Monday, October 02, 2006

RUU APP?


Oleh Silvia Rahmah P.

Belakangan ini di media cetak maupun elektronik marak dibicarakan pro kontra mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Berdasarkan namanya, undang-undang ini jelas dibuat untuk mengatasi pornografi dan pornoaksi yang dianggap mulai meresahkan masyarakat. Diawali dengan goyang “Ratu Ngebor” Inul Daratista sampai terakhir terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia. Jika memang tujuan dari RUU APP itu baik, mengapa bisa terjadi pro dan kontra dalam masyarakat?

Mereka yang kontra terhadap RUU APP ini diantaranya adalah dari kalangan aktivis perempuan. RUU APP yang salah satu tujuannya untuk melindungi kaum perempuan ini diangap mengkriminalkan tubuh perempuan, artinya RUU ini tidak menghukum mereka (laki-laki) yang mempunyai pikiran kotor. Disini terjadi perlakuan hukum yang diskriminatif terhadap laki-laki dan perempuan.

Menurut saya, sebaiknya RUU APP ini lebih fokus pada pengaturan terhadap mereka yang memproduksi, mendistribusi dan mengkonsumsi pornografi dan pornoaksi, bukan malah membatasi penampilan perempuan apalagi mengatur privasi individu terlalu jauh. Undang-undang yang ada seharusnya sudah cukup untuk mengatasi masalah pornografi dan pornoaksi. Penayangan televisi, dan penerbitan media cetak tentu sudah ada undang-undang yang mengaturnya.

Mungkin munculnya RUU APP ini merupakan indikator bahwa undang-undang yang ada tidak cukup untuk mengatasi masalah tersebut (atau mungkin karena pelaksanaannya kurang baik?). Jika demikian maka pembuatan RUU APP ini jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Artinya, isi dari RUU APP beserta aplikasinya harus jelas dan tegas sehingga dapat diterima oleh semua kalangan.

Pembuatan RUU APP ini memang bukan hal yang mudah. Contohnya pendefinisian pornografi dan pornoaksi sendiri. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Batasan sesuatu dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi memang masih banyak diperdebatkan, karena memang sulit mencari batasannya. Buat sebagian orang gambar atau aksi perempuan dengan pakaian terbuka, tarian eksotis dianggap sebagai pornografi dan pornoaksi. Namun, untuk sebagian yang lain bisa jadi itu hanya hal biasa, tergantung bagaimana pikiran orang yang melihatnya. Bahkan penggunaan baju adat (kebaya, baju bali, dll) yang memang terbuka dan transparan juga diperdebatkan. Hal-hal yang menimbulkan banyak persepsi seperti di atas memang sudah selayaknya diperjelas agar RUU ini bisa diaplikasikan dengan baik. Jangan sampai RUU ini dijadikan alat pembenaran untuk bebas mengadili seseorang sesuai dengan persepsi masing-masing.

Jika ditinjau dari tujuan awalnya yang baik RUU APP ini memang harus diperjuangkan agar menjadi undang-undang yang bisa diterima oleh semua kalangan. RUU APP ini dibuat untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi kita semua. Jadi, jangan sampai ini justru menjadikan perpecahan dan membuat kondisi menjadi semakin buruk. Sebagai bangsa yang bermoral tentu kita harus membuka diri dan menerima sesuatu yang memang bertujuan memperbaiki moral bangsa. Bagi kelompok atau individu yang pro dan kontra sebaiknya bertemu dan berdiskusi untuk mencari jalan keluar yang terbaik, sehingga keinginnan untuk mewujudkan kondisi bangsa yang lebih baik dapat diwujudkan segera. Jika kita semua terus berteriak serta memaksakan kehendak dan merasa diri paling benar, sepertinya kita lebih membutuhkan RUU APP yang lain yaitu Rancangan Undang-Undang Anti Perpecahan dan Permusuhan. []

April 2005

Silvia Rahmah P
aktivis lintas batas
Mahasiswa Farmasi FMIPA UI

0 Comments:

Post a Comment

<< Home