Saturday, April 19, 2008

Membaca Surat-Surat Kartini: “Dari Kegelapan Menuju Pencerahan!”

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Kenapa Kartini? Kenapa harus Kartini yang hari kelahirannya (21 April) diperingati bangsa Indonesia di setiap tahunnya? Kenapa bukan Cut Nyak Dien atau Kristina Marta Tiahahu yang berjuang langsung ke medan perang untuk melawan dan gugur di tangan penjajah? Kenapa harus Kartini yang hidupnya hanya 25 tahun, gugur di saat melahirkan anak pertamanya? Mungkin dari kita ada juga yang bertanya seperti itu.
Ada beberapa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tetapi saya tak ingin terjebak dalam pola pikir yang konspiratif dan terjerembab pada pandangan politik sejarah yang lekat dengan banyak kepentingan “pihak-pihak”. Bagi saya Kartini tetap bisa kita jadikan sebagai (salah satu) model sosok perempuan pejuang bangsa. Memperingati hari kelahirannya penting untuk dijadikan pemicu semangat perubahan terhadap kondisi masyarakat kita yang masih dilanda “kegelapan”.
Kenapa Kartini? Karena Kartini telah meninggalkan banyak tulisan kepada kita. Tulisan-tulisan itu bisa kita jadikan acuan (langsung) ketika kita bertanya, “siapa Kartini?” –ini yang tidak dimiliki oleh pahlawan perempuan lain. Terutama tulisannya yang berbentuk surat. Dalam suratnya Kartini tak hanya berbicara mengenai hak dan peran perempuan, tetapi juga mengenai adat, keningratan, eksistensi diri, agama dan juga hal penting lainnya. Jika kita tarik semangat serta ide dari surat-surat itu ke dalam konteks sekarang, sebagian besar masih relevan, dan menarik untuk diperbincangkan.
Mari kita mencoba membaca beberapa suratnya. Mencoba (kembali) untuk mengetahui dan memahami, siapa itu Kartini? Apa yang mendorong dirinya berjuang? Seperti apa pemikirannya dan apa cita-citanya? Semoga hal ini bisa menjadi bagian dari pemicu semangat perubahan bagi kita. Perubahan ke arah lebih baik: ”habis gelap terbitlah terang!”; yang dalam tulisan ini saya rubah redaksinya (semoga tidak merubah maknanya) menjadi, “dari kegelapan menuju pencerahan!”.

Surat Kartini mengenai adat dan (gelar) keningratan
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput. Bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.
…Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.
Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini dan Kardinah) tidak ada cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal boleh dijalankan.

(Surat kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Bagi Kartini, adalah sebuah hal yang prinsipil bahwa setiap manusia sederajat. Manusia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Sepertinya Kartini memandang bahwa prinsip itu merupakan nilai (keluhuran) universal. Ketika prinsip itu didialogkan dengan adat, ternyata adat Jawa banyak yang tidak memenuhi prinsip itu.
Adat di sini, adalah kumpulan (bentuk) kegiatan kolektif yang dipertahankan karena nilainya. Bentuk kegiatan suatu adat adalah perwujudan suatu nilai, tetapi bentuk kegiatan itu tak bisa dikatakan sebagai nilai itu sendiri. Karena bentuk kegiatan itu terkait dengan kondisi dan cara pandang suatu masyarakat, sehingga seiring dengan waktu bentuk kegiatan tersebut dapat dirubah ketika kondisi dan cara pandang masyarakat berubah.
Salah satu bentuk adat di masa Kartini adalah perlakuan istimewa terhadap keningratan seseorang. Keningratan seseorang diukur dengan darah. Semakin biru darah seseorang maka akan semakin ningrat dan terpandang kedudukannya.
Mungkin dulu keningratan (atas dasar pola pikir dan kondisi masyarakat), dibuat dan dijalankan sebagai bentuk perwujudan (nilai) penghormatan dan penghargaan. Tetapi Kartini menghendaki penghapusan keningratan. Karena keningratan bukan merupakan pengejawantahan nilai penghormatan dan penghargaan seseorang, tetapi merupakan wujud sikap merendahkan manusia.
Sekarang, keningratan darah sudah menjadi barang antik yang dimuseumkan. Sebagai gantinya muncul keningratan-keningratan baru. Keningratan titel atau gelar, keningratan pangkat, keningratan jabatan, dan puncak dari keningratan itu adalah keningratan finansial. Siapa yang paling banyak mengantongi uang, dialah yang paling ningrat. Dan semua pun dapat diatur olehnya. Keputusan dan kebijaksanaan semua orang akan berjalan merunduk-runduk di hadapan keputusan dan kebijakan orang tersebut.
Tapi anehnya, banyak dari mereka yang mengaku sebagai “Kartini Muda” masa kini, tidak menentang keningratan-keningratan tersebut. Bahkan mereka menjadi pemujanya yang mungkin akan menjadi abdi setia dan siap berkorban. Banyak yang mengaku “Kartini Muda”. Ya, “Kartini Muda” yang belum membaca surat R. A. Kartini ini:
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: Keningratan Pikiran dan Keningratan Budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya (keningratannya). Apakah berarti sudah beramal sholeh, orang-orang yang bergelar Graaf atau Baron?
(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)

Surat Kartini mengenai (pilihan) diri dan (tradisi) keluarga
Membaca riwayat hidup Kartini bagi saya menambah kayanya pesan modernis(me) dalam tradisi bangsa Indonesia. Pesan-pesan akan pentingnya pengakuan atas hak-hak individu. Perlunya pemberian kebebasan terhadap individu untuk menentukan pilihan hidup, dan keluarga (juga masyarakat/ kelompok) harus menghormati pilihan tersebut.
Dalam kisah fiksi kita mengenal tokoh Siti Nurbaya. Kisah ini setting-nya tradisional, tetapi pesan yang disampaikannya modern. Kita memahami bagaimana menderitanya seorang Siti yang tak bisa memilih.
Begitu juga dengan Kartini. Semasa kecil dia harus merasakan kesedihan ibunya yang dimadu. Karena keterbatasan perempuan, ibunya hanya bisa merelakan Bapak Kartini yang harus menikah lagi dengan seorang ningrat sebagai syarat menjadi Gubernur Jepara. Ketika dewasa, Kartini pun harus mau menikah dengan pilihan orangtuanya untuk dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga.
Bagaimana sepatutnya membuat kebajikan yang sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan mengabaikan diri sendiri ataukah dengan mewujudukan kehendak diri sendiri? Apakah harus mengundurkan diri demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri berbakti kepada keluarga besar masyarakat?
(Surat kepada Prof. Dr. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Kartini (dan juga Siti Nurbaya), “takluk” dengan tradisi patriarki. Ia mencari argumen positif (atau pembenaran?) bahwa, “kerelaannya” adalah bentuk sikap berbakti terhadap orangtua.

Surat Kartini mengenai perempuan (dan laki-laki)
Kalau memang benar pada diri kami ada sifat yang dapat membentuk anak laki-laki yang cakap dan tangkas, mengapa kami tidak dapat menggunakannya untuk meningkatkan diri menjadi perempuan yang demikian pula? … dan tidak bergunakah perempuan Jawa terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang dapat dibentuk sekendak hati.
(Surat kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soe; Agustus 1900)

Alangkah bahagianya laki-laki, bila istrinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga menjadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya. Ini bila dia tidak angkuh dan picik pandangannya. Sedikit demi sedikit, saya memasuki bidang emansipasi perempuan. Mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan perempuan menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup ini. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu –pendidik umat manusia yang utama!
….mereka mendapat anak bukan untuk dirinya sendiri. Mereka harus mendidiknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama Masyarakat, karena anak itu kelak akan menjadi anggotannya!
…ciptakanlah ibu-ibu yang cakap serta berpikiran, maka tanah Jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap. Peradaban dan kepandaiannya akan diturunkannya kepada anak-anaknya. Anak-anak perempuannya akan menjadi ibu pula, sedangkan anak-anak yang laki-laki kelak pasti akan menjadi kepentingan bangsanya…

(Surat kepada Prof. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Sekarang ini, kita mengenal banyak model “ibu”. Sebagiannya berpandangan bahwa perempuan tak perlu menjadi istri. Dengan segala ”kemapanannya” mereka menganggap kehadiran suami malah menjadikannya penghalang dalam menjalankan hidup. Mereka pun berpandangan untuk menjadi ibu, mereka tak perlu hamil- mengandung-melahirkan-menyusui, karena bagi mereka semua fase itu akan menghambat karir atau membuang waktu dalam hidupnya untuk beraktualisasi. Untuk menjadi ibu dengan mempunyai anak, cukup dengan mengadopsi anak, dan mereka tinggal membesarkannya saja tanpa harus merasakan mualnya kehamilan, capeknya mengandung anak, dan sakitnya melahirkan serta repotnya menyusui.
Kartini menolak pandangan itu. Bagi Kartini (menjadi) ibu merupakan peran dan posisi yang strategis bagi perempuan. Dan peran dan posisi sebagai ibu bagi perempuan adalah anugrah dari Tuhan. Potensi yang dimiliki perempuan untuk bisa mengandung anak, melahirkannya, menyusuinya dan membesarkannya haruslah dioptimalkan.
Dan Kartini memandang laki-laki bukanlah saingan perempuan. Tetapi merupakan mitra sejajar yang mempunyai peran, fungsi dan posisi yang berbeda. Mitra harus saling mendukung dan melengkapi kekosongan satu sama lain, bukan melawan, apalagi menguasai.

Surat Kartini mengenai agama dan al-Qur’an
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab, agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan Yang Sama. Orang-orang yang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai. Perbedaan gereja, tempat menyeru kepada Tuhan Yang Sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan. Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu!
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)

Bagi kita yang beragama, mungkin merasakan juga ”kegelisahan” yang dialami Kartini. Agama (Tuhan) yang ”mengajarkan” kepada kita untuk saling menyayangi dengan cara menebar kasih sayang kepada alam dan makhluk lainnya, ternyata (juga) ”memiliki wajah kekerasan”.
Agama pun mempunyai sifat eksklusif serta diskriminatif. Agama telah menjadi pembatas bagi kita. Dinding-dinding ”rumah suci-Nya” membatasi kita untuk berdoa dan berserah diri. Status identitas agama menghalangi kita untuk menebar dan memadu kasih (menikah) dengan pemeluk agama lain.
Selain itu, Kartini pun mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca al-Qur’an). Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruh Kartini keluar ruangan ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata dalam al-Qur’an yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah beberapa penolakan pada diri Kartini:
“mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang yang baik hati, bukan begitu Stella?”
(Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890)

“dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tau manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Dan jangan-jangan ustadz dan ustadzahku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

(Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 15 Agustus 1902)

Dalam surat itu Kartini memiliki pandangan yang tidak menerima pemahaman dan prilaku beragama yang dogmatis. Kita beragama adalah untuk mengetahui, mendapatkan, dan memahami nilai dan makna yang terkandung di dalam ajaran-ajarannya. Dari itu semua, harus ada pengupayaan untuk bisa diterapkan dalam kehidupan dengan bentuk tindakan yang bermanfaat. Beragama bukanlah hanya membaca teks-teks agama yang tidak dimengerti dan dipahami pesan/ maknanya. Untuk itu, teks-teks agama harus diartikan atau dipelajari bahasanya untuk dipahami pesan/ maknanya, bukan sekedar dibaca!

Penutup
Sebetulnya masih banyak hal-hal lain mengenai Kartini yang menarik untuk dituliskan (kembali). Tetapi media tulis ini tak cukup untuk menampungnya. Sama halnya dengan usia Kartini yang singkat, tak bisa menampung realisasi ide, pemikiran dan cita-citanya. Tetapi yang pasti, kehidupan Kartini adalah proses (menjadi) seorang Kartini, bukan akhir. Proses menuju pencerahan. Dan kita hendaklah belajar dari proses itu. Sebagai pemicu perubahan kita dan masyarakat; dari kegelapan menuju pencerahan. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas
Mahasiswa Geografi FMIPA UI

Bahan Bacaan:
  • Arbaningsih, Dri. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Emansipasi “Bangsa”. Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2005;
  • Karimah, Asma. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi. Penerbit Hanifah, Jakarta 1994;
  • Toer, Pramoedya Ananta, Panggil Aku Kartini Saja. Lentera Dipantara 2003.

http://sumaui.or.id/?pilih=lihat&id=242

Saturday, April 12, 2008

Kontroversi ”Fitna” dalam Perspektif Islam Phobia

Oleh Rimas Kautsar

Melihat perkembangan isu mengenai diputarnya film Fitna melalui internet dan disutradarai oleh Geert Wilders, seorang anggota parlemen Belanda, banyak orang yang menyayangkan bentuk provokasi yang Wilders lakukan karena sikapnya yang Islam phobia. Ketakutannya yang berlebihan ini muncul karena ia menganggap bahwa Islam merupakan agama intoleran dan mengancam keberadaan peradaban Eropa yang ia simbolkan dengan freedom (kebebasan). Sikap Geert Wilders provokatif dan menghasut (menebar kebencian) ini dikecam oleh tidak hanya kalangan Islam namun juga oleh kalangan non-Islam, seperti Perdana Menteri Belanda Jan Pieter Balkenende, bahkan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Sungguh menarik melihat permasalahan ini karena ternyata di Eropa sendiri Islam dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kekuatan yang akan bangkit dan mengancam Eropa.

Islam Phobia Geert Wilders lahir karena ia takut bahwa perkembangan Islam saat ini akan mengancam peradaban Eropa ditambah adanya persepsi salah yang ia anut bahwa Islam adalah agama intoleran.

Kebangkitan Islam meskipun terlihat berjalan dengan tertatih-tatih saat ini oleh sebagian kalangan Eropa dianggap sebagai suatu keniscayaan, namun persepsi negatif bahwa hal ini akan mengancam peradaban Eropa adalah hal yang perlu dipertanyakan kembali. Karena, apabila kita menengok ke belakang pada zaman abad kegelapan Eropa, Eropa mengalami penderitaan. Peradaban Eropa tidak berkembang terutama di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga rakyatnya mengalami penindasan oleh pihak penguasa dan kemalangan karena dilanda berbagai musibah, seperti wabah penyakit dan kelaparan.

Di lain pihak, terdapat peradaban Islam yang berkembang. Salah satunya adalah Granada yang berada di jazirah Spanyol yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan kala itu. Pada masa itu pula banyak mahasiswa di universitas-universitas Granada adalah orang-orang Eropa sendiri, sehingga cendikiawan Islam kala itu seperti Ibnu Rusd (Averos), Ibnu Sina (Avicena), Al Jabar dan lain sebagainya adalah sarjana-sarjana Islam yang tidak asing di telinga mereka.

Pada saat peradaban Islam mengalami kemunduran, para sarjana-sarjana Eropa menerapkan ajaran-ajaran para sarjana Islam guna menginspirasi renaissans atau abad kebangkitan di Eropa.

Dengan melihat fakta sejarah ini, maka dapat dikatakan bahwa adalah tidak beralasan jika Islam akan mengancam peradaban Eropa bahkan sebaliknya Islam telah membawa pengaruh positif terhadap kemajuan peradaban Eropa.

Mengenai persepsi Islam sebagai agama intoleran dan bersikap destruktif hal ini dikarenakan Geert Wilders tidak melihat Islam secara utuh. Jelas bahwa, ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap toleran (QS.109/6) dan menjauhi sikap yang destruktif (QS.7/74). Bahkan, persepsi itu dengan adanya film Fitna ditengarai sebagai bentuk provokasi kepada umat Islam agar terpancing untuk bersikap emosional, sehingga bertindak destruktif, yang selanjutnya dapat dijadikan alat legitimasi bagi adanya persepsi Islam sebagai agama intoleran dan cenderung kepada kekerasan. Sedangkan di sisi lain ia menggunakan argumen bahwa perbuatannya adalah sah karena itu merupakan suatu bentuk kebebasan berekspresi, hal ini adalah sebuah strategi jebakan yang patut diwaspadai oleh umat Islam.

Meskipun demikian bukan berarti umat Islam harus bersikap pasif dalam menangani permasalahan yang dihadapi. Umat Islam dituntut untuk responsif dalam bersikap sehingga menunjukkan adanya kewibawaan dan kepedulian terhadap masalah tersebut. Namun perlu diingat setiap langkah yang diambil untuk menyikapi permasalahan ini haruslah memperhatikan aturan-aturan hukum yang berlaku (baik hukum nasional yang berlaku di mana umat Islam tersebut berada maupun hukum Internasional) serta menghindarkan diri dari tindakan yang bersifat anarkhis dan destruktif sebagaimana cerminan dari ajaran Islam itu sendiri.

Harus ada dua pendekatan guna menangani persoalan ini, yang pertama pendekatan Government (G) to Government (G), yakni Pemerintah negara-negara muslim (termasuk di dalamnya Indonesia) harus bersikap responsif menyikapi masalah ini dengan sekuat tenaga secara kompak dan bersama-sama menggunakan seluruh kemampuan diplomatiknya terhadap Pemerintah Belanda dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hukum Internasional. Yang kedua, pendekatan People (P) to People (P), hal ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh umat Islam di negara-negara Islam dan mayoritas beragama Islam melainkan juga dapat dilakukan oleh umat Islam di negara-negara yang mayoritasnya adalah non-muslim. Sebagai contoh di antarnya adalah negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, di mana meskipun secara presentase adalah minoritas namun secara jumlah cukup besar. Amerika Serikat misalnya, penduduk yang beragama Islam diperkirakan berjumlah 6 (enam) juta orang dan konon kabarnya seiring dengan berjalannya waktu terus bertambah. Jumlah ini bisa jadi lebih banyak dari jumlah penduduk negara-negara Arab Islam yang memliki jumlah penduduk sedikit seperti Kuwait. Umat Islam dapat melakukan suatu aksi berupa tindakan counter opini terhadap persepsi yang salah mengenai ajaran Islam, sehingga masyarakat non-muslim memperoleh gambaran yang utuh mengenai Islam. Hal ini juga harus secara kompak dan bersama-sama dilakukan dengan memperhatikan hukum yang berlaku sehingga umat Islam tidak terjebak pada perilaku anarkis dan destruktif. Etika-etika dalam berdakwah bisa dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam melakukan counter opini.

Bagi umat Islam yang berada di Belanda, sangat dianjurkan untuk dapat melihat masalah ini secara jernih dengan perspektif hukum pidana. Apa yang diperbuat oleh Geert Wilders dengan melaporkan hal ini kepada pihak Kepolisian Belanda dengan alasan bahwa film Fitna yang dibuat oleh Geert Wilders adalah perbuatan pidana berupa haatzaaien (menyebarkan kebencian) sebagaimana diungkapkan oleh advokat top Belanda Gerard Spong (detik.com/2008/03/28). Dengan demikian ia dapat diadili di depan pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Patut diingat bahwa kebangkitan umat Islam saat ini tampaknya memang terus terlihat seiring berjalannya waktu. Hal ini ternyata tidak hanya disadari oleh internal umat Islam itu sendiri, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan di luar umat Islam. Bahkan lebih daripada itu, ada sebagian kalangan yang memandang negatif kebangkitan Islam ini dengan bersikap Islam Phobia sehingga berupaya menebarkan benih-benih kebencian terhadap Islam.

Tampaknya umat Islam saat ini menghadapi tantangan untuk dapat menunjukkan konsep ajaran ”rahmatan lil alamin” kepada pihak-pihak di luar Islam. Dakwah ”rahmatan lil alamin” ini tentunya tidaklah akan mengurangi wibawa umat Islam, melainkan akan dapat menarik simpati pihak-pihak di luar Islam yang selama ini sudah terlanjur dijejali berbagai macam persepsi yang salah mengenai ajaran Islam. Namun berhasil tidaknya tentu kembali kepada umat Islam itu sendiri sebagai pengemban risalah dakwah Islam yang mulia.

Wallahualam bi sawwab; hanya Tuhan yang tahu kebenaran sesungguhnya. []

Rimas Kautsar

Mahasiswa Fakultas Hukum UI

aktivis lintas batas

Menilai Islam dalam film Ayat-Ayat Cinta

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Belakangan ini, film Ayat-Ayat Cinta yang diadaptasi dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) mengisi bioskop-bioskop Tanah Air.

Mengisahkan Fahri bin Abdillah (diperankan Fedi Nuril), seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar (Mesir) berkewarganegaraan Indonesia yang mengalami rumitnya perasaaan cinta. Perilaku, kecerdasan, wawasan yang baik serta keluwesan bergaul, membuat Fahri disukai, termasuk para perempuan.

Pilihannya menikahi Aisha (Rianti Cartwright), hadirkan dilema dan konflik. Berkat pemahamannya terhadap ajaran Islam beserta orang-orang yang mendukungannya, semua bisa dilalui dan menghadirkan banyak hikmah.

Dibandingkan film pada umumnya, film yang mengadaptasi novel memiliki tantangan tersendiri. Tantangan itu berupa kecenderungan sikap penonton yang membandingkan isi film dengan apa yang ada di novel. Sehingga bagus/buruknya, memuaskan/mengecewakan-nya film, umumnya lebih ditekankan pada sama/tidak-nya dengan apa yang ada di novel.

Sehingga penyampaian cerita secara audio-visual dalam film kerap dianggap sebagai ‘perusak’ imajinasi yang dihasilkan dari bacaan. Misalnya, sosok karakter tokoh dan gambaran setting tak sesuai dengan apa yang dibayangkan.

Tapi bagi film Ayat-Ayat Cinta (A2C) tak sebatas itu. Hal-hal yang bersifat ideal (menyangkut ideologi) dalam novel menjadi variabel tambahan untuk membandingkan film dengan novel. Di antaranya adalah perbandingan corak Islam yang ada di novel dengan yang ditampilkan di film.

Dalam novel, Kang Abik memunculkan Islam dalam diri Fahri (sebagai tokoh utama) dengan corak fundamentalis yang toleran. Fundamentalis saya artikan sebagai sifat-sikap seseorang yang menjadikan konsepsi nilai-ajaran (Islam) sebagai sesuatu yang harus dan selalu dijadikan acuan diri dalam ber-pikir, rasa dan sikap.

Ada pun toleran adalah sikap penghormatan sekaligus pemisahan jelas antara doktrin suatu agama dengan doktrin agama yang lainnya. Dengan kata lain, seorang toleran dalam pergaulannya bersikap sama terhadap orang yang seagama maupun yang berbeda agama, selama tidak menyangkut doktrin (keyakinan) agama.

Fahri di dalam novel menolak untuk menikahi Maria (yang beragama Kristen Koptik) dengan alasan perbedaan keyakinan. Pernyataanya yang berbunyi: “Aku mencintai kalian semua, tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari pada yang bukan muslimah,” merupakan penegasan bahwa perbedaan keyakinan merupakan hal yang tidak bisa ditolerir. Batas toleransi yang cukup halus diperlihatkan Fahri ketika dirinya memohon pertolongan kepada Maria dengan pernyataan, “Kumohon, demi cintamu pada Al-Masih, kumohon!”

Selain itu, corak “fundamentalisme Islam yang toleran” dengan penekanan pesan “Islam sebagai jalan keselamatan dunia-akhirat (selain Islam tidak selamat)”, sepertinya merupakan pesan utama yang ingin disampaikan Kang Abik. Ini bisa dilihat dari bagian penutup novel yang menceritakan Maria yang tak bisa masuk ke “surga” karena belum mengucapkan “dua kalimat syahadat”.

Di dalam film, hal tersebut tak tampak. Islam dalam film tampil dengan corak yang cenderung liberal. Liberal saya artikan sebagai sifat-sikap yang menekankan penilaian baik-buruknya seseorang dari perilaku dan tindakannya. Semua bebas menjadikan konsepsi nilai ajaran suatu agama sebagai acuan, tetapi penekanannya bukan pada apa yang dijadikan acuan itu.

Fahri dalam film adalah orang yang tak mempermasalahkan keyakinan Maria (Carissa Putri). Ketika diminta tolong Aisha untuk menikahi Maria, yang dipermasalahkan Fahri hanyalah kesetiaannya terhadap Aisha. Di sini, pesan “cinta” sebagai subtema A2C bukanlah cinta yang sifatnya (teo /ideo) logis, melainkan “cinta” yang melintasi batas-batas perbedaan, dan mendorong kita untuk bersikap tidak membedakan terhadap perbedaan itu.

Sisi liberal

Sisi liberal Fahri dalam film pun bisa dilihat pada adegan yang menceritakan bentuk pergaulannya dengan perempuan. Di film Fahri tampak lebih “cair” dengan mempersilahkan Maria masuk ke kamarnya dan mengobrol bersama teman-temannya Fahri.

Bandingkan dengan Fahri dalam novel yang selalu berusaha menjaga jarak dan menundukan pandangan saat bertemu/berbincang dengan perempuan. Di sini, liberal saya artikan sebagai sifat-sikap yang mengadopsi nilai kebebasan modernitas, yang tentunya berbeda dengan nilai (Islam) tradisional.

Selain itu, corak Islam liberal dalam film pun terlihat dengan adanya penyertaan pesan kritik terhadap praktek ta’aruf dan poligami.

Kurang lebih seperti itulah perbedaan corak Islam A2C antara novel dan film. Umumnya pembaca novel A2C merasa kecewa terhadap film A2C, karena mereka merasa corak Islam yang dianggapnya ideal di dalam novel, malah berbeda (bahkan berseberangan) dengan yang ada di film. Sepertinya mereka berharap bahwa, apa yang selama ini mereka anggap ideal bisa disebarkan dan dipopulerkan melalui film; namun apa mau dikata.

Kecewa atas ketidaksesuaian harapan ideal dalam novel dengan yang ada di film, bukan merupakan sikap yang salah. Tetapi yang perlu dicatat adalah, ketika cerita film mengadaptasi cerita novel, bukan berarti film hanya harus meng-audiovisual-kan sama persis dengan semua yang ada di novel. Film adaptasi novel, bukan berarti identik sama dengan novel. Bisa saja, mengadaptasi cerita sebuah novel berarti menempatkan cerita novel tersebut sebagai referensi utama cerita film, yang disertai penambahan kreasi dan sebagainya.

Memang, novel A2C mungkin merupakan usaha penggambaran suatu realita atas suatu yang ideal, di mana ketika banyak orang yang hanyut dan terombang-ambing dalam sisi buruk modernitas, masih ada orang-orang yang tetap menjaga tradisi-nilai keyakinan agama. Tetapi apa yang ada dalam film (terlepas dari kemungkinan adanya kepentingan bisnis hiburan), juga merupakan usaha untuk menyeritakan realita lain. Novel mungkin ingin memperlihatkan sebuah corak Islam, tetapi yang digambarkan dalam film pun merupakan salah satu dari banyaknya corak Islam yang ada.

Yang perlu kita sadari adalah, realita dibangun atas ragam corak yang ideal. Sehingga, janganlah memandang ragam corak yang ideal itu seperti membandingkan novel dan film, dengan menempatkan film sebagai cerminan novel. Jika begitu, kita akan membandingkan novel dengan gambarannya yang muncul di dalam cermin; memeriksa setiap sisinya; bahkan halaman demi halaman pun kita hadapkan pada cermin. Tentu saja kita akan kaget jika gambaran yang muncul dalam cermin berbeda dengan benda aslinya.

Maka, ketika kita yang mengidealkan suatu corak Islam, menemukan corak Islam lain, janganlah kaget; apa lagi sampai tidak menerimanya sebagai bagian dari Islam karena corak Islam-nya lain dengan yang kita yakini. Membaca dan menonton A2C, kemudian membandingkan keduanya, semoga bisa membuat kita sadar bahwa sesungguhnya Islam itu tidak tunggal, melainkan plural. Di antaranya yang bercorak toleran ala novel ‘Ayat-Ayat Cinta’, dan yang cenderung liberal ala film ‘Ayat-Ayat Cinta’. []

Penulis adalah koordinator Forum Lintas Batas, mahasiswa UI
http://www.monitordepok.com/news/opini/18735.html