Thursday, April 05, 2007

"Jilbab di Ruang Publik" (Diskusi)

Senin, 12 Maret 2006 (jam 16.00-18.30) di Kantin Dallas FMIPA, Forum Lintas Batas (FLB) mengadakan diskusi yang berjudul Eksistensi Jilbab di Ruang Publik. Pembicara yang hadir adalah Widyastuti (Mbak Wiwid), yang sedang kuliah S3 Teknik Metalurgi dan Material FT-UI. Meskipun latar belakangnya Eksakta, Mbak Wiwid cukup memberikan perhatian terhadap permasalahan sosial, khususnya mengenai kebijakan aturan berjilbab. Yang unik, Mbak Wiwid sering menggunakan analogi saintifik dalam menjelaskan nilai dasar (ideologi) dan tata cara berpakaian perempuan. Baginya jilbab merupakan permasalahan sosial dari kita yang berbeda dan beragam. Ciri dari kajian sosial bagi Mbak Wiwid adalah sulit menentukan standar ukuran dan titik acuannya, tidak seperti kajian eksakta.
Pembicara kedua yang hadir adalah Bidari Setiarumsari (Bidari), yang sedang kuliah S1 Filsafat FIB-UI. Bidari yang sedang dalam proses penyelesaian skripsi dengan tema logika, banyak menekankan bahwa, jilbab yang terkait dengan ajaran agama si pemakainya tidak boleh dipaksakan. Karena kembali pada agama yang bermakna nasehat. Sifat nasehat adalah himbauan, bukan paksaan. Tinggal rasio dari masing-masing individu yang menentukan mana yang (memang) baik/ buruk. Ketika pihak satu memaksakan ajaran agama kepada pihak yang lain, maka sesungguhnya itu telah menyimpang dari ajaran agama.
Dalam aktivitas kesehariannya di ruang publik kedua pembicara ini menggunakan jilbab. FLB sengaja mengundang pembicara yang seperti itu, agar pembahasan nanti bisa bersifat otokritik. Orang yang membahas jilbab adalah orang yang merasakan jilbab, dan ketika ada permasalahan seputar jilbab mereka adalah orang yang bisa merasakan permasalahan itu.
Berikut rangkuman diskusi yang dimoderatori oleh Usep Hasan Sadikin selaku Koordinator FLB.

Dari kedua pembicara, ada satu persamaan pandangan bahwa penerapan jilbab di ruang publik dalam bentuk aturan legal formal harus melibatkan semua pihak yang terkait dalam pematuhan aturan tersebut. Dan, berjilbab/ tidak merupakan bentuk kesadaran diri bukan merupakan paksaan.
Tetapi masing-masing pembicara memberi “catatan” yang berbeda. Bagi Mbak Wiwid, ketika adanya pihak yang pro dan kontra terhadap kewajiban pemakaian jilbab atau pelarangan pemakaian jilbab dalam penerapan aturan legal-formal, lebih dikarenakan adanya perbedaan nilai dasar (ideologi) dari masing-masing pihak.
Baginya, kita sebagai bangsa Indonesia tidak memiliki persamaan nilai dasar untuk menentukan arah dan kelanjutan pembangunan kita. Pancasila sebagai dasar negara kita merupakan hasil penggabungan tiga ideologi yaitu Sosialisme, Kapitalisme dan Islamisme. Nilai-nilai dari ketiga ideologi tersebut umumnya bertentangan satu sama lain. Kita tidak memiliki standar nilai yang dianut. Dampaknya, sekarang kita tidak jelas mau seperti apa dan menjadi apa? Ke depannya kita harus menentukan nilai dasar apa yang akan kita anut.
Berbeda dengan Mbak Wiwid, Bidari berpendapat Pancasila sebagai dasar negara kita, sangat menjunjung tinggi semangat musyawarah (gotong royong). Ini seharusnya menjadikan kita selalu mengedepankan perundingan dan kesepakatan dalam menentukan sikap bersama. Masing-masing dari kita adalah individu yang berbeda, yang memiliki keragaman dan keunikan pemikiran. Ketika itu menyangkut kepentingan bersama, harus melibatkan pihak-pihak yang berbeda untuk menentukan kesepakatan. Ketika itu menyangkut kepentingan pribadi individu saja, silahkan jalankan sendiri dengan bebas. Artinya, di sini ada pemisahan kepentingan bersama dan kepentingan pribadi. Ruang publik dan ruang privat. Dan jilbab, bagi Bidari tidak tepat diterapkan pada ruang publik. Berjilbab atau tidak berjilbab, adalah hal yang sifatnya privat bagi masing-masing individu.
Peserta diskusi bernama Djohan Rady (aktivis FLB, mahasiswa FE-UI) menanggapi bahwa demokrasi adalah sistem yang sangat memungkinkan untuk menerima kita yang berbeda dan beragam ini untuk bisa dan tetap eksis. Dan dari penerimaan eksistensi itu, kita bisa memperjuangkan cita-cita kita. Demokrasi adalah keredahan hati dari masing-masing kita yang memperjuangkan cita-cita, yang tetap menghormati perbedaan dan keragaman yang ada.
Sementara, peserta diskusi lain bernama Rimas Kautsar (aktivis FLB, mahasiswa FH-UI) menanggapi bahwa, dalam pemberlakuan hukum memang berpusat pada perhatian pemisahan ruang privat dan ruang publik. Pemilahan seputar, mana hal yang bersifat publik dan mana hal yang bersifat privat. Dalam konteks aturan pemerintah, akan semakin banyak permasalahan jika hal-hal yang bersifat privat diatur oleh pemerintah. Jilbab merupakan salah satu hal yang bersifat privat, yang sebaiknya tidak diserahkan kepada pemerintah (/ negara). Belakangan ini kita terlalu memberikan harapan besar kepada negara untuk menyelelesaikan semua permasalahan. Benarkah semua permasalahan kita harus diserahkan kepada negara dan negara akan bisa menyelesaikannya?
Di samping itu Rimas pun bertanya mengenai hukum mengenakan berjilbab dari masing-masing pembicara. Apakah jilbab dalam pandangan umat islam merupakan sesuatu yang masih diperdebatkan kewajiban pemakaianannya terhadap perempuan, atau jilbab merupakan suatu pakaian perempuan yang kewajibannya mutlak disepakati oleh seluruh umat Islam? Kemudian Rimas pun bertanya, apakah rambut perempuan adalah aurat?
Pertanyaan-pertanyaan Rimas tidak dibahas dalam diskusi ini, karena pertanyaan Rimas terkait hal teologi (keyakinan). Diskusi Lintas Batas dengan judul Eksistensi Jilbab di Ruang Publik menekankan pembahasan seputar aturan jilbab dan prilaku berjilbab di ruang publik, bukan kepada keyakinan. []