Sunday, May 25, 2008

Quo Vadis Pendidikan Tinggi Negeri (BHMN): Tarik Menarik Kepentingan antara Pelayanan Publik & Privatisasi*)**)

Oleh RIMAS KAUTSAR

Saat ini marak sekali diberitakan mengenai mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia, beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah menyandang status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seakan-akan saling berlomba-lomba untuk menetapkan “tarif” biaya bagi calon mahasiswa baru yang berniat untuk masuk ke dalam PTN yang bersangkutan[1]. Fenomena ini membuat shock masyarakat Indonesia karena pada situasi saat ini mereka sedang dihadapkan kepada sulitnya kondisi perekonomian, dengan kata lain bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dalam hal pangan, sandang, dan papan sudah berat apalagi jika ditambah untuk memikirkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pendidikan, tentu akan semakin menambah berat beban yang diderita masyarakat.

Dalam konsepsi kenegaraan di Republik Indonesia secara yuridis pendidikan pada dasarnya adalah hak dari setiap warga negara, hal ini tercermin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen, yang berbunyi ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan tanggungjawab penyelenggaraannya ada di pundak pemerintah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Hasil Amandemen, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Demikian halnya dalam tanggung jawab pendanaan adalah juga merupakan tanggungjawab konstitusi dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai”; dan (4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Ini menunjukkan terdapat kesadaran bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas dari negara yang harus diwujudkan secara konkrit dalam bentuk pelayanan publik (public sevice) kepada rakyat untuk memenuhinya.

Secara filosofis apabila kita telaah dalam pembukaan UUD Tahun 1945 salah satu tujuan diadakannya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah salah satu domain penting negara. Sedangkan secara sosiologis saat ini dalam konteks pendidikan tinggi negeri yang berstatus BHMN seakan-akan mengarah kepada perlombaan untuk menaikkan ”tarif” biaya kuliah. Ternyata konsepsi yang ideal mengenai pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik jika dilihat dari aspek yuridis dan filosofis pada saat ini apabila dihadapkan pada aspek sosiologis ternyata jauh panggang dari api.

Di lain pihak saudara kembar BHMN, yaitu wacana mengenai Badan Hukum Pendidikan sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dipandang oleh pemerintah saat ini sebagai obat mujarab untuk mengatasi seluruh permasalahan pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan[2].

Antara status Badan Hukum Milik Negara dengan Badan Hukum Pendidikan memiliki benang merah, keduanya sama-sama mengarah kepada privatisasi. Meskipun istilah privatisasi di Indonesia masih sebatas dikenal di dalam bidang pengelolaan BUMN, namun secara esensi menurut John. D. Donahue, ia menyimpulkan bahwa privatisasi sebagai pendelegasian kewajiban publik kepada organisasi swasta[3], sedangkan di Amerika Serikat privatisasi diartikan sebagai minimalisasi peranan pemerintah dan maksimalisasi peranan sektor swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan aset-asetnya sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Safri Nugraha (Guru Besar HAN Fakultas Hukum UI) yang menyimpulkan pendapat dari E.S Savas[4]. Di Indonesia menurut Prof. Safri Nugraha menganut dua konsep privatisasi sekaligus yaitu konsep privatisasi Amerika (yang memfokuskan pada layanan publik) dan konsep privatisasi Inggris (yang memfokuskan pada penjualan BUMN)[5].

Apabila ditelaah BHMN dan BHP dapat dikategorikan sebagai “organisasi swasta” karena adanya pemisahan entitas hukum antara negara dengan PTN Badan Hukum Milik Negara, dengan statusnya sebagai badan hukum maka PTN bersifat sangat otonom karena ia memiliki manajemen dan harta kekayaan yang terpisah dari negara. Bahkan nuansa “organisasi swasta” (badan hukum perdata/privat) dapat kita lihat dalam konsiderans mengingat PP No. 152 Tahun 2000 yang memasukkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847:23) sebagai salah satu konsiderannya. Meskipun sebagai pemilik dari badan hukum tersebut peranan negara hanya sebatas diwakili oleh Menteri Pendidikan yang menjadi anggota Majelis Wali Amanat (organ tertinggi PT BHMN-Pasal 12 PP No. 152 Tahun 2000[6]) dan memberikan kontribusi pendanaan, yang menjadi salah satu sumber dari empat sumber pendanaan PT BHMN yang lainnya (Pasal 12 ayat (1) PP No. 152 Tahun 2000), selebihnya pemerintah lebih memposisikan diri sebagai regulator bukan operator. Jadi dengan adanya perubahan status hukum PTN yang tadinya merupakan bagian dari unit pemerintah menjadi entitas badan hukum tersendiri merupakan suatu bentuk privatisasi.

Di Inggris, menurut Heidi Abromeit terdapat dua motivasi adanya privatisasi, yaitu: pengurangan peranan pemerintah dan peningkatan peran pasar bebas di negara kesejahteraan (welfare state) Inggris (motif ekonomi)[7]. Sedangkan di Amerika Serikat motivasi tersebut menurut para ahli disebabkan oleh adanya sentimen “anti negara” yang dianggap gagal dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas[8]. Kemudian untuk negara-negara berkembang motivasi adanya privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha adalah karena mereka ingin mencontoh keberhasilan negara-negara Eropa Barat dalam melaksanakan privatisasi di kawasan tersebut[9]. Indonesia sendiri privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha lebih dikarenakan adanya motif ekonomi, yang ia simpulkan dari pendapat Bacelius Ruru mengenai tiga motivasi utama privatisasi di Indonesia yaitu: kondisi keuangan negara, pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas, dan peningkatan pengharapan dari masyarakat[10].

Kemudian, apakah manfaat ideal dari privatisasi? Menurut Prof. Safri Nugraha ada lima manfaat dari adanya privatisasi[11]:

1. Mengurangi beban negara, baik berupa pekerjaan, subsidi, kerugian, jaminan keuangan, dana investasi dan lain sebagainya; serta berkurangnya intervensi pemerintah dalam pengelolaan BUMN.

2. Meningkatkan pendapatan negara; dari penjualan saham BUMN, penjualan aset yang tidak produktif, perolehan pajak, dan lain sebagainya.

3. Peningkatan partisipasi swasta dalam pengelolaan public service dan BUMN.

4. Peningkatan kinerja BUMN dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat (public service), dan pada akhirnya menciptakan BUMN yang efisien, transparan dan menghasilkan laba yang signifikan.

5. Hapusnya monopoli yang dimiliki BUMN dan timbulnya kompetisi di pasar yang pada akhirnya akan menguntungkan konsumen, karena memiliki banyak pilihan dan harga yang bersaing dalam menentukan service dan product yang diinginkannya.

Jika manfaat privatisasi sedemikian baik, lalu kenapa terjadi tren mahalnya biaya kuliah di PTN yang berstatus BHMN? Untuk menjawab hal ini ada baiknya kita melihat pendapat Prof. Safri Nugraha juga menyebutkan mengenai resiko privatisasi, yaitu[12]:

1. Di berbagai negara, privatisasi justru menciptakan kenaikan harga dari public service yang disediakan kepada masyarakat.

2. Di banyak negara, privatisasi ditentang oleh serikat buruh karena sering menciptakan PHK massal di BUMN yang diprivatisasi. Hal ini disebabkan karena BUMN yang diprivatisasi harus efisien, dan ini berarti jumlah pekerja dalam BUMN tersebut harus dirasionalisasi.

3. Privatisasi sering diartikan sebagai pesan sponsor dari perusahaan-perusahaan transnasional (MNC) untuk memperluas jaringan bisnis mereka dan mengambil alih BUMN-BUMN yang ada.

4. Seringkali BUMN yang diprivatisasi masih memiliki monopoli sehingga yang terjadi adalah pengalihan monopoli dari negara ke swasta.

5. Privatisasi sering diartikan sebagai komersialisasi public service karena di banyak negara, untuk menciptakan efisiensi di sektor public service, privatisasi mengenakan tarif atau biaya-biaya baru yang tidak dikenal pada saat public service tersebut dikelola oleh pemerintah.

Jadi tidaklah mengherankan akibat yang nyata dari privatisasi PTN adalah kenaikan biaya kuliah karena hal tersebut adalah merupakan resiko dari adanya privatisasi.

Di sisi lain Prof. Safri Nugraha[13] juga memberikan catatan mengenai adanya privatisasi yang apabila kita cermati relevan dengan adanya peristiwa tranformasi hukum PTN yang sebelumnya merupakan unit pelaksana pemerintah menjadi BHMN atau BHP (nantinya), yaitu adanya transformasi hukum Perusahaan Negara/Daerah menjadi Perseroan Terbatas (Terbuka) belum tentu menjamin peningkatan kinerja perusahaan yang bersangkutan menjadi lebih baik dan efisien dan transparan selama faktor-faktor lain yang menentukan keberhasilan privatisasi tidak dilaksanakan, faktor-faktor tersebut adalah paling tidak empat syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu: deregulasi dan debirokratisasi; kompetisi; transparansi; dan no intervensi. Sayangnya sampai dengan saat ini dalam konteks PT BHMN hal tersebut masih belum terlaksana sepenuhnya, sebagai contoh dalam hal transparansi saat ini belum pernah tersiar kabar kalau PT BHMN memberikan laporan keuangannya yang merupakan hasil audit (terpercaya) kepada publik. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika apa yang terjadi terhadap kondisi PT BHMN adalah seperti yang kita lihat sekarang ini.

Daftar Pustaka

  • Biaya Masuk PTN Bisa Lebih dari Rp 100 Juta. Kompas edisi Senin 12 Mei 2008.
  • Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003. LN 78 Tahun 2003, TLN No. 4301.
  • Indonesia. Peraturan Pemerintah Tentang Penetapan Universitas Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara, PP No. 152 Tahun 2000, LN No. 270 Tahun 2000.
  • Kata Pengantar. http://pih.diknas.go.id/bhp/ , diakses pada tanggal 15 Mei 2008.
  • Nugraha, Safri. 2002. Privatisasi Di Berbagai Negara: Pengantar Untuk Memahami Privatisas. Jakarta: Lentera Hati.
  • -------------. Beberapa Catatan Tentang Privatisasi. Makalah pada Seminar Permasalahan Yuridis Penyediaan Tenaga Listrik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UI, Depok, 15 September 2004.
  • -------------. Privatisasi BUMN/BUMD, Manfaat dan Kerugian Bagi Daerah. Makalah pada Seminar Privatisasi: Sebuah Diskursus di Era Globalisasi, yang diselenggarakan oleh Asian Labor Network on International Finance Institutions (ALNI) Indonesia, Jakarta, 20 Januari 2003.


*oleh Rimas Kautsar, mahasiswa FH UI angkatan 2003, mantan Ka.Dept. Kesejahteraan Mahasiswa BEM UI periode 2006-2007 dan Korbid. Kemahasiswaan BEM UI periode 2007. Penggiat Forum Lintas Batas.

**tulisan ini dimuat dalam Majalah Suara Mahasiswa edisi khusus 10 Tahun Reformasi.

[1] Biaya Masuk PTN Bisa Lebih dari Rp 100 Juta. Kompas edisi Senin 12 Mei 2008 hal. 1.

[2] Kata Pengantar. http://pih.diknas.go.id/bhp/ , diakses pada tanggal 15 Mei 2008.

[3] Safri Nugraha. Privatisasi Di Berbagai Negara: Pengantar Untuk Memahami Privatisasi. Hal. 10.

[4] Ibid. Hal. 15.

[5] Ibid. Hal. 20.

[6] PP No. 152 Tahun 2000 Tentang Penetapan Universitas Indonesia Sebagai Badan Hukum Milik Negara.

Pada saat ini selain UI, PTN yang sudah ditetapkan sebagai PT BHMN adalah UGM, ITB, IPB, dan UPI.

[7] Safri Nugraha. Privatisasi Di Berbagai Negara: Pengantar Untuk Memahami Privatisasi. Hal. 30.

[8] Menurut E.S Savas terdapat empat hal motif privatisasi di AS, yaitu motif pragmatis, ideology, komersial, dan populis, di mana keempat motif tersebut mengklaim bahwa pemerintah yang efisien dan efektiflah yang dapat kesis pada masa globalisasi sekarang ini, di sisi lain program-program pemerintah tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan yang layak masyarakat AS. Ibid Hal. 34-36.

[9] Ibid. Hal. 26.

[10] Ibid. Hal. 41.

[11] Safri Nugraha. Beberapa Catatan Tentang Privatisasi. Makalah pada Seminar Permasalahan Yuridis Penyediaan Tenaga Listrik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UI, Depok, 15 September 2004. Hal. 5-6.

[12] Ibid. Hal. 6.

[13] Safri Nugraha. Privatisasi BUMN/BUMD, Manfaat dan Kerugian Bagi Daerah. Makalah pada Seminar Privatisasi: Sebuah Diskursus di Era Globalisasi, yang diselenggarakan oleh Asian Labor Network on International Finance Institutions (ALNI) Indonesia , Jakarta , 20 Januari 2003.

Friday, May 23, 2008

INDONESIA(-ku)

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Menjalani hari demi hari, beraktivitas, sesekali menonton televisi, aku memandang realitas masyarakat negara ini, Indonesia. Berbagai macam permasalahan bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum dan lainnya, yang banyak terjadi di masyarakat beserta ketimpangannya, membuat rasa ke-Indonesiaanku surut.

Tapi, di saat aku menonton pertandingan Tim Indonesia di Thomas-Uber Cup 2008 melalui layar kaca, aku merasakan ada semangat ke-Indonesiaan yang menyeruak menembus layarkaca. Kata “Indonesia” yang berkali-kali diteriakan, lengkap dengan sorak, tepuk tangan serta kibaran bendera merah putih, hadirkan rasa ke-Indonesiaan dalam diri. Ke-Indonesiaan hadir bagai gelombang pasang, membawa harapan (kemenangan) dan kebanggaan.

Tim Thomas-Uber Cup Indonesia tak juara. Harapan tak sampai, dan kebanggaan pun tak terpenuhi. Ke-Indonesiaanku yang tadinya hadir dalam gelombang pasang, malah (kembali) surut.

Ke-Indonesiaanku memang surut. Tapi, kenapa ke-Indonesiaanku tak pernah dirasakan hilang? Malah, surutnya ke-Indonesiaanku membentuk keinginan untuk membuat dorongan terhadap ke-Indonesiaanku agar kembali pasang.

Kenapa aku masih mencintai ke-Indonesiaanku? Kenapa aku masih mau tinggal di negara Indonesia? Kenapa aku masih mau berada di antara masyarakat yang dinilai suka korup, suka ngaret, suka buang sampah sembarangan, suka melanggar lalulintas, tak sadar hukum, tak peduli lingkungan, dan tindakan negatif lainnya? Kenapa? Perlu renungan untuk menjawabnya, meski sejenak.

Sepertinya, tidak hilangnya ke-Indonesiaanku, karena aku lahir dan dibesarkan di Indonesia. Ya, sepertinya karena itulah aku mencintai Indonesia. Bagiku itu alamiah.

Tapi, apa iya karena itu. Atau, apa iya cuma itu. Apa tak ada yang lain?

Yang pasti, ke-Indonesiaanku bukan dibentuk oleh rasa senasib sepenanggungan atas jajahan bangsa asing yang ingin menguasai Indonesia. Proses pembentukan ke-Indoneisaanku bukan seperti yang dikatakan buku sejarah. Indonesia (mungkin) dibentuk dengan proses itu, tapi maaf, ke-Indonesiaanku tidak.

Kini beberapa orang mengatakan, penjajahan masih berlangsung (sampai sekarang) di Indonesia, sehingga ke-Indonesiaan dibangun dan dijaga untuk melawan ”penjajah” yang mau menguasai Indonesia. Tapi sekali lagi maaf, ke-Indonesiaanku juga bukan didasari itu. Bolehkan kalau dasar ke-Indonesiaanku berbeda, karena di negara ini aku bebas berpendapat.

Mmm, iya. Sepertinya itu yang membuatku tetap memegang ke-Indonesiaanku. Ke-Indonesiaanku bisa hadir dan tumbuh dalam diri, karena aku sebagai diri bisa bebas, merdeka. Aku bisa bebas berpikir. Aku bebas memilih. Aku bebas berkeyakinan. Aku bisa berkata bebas. Aku bisa bebas berpendapat. Aku bisa bebas menulis. Aku bisa bebas bertindak. Aku bisa bebas berserikat.

Mungkin keadaan negara lain damai dan sejahtera. Tapi, apakah warga negaranya bisa menjadi diri yang bebas? Aku membaca bahwa, warga di negara raksasa ekonomi seperti Cina dan Singapura, tak bebas berbicara; tak bebas menulis; tak bebas berpendapat, apa lagi bebas berserikat. Ku dengar, warga perempuan di negara-negara timur tengah, tak mempunyai pilihan sebebas laki-laki. Mereka semua ”sejahtera”; mereka hidup dalam ”damai”, tapi otak mereka terkubur; mereka membisu; diri mereka terbelenggu.

Indonesia sebagai negara, memang carut-marut. Tapi aku, sebagai warga negara Indonesia, adalah diri yang bebas. Negara menjamin kebebasanku, aku merdeka. Itulah mengapa ke-Indonesiaanku hadir, tumbuh dan tetap kujaga.

Tapi belakangan ini aku gelisah. Kebebasan yang aku rasa, tak dirasakan oleh warga Indonesia yang lain. Mereka tak bisa bebas memilih; tak bebas berkeyakinan; tak bisa berkata bebas; tak bisa bebas berpendapat; tak bisa bebas menulis; tak bisa bebas bertindak; tak bisa bebas berserikat.

Maka, menjadi kewajibanku yang ”bebas” ini untuk membebaskan warga Indonesia yang belum ”bebas”. Sebelum mereka kehilangan ke-Indonesiaannya, atau sebelum mereka menanggalkan ke-Indonesiaannya. []

USEP HASAN SADIKIN

warga ”INDONESIA”

http://suma.ui.edu/?pilih=lihat&id=298

Tuesday, May 20, 2008

Absurditas Program ”Kelas Khusus”

Oleh Eki Ridlo Na'im

Saat ini, kita kembali disuguhkan oleh pemberitaan seputar dunia pendidikan kita yang ”aneh”. Kali ini mengenai adanya "kelas khusus". Kelas ini elit, sebagaimana namanya. Mengapa demikian? Karena, penerapan kelas ini didapat bagi mereka yang (orangtuanya) mampu secara finansial.

Jelas hal itu ”aneh”, karena merupakan aksioma bahwa, proses pendidikan seharusnya lebih menekankan pada sebuah capaian prestasi yang didasari oleh kemampuan dan keahlian. Pemberian pelajaran seharusnya diberikan secara merata tanpa adanya perbedaan pada status, prestise ataupun kedudukan sosial di masyarakat.

Salah satu kota di Indonesia yang menyelenggarakan "kelas khusus" di sekolah-sekolah adalah Pemerintah Kota Bekasi. Kelas khusus diterapkan di 14 sekolah (empat SD Negeri, lima SMP Negeri, empat SMA Negeri serta satu SMK). Kapasitas siswa per kelasnya di SD sebanyak 30 siswa, 40 siswa per kelas untuk SMP, dan rata-rata untuk SMA 120 siswa).

Mereka yang menerapkan dan menerima konsep "kelas khusus", beralasan bahwa, program tersebut akan lebih memberikan potensi pada anak peserta didik, terbina dengan maksimal. Program "kelas khusus" di sekolah akan membawa dampak positif terhadap anak didiknya dengan menerapkan kurikulum yang khusus. Padahal, dasar dari konsep "kelas khusus" tidak lain merupakan upaya sekolah untuk memaksimalkan kas perbendaharaan di sekolah.

Jelas, dengan adanya program "kelas khusus" ini, dunia pendidikan kita seolah menunjukkan disparitas sosialnya secara terbuka dan berhadapan dengan kenyataan pendidikan anak didik yang diterapkan. Kelas khusus akan memberikan dampak psikologis yang cukup besar pada anak didik yang tidak masuk dalam kategori anak kelas khusus di sekolahnya. Apalagi mereka yang berbeda kelas berada pada satu komunitas sekolah yang setiap hari bertemu dan bertatap muka pada lingkungan sekolahnya.

Selain itu, "kelas khusus" pun dikhawatirkan oleh banyak pihak karena akan terjadinya pungutan liar di luar biaya program yang ditetapkan di sekolah tersebut.

Apakah mungkin program tersebut benar-benar layak dimunculkan? Apakah tepat jika status sosial dan ekonomi rumah tangga orang tua anak didik yang berbeda latar belakang diimplementasikan secara bersamaan dalam ruang dan waktu pada masa pelajaran di sekolah?

Absurd

Fenomena yang terjadi di dunia pendidikan di negeri ini sungguh terasa absurd, dan akan membuat kita untuk mengerutkan dahi. Kebijakan pendidikan yang ada saat ini, terasa sungguh membuat orang tua yang berpenghasilan rendah akan merasa keberatan dan berat hati dengan adanya kebijakan ini. Mereka melihat kenyataan pendidikan kita semakin menciptakan kesenjangan sosial dalam memperoleh hak pendidikan bagi anak.

Secara realita, dunia pendidikan kita disuguhkan pada keadaan dan fakta absurd. Di satu sisi, Pemerintah sedang gencar-gencarnya berkonsentrasi untuk menggratiskan sekolah untuk anak, dengan program wajib belajar 9 tahun. Di sisi lain, terdapat sekolah-sekolah yang membuka program "kelas khusus", yang tidak lain adalah akan membuka pembiayaan sekolah kepada anak dengan biaya yang cukup mahal.

Orang tua bisa menerima adanya pembayaran uang masuk sekolah dengan nilai yang bervariatif, walaupun semua sepakat biaya pendidikan untuk masuk sekolah digratiskan. Akan tetapi pada kenyataannya, orang tua anak didik harus dibebani lagi dengan adanya pembelian seragam sekolah, uang buku paket, sumbangan sekolah di luar program sekolahnya dan hal lain sejenisnya (yang serupa tapi tak sama) dengan wujud ”uang pengembangan sekolah”.

Sebagian besar masyarakat Indonesia, hidup di bawah garis kemiskinan. Namun apakah karena status yang mereka miliki, mereka tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan? Secara hati nurani kita, tentu mengamini bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia, tanpa memandang simbol, status, SARA, dan kultur yang ada. Biaya yang cukup besar dan nilainya bervariatif di sekolah-sekolah akan membuat mereka berpikir ulang memasuki anaknya di bangku sekolah.

Maka sudah selayaknya semua pihak, untuk lebih meningkatkan perhatiannya kepada dunia pendidikan di negeri ini. Bangsa ini sangat menaruh harapan besar terhadap masa depan pembangunan negeri ini. Di tangan anak, keberadaan masa depan dipertaruhkan sebagai tulang punggung bangsa saat nanti. Bagaimana bangsa ini dapat maju dan beradab, sejajar dan dipandang hormat oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Maka dengan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan, berarti membangun masa depan ke arah yang lebih baik.

Refleksi

Membangun bangsa dengan pendidikan, akan berarti membangun jiwa dan raga manusia seutuhnya. Manusia akan lebih mudah dididik sejak dini, dengan anak sebagai investasi bangsa secara moral dan intelektual. Pendidikan membuat manusia akan cerdas dan berwawasan luas-intelek, dengan dibekali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita agaknya harus lebih berkaca, terutama berbicara tentang dunia pendidikan kita yang terasa absurd. Hidup memang absurd, tetapi bukan berarti kenyataan hidup yang selalu ingin membuat kita bergerak maju secara cerdas dan intelek, lantas bersusah diri dalam membina dan mengembangkan dunia pendidikan kita.

Semua berharap agar pendidikan di negeri ini, dapat merengkuh semua anak manusia memperoleh pendidikannya, secara formal maupun informal. Secara formal, lembaga-lembaga sekolah agar berbaik hati menerima mereka masuk sekolah bagi anak-anak dari para orang tua mereka yang tidak mencukupi secara finansial. Dan secara informal, pendidikan anak diluar sekolah, mampu membina dan menumbuhkembangkan potensi anak agar dirinya mempunyai eksistensi dan jati dirinya, layaknya seorang manusia dengan segala absurditasnya. []

Eki Ridlo Na'im

aktivis lintas batas

Aktivis Forum Angkatan Muda Peduli Pendidikan,

Tergabung dalam PSP.

Tinggal Di Serang

Sunday, May 18, 2008

Relatif

Oleh Wicky Prameshwari

Setiap orang dalam hidup ini diciptakan tentulah dengan maksud tertentu. Setiap orang lahir dan menempati posisi sendiri-sendiri dalam ruang dan waktu, untuk kemudian bertugas sesuai dengan posisinya masing-masing. Itulah sebabnya mengapa setiap orang dilahirkan dengan karakter yang berbeda-beda, karena karakter seseorang pastilah disesuaikan dengan posisinya masing-masing di dunia ini. Perbedaan karakter tersebut kemudian memberikan warna dalam perspektif personal terhadap dunia.

Cara pandang dan penilaian tiap orang terhadap segala sesuatu, baik yang prinsipil maupun non-prinsipil, memiliki keistimewaan tersendiri sesuai dengan karakter orang tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika apa yang dianggap sebagai nilai kebaikan, kebenaran, keadilan, maupun kebahagiaan, menjadi relatif sifatnya. Kerelatifan tersebut hendaknya diterima dengan hati yang lapang sebagai suatu keniscayaan.

Namun kerelatifan tersebut sebaiknya tidak lantas dijadikan alasan bagi kita untuk menempatkan diri di tengah-tengah dan senantiasa mengikuti arus tanpa mempertanyakan pada diri sendiri, mana yang sesuai bagi pribadi saya?

Saya memperhatikan ada banyak faktor yang menyebabkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran, keadilan, maupun kebahagiaan, menjadi relatif sifatnya. Selain faktor perbedaan karakteristik tadi, ada juga lima faktor lain yang mempangaruhi, tiga faktor internal dan dua faktor eksternal. Faktor internal meliputi akal, nurani, dan perasaan (hawa nafsu). Sedangkan dua faktor eksternal meliputi kepercayaan yang dianut serta pengaruh lingkungan sekitar.

Faktor kepercayaan mempengaruhi cara pandang manusia dalam menentukan baik-buruknya sesuatu hal. Faktor nurani mempengaruhi cara pandang manusia dalam menentukan benar-salah. Faktor akal dan lingkungan (norma-norma yang berlaku di masyarakat) mempengaruhi cara pandang manusia dalam menentukan adil-timpang. Sedangkan faktor perasaan mempengaruhi cara pandang manusia dalam menentukan bahagia-nestapa.

Dari kelima faktor tadi, ditambah perbedaan karakteristik, pengaruhnya terhadap tiap orang tidak pernah sama. Pastilah ada satu-dua faktor yang lebih menonjol, sehingga sudut pandang seseorang dalam menentukan prioritas terhadap mana yang lebih penting antara kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kebahagiaan juga tidak akan sama.

Saya tertarik dengan perkataan seorang bijak: “Tujuan seseorang dalam hidup sesungguhnya adalah kebenaran. Karena kebenaran lebih dari sekedar kebahagiaan. Seseorang yang benar dapat mengenakan perasaan yang diingini. Ia juga dapat bergaul dengan baik tanpa perasaan sama sekali. Kebohongan terdapat dalam usaha seseorang untuk mencapai kebahagiaan padahal sesungguhnya ia dapat berusaha untuk mencapai kebenaran”.

Dari semua itu, bagi saya perlu adanya pemahaman kita mengenai perbedaan sudut pandang. Hal ini akan membantu kita untuk bisa menjalin hubungan yang lebih harmonis antar manusia dan mencegah terjadinya pemaksaan satu sudut pandang yang dapat berakibat pada munculnya perpecahan. []

Wicky Prameshwari

aktivis lintas batas

Mahasiswa Geografi FMIPA UI

Kebebasan, Akal dan Hawa Nafsu

Oleh EKI RIDLO N

Tuhan telah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan dan kekurangan manusia itu sendiri. Kesempurnaan yang tertinggi di alam semesta yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Kelebihan manusia terhadap makhluk lain dari ciptaan-Nya tersebut berupa akal yang mampu berpikir dan berperan dalam mengelola kehidupan alam. Dengan akal pikirannya, manusia diberikan kebebasan, pilihan-pilihan secara rasional dalam hidupnya, guna memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan bagi dirinya.

Akan tetapi, adanya akal yang ada pada diri manusia membawa tanggung jawab yang besar terhadap kehidupan alam. Superioritasnya mampu mengendalikan setiap ujung dunia. Setiap keputusannya, akan berdampak pada perubahan yang terjadi pada lingkungannya secara fisikal. Hal ini berarti eksistensi manusia diperlukan kesadaran secara rasional dalam mengambil setiap keputusannya. Pilihan-pilihan secara rasional pada manusia harus tetap menyertai setiap langkah dan sikapnya. Agar perdamaian, kebaikan-kebaikan di muka bumi ini selalu tercipta kesetimbangan alam secara harmonis.

Manusia pada hakikatnya telah diberikan kekuatan oleh Tuhan, yakni kreatifitas manusia itu sendiri untuk berpikir secara bebas sebagai amunisi dalam mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut terwujud manakala kebebasan manusia itu digunakan secara rasional.

Kita tentu dapat membayangkan apabila dunia ini sepenuhnya dikendalikan oleh hasrat dan nafsu manusia yang pada akhirnya akan membawa pada penderitaan. Kemiskinan bukanlah tercipta dari kehendak Tuhan, karena Tuhan menginginkan setiap manusia memperoleh kebahagiaan dan kebaikan melalui kebebasannya dengan menggunakan kesadaran rasionalnya. Jerat kemiskinan tersebut diakibatkan oleh keserakahan dan ketamakan manusia yang cenderung menggunakan nafsu dari pada rasionya dalam melihat segala sesuatu. Ditambah dengan kekuasaan yang disalahartikan, hawa nafsu akan menindas kebebasan manusia lainnya atas dasar kepentingan diri yang terlalu egois untuk hidup berkuasa dalam kebebasan.

Pada dasarnya kebebasan pada manusia yang diberikan oleh Tuhan tidak lain untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia itu sendiri. Dengan kebebasan ini tinggal bagaimana, atas dasar apa manusia bersikap, kesadaran akal atau hawa nafsu? []

EKI RIDLO N

aktivis lintas batas

Tinggal di Serang, Banten