Monday, October 02, 2006

In The Name of Money : Globalisasi dan Pelanggaran HAM

Oleh YUSTISIA RAHMAN

“Jika dunia ini adalah sebuah kampung global yang terdiri dari 100 orang, 70 diantaranya buta huruf, dan hanya satu yang mengalami pendidikan tinggi. Lebih dari 50 orang kekurangan gizi, lebih dari 80 orang hidup di gubuk-gubuk reot. Jika dunia adalah sebuah kampung global berpenduduk 100 orang, 6 diantaranya adalah orang Amerika. Keenam orang ini mengambil, menguasai dan menikmati lebih dari separuh pendapatan dan kekayaan seluruh orang kampung !”
***

Globalisasi ditandai dengan di-integrasikannya perekonomian nasional ke dalam sebuah perekonomian global melalui proses liberalisasi perdagangan. Proses ini diyakini akan memberikan keuntungan bagi negara-negara yang terilibat di dalamnya.

Perekonomian negara-negara yang terlibat dalam permainan perdagangan global ini akan bertumbuh sedemikan rupa, karena mereka akan mengekspor apa yang memang mereka kuasai dan mampu sediakan. Lalu, mereka akan mengimpor hanya yang memang tidak mampu mereka adakan sendiri (teori keuntungan perbandingan). Pengajur teori ini meyakini bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan manfaat kepada semua negara, termasuk negara-negara berkembang dan termiskin sekalipun, bahkan keuntungan dari pedagangan bebas ini diyakini akan menetes (trickle down effect) ke penduduk miskin –lapisan penduduk terbawah dan terbanyak.

Pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Globalisasi justru menciptakan kondisi ketidakadilan global. Distribusi pendapatan yang tidak merata dan arus modal yang lebih banyak berputar di negara-negara maju, semakin memperlebar jurang pendapatan di beberapa negara. Di tingkat lokal, globalisasi membuat kelompok kaya (secuil pengusaha dan politisi-komprador yang diuntungkan dengan perdagangan bebas) menjadi semakin kaya, sebaliknya kelompok terbesar -kelompok miskin (buruh, kaum miskin kota, petani tradisional dan masyarakat adat) semakin terperangkap di lembah kemiskinan.

Hal ini adalah kenyataan yang wajar, sebab globalisasi yang dimaksud oleh penganjur perdagangan bebas adalah Globalisasi Perusahaan (Corporate Globalisation). Yakni sebuah upaya-upaya yang terus meningkat untuk memasukan perekonomian nasional ke dalam perekonomian global melalui pengaturan-pengaturan penanaman modal, perdagangan, dan swastanisasi (privatisasi), yang didukung oleh kemajuan teknologi mutakhir (Hines: 2004). Upaya-upaya itu berusaha mengurangi sampai sesedikit mungkin hambatan-hambatan bagi penanaman modal dan perdagangan, tetapi dalam prosesnya ternyata juga mengurangi sampai sesedikit mungkin pengendalian demokratis oleh negara dan rakyatnya atas urusan-urusan perekonomian nasional bahkan politik dalam negeri mereka. Tujuannya tidak lain adalah menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan agar Perusahaan-perusahaan Multinasional (Multinational Corporation, MNC) dan lembaga keuangan transnasional mendapatkan keuntungan maksimal.

Paradigma globalisasi seperti ini pada akhirnya hanya menguntungkan penguasa modal internasional saja (MNC dan lembaga-lembaga keuangan transnasional seperti IMF dan Bank Dunia). Mereka menggunakan teori tentang keuntungan perbandingan, persaingan dagang internasional, dan model pertumbuhan ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan mereka sendiri. Dan semua itu terjadi dengan mengorbankan kehidupan sosial, lingkungan hidup, perbaikan taraf hidup kaum buruh, dan semakin meningkatnya ketidakadilan di sebagian besar dunia (Hines : 2004).

Di Indonesia, pengaruh globalisasi dan masuknya modal asing diawali dengan lahirnya Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, tidak lama setelah keruntuhan rezim Orde Lama yang sangat kontroversial. Regulasi ini menandakan berubahnya arah kebijakan ekonomi dan politik luar negeri pemerintah Orde Baru yang “kembali ke pasar”. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang anggota tim ekonomi pemerintahan Orde Baru, M. Sadli, “Mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul barat” (Gatra :Agustus 2005).

Seolah telah direncanakan, dalam waktu singkat investor asing mulai menanamkan modalnya di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi di era-Soekarno dikembalikan lagi ke pemiliknya. Dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, sektor pertambangan menjadi komoditi yang paling menggiurkan bagi perusahan-perusahaan transnasional. Freeport-Rio Tinto diberikan konsesi pengusahaan kekayaan alam di Papua, Exxon di Aceh, Newmont di Minahasa dan sebagainya. Pemerintah ORBA juga mulai menjalin hubungan dengan IMF dan Bank Dunia untuk mendapatkan pinjaman luar negri guna menutupi defisit APBN.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Orde Baru memang menghasilkan perbaikan ekonomi di awal kekuasannya. Namun dalam waktu yang bersamaan pemerintah juga mulai menjual kedaulatan negara ke perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia, seiring dengan semakin berkurangnya peran negara dalam penguasaan ekonomi dan pengelolaan kekayaan alam.

Bagi masyarakat, kehadiran kuasa modal mendatangkan malapetaka yang mengerikan. Kehadiran perusahaan-perusahaan transnasional yang mengantongi izin untuk mengeruk kekayaan alam biasanya diiringi dengan aktivitas-aktivitas perusakan lingkungan yang juga berbanding lurus dengan pelanggaran hak asasi masyarakat setempat. Kehadiran Freeport di Papua misalnya. Sejak tahun 1967 Freeport telah melakukan aktivitas pertambangan yang diiringi dengan perusakan lingkungan dan kejahatan HAM terhadap masyarakat adat setempat.

Freeport telah membuat Gunung Yet Segel Ongop Segel (Grasberg) jadi lubang raksasa sedalam 700 m, padahal gunung ini dikiaskan sebagai kepala ibu bagi Suku Amungme- masyarakat adat setempat, yang sangat menghormati wilayah keramat itu. Danau Wanagon, sebagai danau suci orang Amungme juga hancur, karena dijadikan tumpukan batuan limbah (overburden) yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayahs Mimika, yaitu Sungai Aghawagon, Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa sebagai tempat pembuangan tailing (limbah pasir dan hasil produksi). Lebih dari 200.000 ton tailing dibuang setiap harinya ke Sungai Aghawagon, yang kemudian akan mengalir memasuki Sungai Otomona dan Sungai Ajkwa. Partikel tailing yang tidak mengendap kemudian ikut mengalir sampai ke Laut Arafura (JATAM : 2003).

Perusakan lingkungan di wilayah masyarakat adat yang dilakukan oleh Freeport telah melanggar kovenan tentang perlindungan masyarakat adat yakni Konvensi ILO 169 (Convention ILO No. 169 Concerning Indigeneous and Tribal Peoples in Independent Countries). Selain itu dalam dokumen AMDAL PT Freeport Indonesia, sebenarnya pemerintah sudah mengetahui resiko lingkungan atas aktivitas pertambangan yang dilakukannya. Namun pemerintah seolah tutup mata atas kenyataan ini.

Selain nelakukan pelanggaran terhadap hak atas identitas budaya dan hak ulayat (yang dilindungi oleh pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria), Freeport juga melakukan kejahatan HAM dengan melakukan pembunuhan pada masyarakat adat yang menolak aktivitas pertambangan yang dilakukan. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1977 adalah peristwa pertama dimana Freeport (kuasa modal) menggunakan TNI (kuasa militer) melakukan pembunuhan atas pemberontakan Suku Amungme dan enam suku lainnya di sekitar wilayah konsesi Freeport. Lebih dari 900 orang meninggal dunia dalam peristiwa ini. Keterlibatan TNI dalam pelanggaran HAM dalam kasus ini pertama kali diungkapkan oleh Uskup Muninghof tahun 1995. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) segera membentuk tim untuk meneliti kebenaran laporan itu. Tapi, negara tidak pernah menggunakan kekuasaanya untuk memberi sanksi pada pelaku pelanggaran HAM termasuk Freeport yang menyediakan sarananya.

Masuknya Freeport dan MNC lainnya ke Indonesia adalah dampak dari Globalisasi Perusahaan. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara selatan (negara berkembang dan miskin) lainnya -yang entah mengapa sebagian besar memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah untuk industri dan populasi penduduk yang besar sebagai pasar yang potensial. MNC dan lembaga keuangan transnasional membawa keuntungan dari negara-negara selatan dan meninggalkan jejak berupa kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kemerosotan nilai sosial budaya dan hiper-inflasi

Globalisasi bekerja dalam sebuah sistem perekonomian yang berpusat pada uang (capital oriented) dan bukan pada manusia (human oriented), sistem yang memfasilitasi keserakahan manusia yang tanpa batas. Gobalsasi tidak lebih dari sebuah mesin global yang memangsa darah dan memuntahkan dollar (Subcomandante Marcos : 2003). Perlawanan pada globalisasi tidak boleh berhenti pada aksi-aksi simbolik semata. Perlawanan pada globalisasi harus diiringi dengan upaya mencari alternatif sistem yang adil dan lebh baik. Sehingga gerakan anti globalisasi tidak hanya mengglobalkan perlawanan tetapi juga mengglobalkan harapan. []

YUSTISIA RAHMAN
Penggiat CONFRONT ! (Community for Freedom and Social Transformation),
Mahasiswa Fakultas Hukum UI

0 Comments:

Post a Comment

<< Home