik tubuh. Mereka memposisikan Madonna sebagai wujud kritik radikal terhadap masyarakat dan negara yang memaksa individu perempuan dalam menentukan eksistensi tubuhnya.

Buka-Tutup Tubuh Perempuan
Kebijakan publik di Perancis bisa menjadi kasus menarik untuk membahas kendali negara terhadap tubuh perempuan. Di tahun 1989, berjilbab dilarang oleh sebagian sekolah negeri di Perancis. Sebagian masyarakat Perancis lalu memportes larangan jilbab tersebut. Kasus ini mengundang perdebatan publik. Pemerintah Perancis lalu mengeluarkan aturan yang memperbolehkan perempuan mengekspresikan keyakinan dan agama yang dianut di ruang publik. Tapi di tahun 1994, lahir kebijakan pelarangan semua simbol agama, termasuk jilbab.

Hingga kini, menggunakan jilbab di Perancis masih dilarang di lembaga-lembaga pemerintah, termasuk di sekolah negeri. Dan hingga kini pula, pro-kontra terhadap kebijakan tersebut masih berlangsung.

Sejarahwan agama dan peneliti gender asal Swedia, Anne Sofie Roald, dalam "Notions of 'Male' and 'Female' Among Contemporary Muslims: With Special Reference to Islamists" (1999) menyatakan bahwa dalam perspektif feminis, jilbab hampir tak pernah diperlakukan sebagai pertanyaan agama. Jilbab oleh para feminis ditempatkan dalam pembahasan hak kebebasan memilih untuk individu perempuan. Dan oleh feminis muslim, hak kebebasan mimilih bagi individu perempuan dalam berjilbab dikaitkan dengan hak kebebasan berkeyakinan. Penekanan ini yang membuat feminis muslim Mesir, Mai Yamani, menulis “Feminism and Islam”. Ia menyimpulkan, pertanyaan yang relevan untuk hal ini bagi feminis Muslim dalam perjuangannya, apakah hak perempuan untuk memilih berjilbab atau tak berjilbab sudah terpenuhi di ruang publik?

Kesimpulan para feminis tersebut bisa menjadi dasar penilaian bahwa pemerintah tak boleh menerapkan hukum publik yang mengatur individu dalam berpakaian. Negara tak bisa memaksa warganya untuk menutup atau membuka pakaian, termasuk melarang atau mengharuskan suatu bentuk pakaian.

Demikian pula dengan peraturan daerah “bernuansa syariat” yang diberlakukan di sejumlah daerah di Indonesia kontraproduktif terhadap semangat feminisme yang memperjuangankan otonomi tubuh perempuan. Mengatur perempuan untuk berjilbab melalui undang-undang merupakan kebijakan yang tak sesuai dengan hak kebebasan memilih dan berkeyakinan.

Negara dan masyarakat tak bisa memaksakan setiap individu untuk menutup atau membuka tubuhnya. Salah satu yang ingin disuarakan feminis adalah tubuh perempuan sepenuhnya dimiliki perempuan. Banyak perempuan tak menyadari hal ini, dan menganggap tubuhnya sebagai sesuatu yang asing. Bahkan sebagian perempuan malah meyakini tubuhnya harus diatur oleh sesuatu di luar dirinya, termasuk oleh laki-laki.

Para feminis, khususnya yang radikal, meyakini bahwa sosial budaya ruang publik saat ini dinilai ajeg dari konstruksi sudut pandang laki-laki. Sehingga, cara berpakaian perempuan dinilai layak atau tidak berdasar pada perspektif patriarkal. Lebih jauh lagi, patriarkal menyimpulkan bahwa moralitas perempuan ditentukan oleh cara perempuan berpakaian.

Demonstrasi GoTopless dan aksi protes menentang pelarangan jilbab, secara substansi merupakan perjuangan yang sama. Tak ada yang bisa memaksa setiap individu untuk memilih, mau menutup atau membuka tubuhnya. Maka, pertanyaan tentang otonomi tubuh, apakah pakaian yang anda kenakan di tubuh anda saat ini, didasari oleh perintah dari pihak di luar anda? Jika ya, perjuangkan hak kebebasan memilih berpakaian bagi tubuh anda; dengan cara radikal jika perlu.

USEP HASAN S.
jurnalis di Jurnal Perempuan
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/otonomi_tubuh_perempuan/

0 Comments:

Post a Comment

<< Home