Sunday, December 23, 2007

Mahasiswa UI dan Pemanasan Global

Oleh RIMAS KAUTSAR

Semenjak tahun 1960-an para ilmuwan telah membuat sebuah prediksi mengenai akan munculnya suatu bencana global. Disebutkan bahwa sumber-sumber alam dikhawatirkan telah dikonsumsi dalam jumlah yang melampaui batas, sementara polusi merusak keseimbangan ekologis yang menjamin kelestarian alam-Anthony Giddens. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial. Hal. 62. Pembangunan ekonomi berhasil meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. Tetapi di sisi lain kemajuan ekonomi yang umumnya berlandaskan pada industrialisasi telah mengikis persediaan sumber daya alam dan merusak lingkungan hidup. Pencemaran udara, tanah dan air, kegaduhan serta kerusakan fisik bumi, merupakan produk sampingan pembangunan ekonomi yang sukar dihindari. Makin cepat laju pertumbuhan ekonomi makin cepat penyusutan sumber daya alam dan makin parah pencemaran lingkungan dan kerusakan bumi-Hananto Sigit. Aspek Lingkungan Dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Dan Dampaknya.

Saat ini, dengan melihat kenyataan yang ada telah muncul berbagai kesadaran dari masyarakat akan bahaya yang mengancam terhadap kelestarian lingkungan hidup sebagai akibat dari aktifitas manusia yang merusak. Salah satu isu yang muncul saat ini yang terkait dengan hal tersebut adalah mengenai pemanasan global (global warming), aktifitas manusia (terutama di bidang perekonomian) yang sedemikian rupa berkembang sejak zaman revolusi industri, telah merubah pola perilaku manusia di dalam pemanfaatan energi dan sumber alam, dulu sebelum era revolusi industri manusia masih mengandalkan tenaga hewan, manusia, dan alam untuk mempermudah aktifitas hidupnya.

Pada masa sebelum revolusi industri manusia dalam menggarap ladang ia membajak ladangnya dengan bantuan sapi atau kuda, untuk memproduksi kain saja masih dikerjakan dengan mengandalkan tangan-tangan manusia, dan bahkan juga memanfaatkan alam, misalnya memanfaatkan tenaga angin untuk menggerakkan kapal layar. Hal ini kemudian berubah saat memasuki era revolusi industri, tenaga hewan, manusia, dan alam banyak digantikan oleh mesin-mesin guna mempermudah manusia di dalam menjalankan aktifitas hidupnya. Sejak saat itu dampak yang timbul adalah mulai digunakannya sumber-sumber daya alam tak terbarukan (seperti minyak bumi, batubara, dan gas alam) secara besar-besaran untuk digunakan sebagai bahan bakar guna mengggerakkan mesin-mesin tersebut.

Efek positif dari revolusi industri adalah meningkatkan taraf perekonomian manusia karena dengan digunakannya tenaga mesin dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Efek negatifnya adalah saat ini terjadi berbagai macam kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktifitas perekonomian mulai dari tahap produksi, seperti penambangan, penebangan hutan, polusi hasil buangan pabrik-pabrik, tahap distribusi, seperti penggunaan sarana transportasi kendaraan bermotor yang mengeluarkan polusi, dan juga tahap konsumsi, seperti adanya buangan limbah rumah tangga, pemakaian alat-alat elektrik dan elektronik yang menggunakan energi listrik, dimana energi listriknya diperoleh dari pembangkit-pembangkit listrik.

Aktifitas manusia yang demikian saat ini dianggap sebagai sumber utama terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi di saat sinar ultraviolet dari cahaya matahari yang masuk ke bumi kemudian seharusnya dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar angkasa tertahan oleh zat carbondioksida (CO2) yang ada di lapisan atmosfir bumi, sehingga radiasi dari sinar ultraviolet masih tertahan di permukaan bumi karena tidak dapat terpantul secara sempurna ke angkasa, peristiwa ini kemudian mengakibatkan meningkatnya suhu di permukaan bumi. Dampaknya keseimbangan iklim di bumi terganggu sehingga mengakibatkan berbagai fenomena alam seperti pencairan es-es di kutub, banjir, kebakaran hutan, dan lain-lain. Di sisi lain zat carbondioksida ini sebagian besar berasal dari polusi udara yang dihasilkan dari berbagai aktifitas manusia (terutama di bidang ekonomi yang terindustrialisasi), sedangkan bumi yang sebenarnya dapat menjaga keseimbangan ekologisnya dengan sendirinya, ternyata kemampuan ekologis bumi yang dimiliki untuk menjaga keseimbangannya telah terganggu oleh aktifitas manusia seperti pengrusakan lahan-lahan hutan yang untuk dijadikan hutan tanaman industri (terutama yang dilakukan secara membabibuta dan illegal), padahal seharusnya seharusnya lahan-lahan hutan ini berfungsi sebagai paru-paru dunia karena mampu merubah zat CO2 menjadi 02. Kondisi demikianlah yang saat ini kita pahami sebagai fenomena pemanasan global..

Mahasiswa sebagai kalangan terpelajar karena memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dan tingkat rasionalitas yang tinggi, sudah selayaknya memberikan perhatian dan kepedulian terhadap apa yang terjadi di lingkungannya baik di tingkat lokal maupun global. Ada dua macam perspektif yang dapat digunakan untuk melihat peran mahasiswa, yang pertama dalam perspektif gerakan mahasiswa, mahasiswa memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), dan sebagai calon-calon pemimpin di masa yang akan datang (iron stock). Yang kedua dalam perspektif perguruan tinggi, perguruan tinggi (atau civitas academica, di mana mahasiswa menjadi salah satu bagiannya) memiliki tiga fungsi (tri dharma perguruan tinggi), yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Fungsi-fungsi itulah yang kemudian menjadi tanggung jawab moral bagi mahasiswa di dalam kiprahnya di tengah-tengah masyarakat.

Langkah strategis apa yang dapat diambil oleh mahasiswa UI dalam menunaikan tanggung jawab moralnya tersebut apabila dikaitkan dengan isu pemanasan global tentu akan sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Gerakan mahasiswa UI saat ini tengah dalam proses tranformasi gerakan, dimana terjadi perubahan paradigma bahwa gerakan mahasiswa yang dahulu adalah semata-mata gerakan moral, saat ini tengah ditransformasikan menjadi suatu gerakan moral sosial, artinya secara sederhana gerakan mahasiswa tidak dirumuskan lagi secara reaksioner di dalam mengadapi isu-isu yang berkembang, melainkan secara serius mengamati dan mempelajari isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat untuk kemudian secara strategis dapat ditentukan isu manakah yang akan menjadi skala prioritas untuk digarap demi mendapatkan kemaslahatan yang lebih tinggi bagi masyarakat secara umum, sehingga peran gerakan mahasiswa dalam menjalankan fungsinya akan lebih terasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sasaran tembaknya pun mengalami pergeseran, dimana porsi isu-isu yang terkait dengan hak-hak sipil dan politik dikurangi dan porsi isu-isu yang terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih ditingkatkan. Hal ini terjadi dengan melihat realitas bahwa akibat dari reformasi telah membuka kesadaran masayarakat akan pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya, namun di sisi lain ternyata sampai dengan saat ini pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masih cenderung diabaikan. Sebagai contoh masyarakat telah memperoleh kebebasan untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi politiknya, namun tetap saja di lain pihak tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum tidak meningkat bahkan terkadang cenderung menurun. Apabila diambil benang merahnya, isu kepedulian akan lingkungan hidup dan pemanasan global sangat terkait erat dengan isu pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Namun perlu diingat bahwa hal-hal tersebut di atas memerlukan suatu prasyarat, yaitu peningkatan kompetensi keilmuan dari mahasiswa itu sendiri, karena apabila ditelaah lebih lanjut isu-isu ekonomi, sosial, dan budaya jauh lebih tinggi tingkat kompleksitasnya dibandingkan dengan isu-isu sipil dan politik.

Universitas Indonesia sebagai suatu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini telah mencanangkan program Research University sebagai orientasi strategis pengembangan universitas. Mahasiswa UI sudah selayaknya melihat secara kritis dengan kacamata tri dharma perguruan tinggi, karena apabila dilihat celahnya, maka ada suatu keterkaitan yang strategis antara kepentingan gerakan mahasiswa yang menggarap isu lingkungan hidup dan pemanasan global dengan orientasi program Research University yang dikembangkan UI, dalam hal menggarap isu tersebut tentu mahasiswa tidak hanya sekedar bergerak dengan mendengungkan slogan-slogan saja, karena meskipun hal itu penting namun apabila tidak dilakukan suatu tindak lanjut yang nyata maka dengan sendirinya gerakan mahasiswa yang mengangkat isu lingkungan hidup dan pemanasan global akan terhenti langkahnya, mengingat di tengah dinamika yang berkembang di masyarakat terdapat isu-isu lain yang lebih “seksi” untuk diangkat menjadi sasaran tembak gerakan mahasiswa.

Budaya riset (research culture) yang ingin dikembangkan oleh UI, hendaknya dapat dijadikan momentum strategis oleh gerakan mahasiswa UI. Riset-riset yang dilakukan dapat dijadikan sarana efektif untuk meningkatkan kompetensi keilmuan dari mahasiswa UI itu sendiri. Selain itu melalui berbagai riset yang dilakukan, output yang dihasilkan dapat dijadikan materi untuk menganalisa isu-isu lingkungan hidup dan pemanasan global, bahkan juga dapat digunakan untuk menemukan solusi dari permasalahan isu-isu lingkungan hidup dan pemanasan global. Dengan demikian dapat tercipta suatu gerakan mahasiswa UI yang berbasis riset sebagai tindak lanjut yang nyata, guna menyikapi isu-isu lingkungan hidup dan pemanasan global.

Di tengah dinamika masyarakat yang berkembang dan arus globalisasi yang menjadi keniscayaan, gerakan mahasiswa UI tidak perlu bersikap ragu-ragu dan tidak percaya diri dalam menghadapi isu lingkungan hidup dan pemanasan global. Dengan sarana yang cukup memadai saat ini dan momentum yang tengah berjalan di lingkungan Universitas Indonesia, membangun suatu gerakan yang berbasiskan riset dapat menjadi salah satu cara yang efektif yang dapat dilakukan oleh mahasiswa UI guna menjalankan taggung jawab moralnya sebagai mahasiswa. []

RIMAS KAUTSAR

Mahasiswa FH UI

aktivis lintas batas

Tuhan dalam Alam Pikir Manusia

Oleh HARRY BAWONO

Karen Amstrong, seorang pakar religious studies, dalam salah satu karyanya yang fenomenal, History of God, melukiskan bahwa Tuhan dalam perjalanan sejarah umat mesti dibaca dengan memperhatikan konsepsi-konsepsi yang dinisbatkan manusia pada diri-Nya.
Konsepsi-konsepsi ini tak lain tak bukan adalah upaya manusia dalam memahami sosok yang serba misterius ini. Armstrong sendiri melacak melalui garis historis tradisi keagamaan ibrahimistik yang bercorak monotheistik. Dalam uraiannya Armstrong berbicara perihal perkembangan konsep mengenai Tuhan dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Guna menambah kaya guratan analisanya, Armstrong tidak lupa mengangkat konsepsi-konsepsi Tuhan versi para filsuf, reformer dan kaum mistik.
Dari sini lantas Armstrong mengkontraskan dan coba menerjemahkan Tuhan dalam konteks kekinian. Dalam pandangannya, Tuhan yang selama ini digambarkan sebagai sosok personal sudah tidak relevan lagi. Tuhan yang meski dijelaskan melalui logika nalar manusia. Yang mungkin dan jauh lebih relevan adalah ketika Tuhan dalam konteks dunia yang semakin absurd ini dipandang sebagi Tuhan yang mistycal. Tuhan yang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu wujud yang lain, yang mesti ditundukan pada dalil-dalil rasionalitas. Namun, Ia adalah wujud yang subyektif yang hadir melalui imajinasi, penuh dengan misteri dan tak terlukiskan.
Dan tampaknya pandangan Armstrong terkait dengan Tuhan yang mystical ini tengah bersambut. Futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 mengungkapkan bahwa tengah terjadi sebuah perubahan besar yang melanda dunia Barat, khususnya Amerika Utara, yakni mulai muncul “kemuakan” terhadap insitusi agama formal, yang justru bergeliat adalah gelombang spiritual yang enggan diidentikan dengan formalitas agama tertentu. Slogan yang mengawal fenomena ini adalah spirituality yes, organized religion no!
Kelompok yang larut dalam gelombang spiritualitas sini biasa disebut sebagai the new age. Salah satu landasan yang di pegang oleh para new ager (penganut new age) adalah kesadaran akan ultimate reality sebagai satu-satunya realitas yang eksis. Agama-agama, yang selama ini menjadi salah satu tembok demarkasi terkuat, tak lain hanyalah sebuah jalan-jalan menuju kepada ultimate reality.
Disinilah Tuhan tak lagi dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif yang hanya dimonopoli oleh jalur agama formal. Tuhan diwujudkan sebagai sosok esoteris yang emoh pada jubah formalitas agama. Tuhan dalam pandangan para new ager merupakan sosok cair yang terbuka bagi siapa pun. Misteri terdalam yang tak lekang dan terjamah oleh nalar kerdil manusia, yang hidup secara nyata dalam pengalaman-pengalaman spiritual individual.
Nah, untuk melihat lebih jauh perihal konsepsi Tuhan, dalam tulisan ini penulisan akan melihat konsepsi-konsepsi manusia perihal Tuhan yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kutub; Tuhan transenden dan Tuhan imanen.
Dari dua kutub konsepsi mengenai Tuhan ini lantas penulis menariknya pada tataran pengalaman guna memberikan gambaran konkret perihal konsep Tuhan, dengan mengacu pada kerangka Peter L. Berger, pengalaman manusia atas Tuhan paling tidak dapat direduksi dalam dua kategori; konfrontasi dan interioritas.

Tuhan Transenden & Pengalaman Konfrontasi
Tuhan transenden dibayangkan sebagai Tuhan yang mengatasi atau melampaui alam raya. Implementasi dari konsepsi ini antara lain paham penciptaan. Tuhan sebagai pencipta alam raya tidak memiliki ketergantungan pada segala ciptaan-Nya. Tuhan telah hadir sebelum alam raya terbentuk.
Disinilah Tuhan dipandang sebagai sosok personal yang seutuhnya digambarkan sebagai sosok yang berpengetahuan, berkemauan, memperhatikan bangsa-Nya, membimbing manusia, bahkan setiap orang secara pribadi. Relasi yang berlangsung antara Tuhan dan manusia bersifat dialogal. Kepasrahan penuh dengan hormat kepada Tuhan menjadi capain tertinggi bagi manusia dalam menghayati Tuhan transenden yang personal ini.
Tuhan transenden ini biasanya dinisbahkan pada tradisi agama-agama Asia Barat, khususnya iman ibrahimistik (Yahudi, Kristen dan Islam). Pesona Tuhan yang transenden ini memiliki tiga ciri pokok:
Pertama, unsur personal. Tuhan mengikatkan dirinya dan mengutus seseorang untuk menerjemahkan pesan-Nya guna mewujud sebagai bentuk penyelematan. Secara personal Tuhan memilih orang dan bangsa tertentu dan berdialog dengannya.
Kedua, pengakuan terhadap satu-satunya Tuhan. Dalam iman Yahudi, Yahweh menjadi satu-satunya Tuhan maha kuasa yang tidak memerlukan ilah lainnya. Begitupun dalam Islam dan Kristen, Allah menjadi satu-satunya penguasa yang memungkinkan segala hal dalam dunia ini terjadi.
Ketiga, Tuhan bertahta di atas langit dan bumi, Ia tidak menjadi bagian darinya. Ia tidak terurai ke dalam alam raya, melainkan ia yang menciptakan langit dan bumi.
Tuhan transenden ini mewujud dalam pengalaman manusia secara konfrontasi. Konfrontasi ini sendiri dimaksudkan bahwa Tuhan dialami sebagai sebuah realitas eksternal yang acapkali dianggap mengancam dan mengerangkeng kesadaran individu. Dalam pengalaman ini Tuhan hanya berhubungan dengan manusia dari luar dunia. Dapat dilihat misalnya; ketika Nabi Musa menerima firman dengan berbicara langsung dengan Tuhan; Paulus yang menemui Kristus yang dibangkitkan dalam perjalanan menuju Damskus; Nabi Muhammad saw ketika menerima wahyu di Goa Hira atau ketika beliau berbicara secara langsung kepada Allah pada saat isra miraj.

Tuhan Imanen & Pengalaman Interioritas
Jauh berbeda dengan Tuhan transenden yang mengatasi dan melampaui alam raya, Tuhan imanen justru dikonsepkan sebagai Tuhan yang menyerapi alam. Antara Tuhan dan alam tidak terdapat garis demarkasi yang ketat. Tuhan sebagai sumber awal secara dinamis menyerap dalam keseluruhan aspek dalam alam raya.
Tuhan imanen biasa dikaitkan kepada tradisi iman Asia Selatan dan Timur. Dalam tradisi iman Asia Selatan dan Timur yang memandang Tuhan sebagai sesuatu yang imanen, terdapat satu prinsip dasar, Brahman. Kemajemukan yang ada dalam semesta hanyalah maya, karena Brahmann-lah satu-satunya realitas. Brahmann memancarkan diri ke dalam alam semesta sampai ke kehidupan mikro di sekitar manusia. Realitas yang banyak, dewa-dewi, roh-roh, lalu manusia dan alam raya, merupakan emanasi (aliran dari zat satu yang menjadi dasar segalanya). Yang ilahi mengalirkan atau menjabarkan diri menjadi kenyataan majemuk. Alam raya, termasuk manusia merupakan eksteriorisasi zat ilahi. Dalam semadi, orang seakan-akan kembali ke asal-usul, meskipun zat itu sendiri, Brahmann, tidak dapat tercapai. Karena segala-galanya adalah satu. Pandangan seperti ini juga dikenal sebagai monisme.
Tuhan yang imanen masuk ke pengalaman dalam bentuk interioritas. Interioritas merujuk pada bentuk pengalaman tentang Tuhan, ketika Tuhan dan lebih luas lagi obyek pengalaman relijius lainnya, dipandang atau dipercaya bisa ditemukan di kedalaman kesadaran individu itu sendiri. Dalam interioritas, mistisme menjadi jalan batin menuju ilahi atau realitas mutlak. Dapat dilihat misalnya pencerahan yang dialami oleh Sang Budha. Pada tradisi Hindu terungkap dalam Vishnu Purana ayat 18; ...Dia menerima-Ku semata sebagai tujuannya yang tertinggi. Oleh karenanya, tanpa dia, aku tidak bisa menopang diriku-Ku sendiri. Oleh karenanya, sesungguhnya dia adalah diri-Ku.

Hibriditas
Dalam kenyataanya, konsepsi antara Tuhan transenden dan Tuhan imanen tidak dapat dipandang sebagai oposisi biner, yang memiliki kejelasan batasan secara ketat. Begitupun dengan pengalaman yang bersifat konfrontasi dan interioritas, apalagi hanya dibekukan seakan-akan tradisi iman Barat mutlak bersifat konfrontasi dan Iman Timur bersifat interioritas. Terdapat hibdritas dalam pemaknaan akan Tuhan yang transenden dan imanen. Begitupun dengan pengalaman, antara yang konfrontasi dan interioritas.
Transendensi dan imanensi Tuhan selalu bersamaan. Karena Tuhan sama sekali transenden, Tuhan juga sama sekali imanen. Atau dengan kata lain, Tuhan itu, sebagai Yang transenden, di mana-mana tidak ada, dan sekaligus, Yang imanen, di mana-mana ada. Tuhan itu di mana pun tidak dapat ditemukan sebagai salah satu obyek atau salah satu unsur, akan tetapi di mana pun Ia dapat ditemukan sebagia dasarnya.
Contoh konkrit, dalam ajaran Hindu yang menganut Tuhan Imanen, juga memiliki pandangan tentang transendensi (personal), seperti misalnya agama bhakti di mana cinta kasih kepada Krisna merupakan intinya.
Terkait dengan pengalaman, relasi antara Tuhan dan manusia, antara konfrontasi dan interioritas pun saling bercampur. Dalam tradisi Islam, dimana monotheisme yang merujuk pada transendensi Tuhan yang bercorak konfrontasi, dalam salah satu wajahnya mengenal tradisi imanensi yang bercorak interioritas melalui jalur mistisme yang erat kaitannya dengan kalangan sufi. Misalnya saja, (contoh ekstrim) ajaran syech siti jenar mengenai manungaling kawula gusti. Begitupun dengan Kristen, terutama dalam tradisi gnosis Kristen awal sebagaimana tercatat dalam Injil (apokrif) Thomas Sang Pendebat; ....”Orang yang mengenal dirinya”. Karena orang siapapun yang tidak mengenal dirinya berarti tidak mengetahui apa pun, tetapi ia yang mengenal dirinya pada saat yang sama telah mencapai pengetahun tentang kedalaman segala hal (Thomas Sang Pendebat 138: 7-18).
Dari sini terlihat jelas, bahwa konsepsi mengenai Tuhan transenden dan Tuhan imanen, pengalaman konfrontasi dan interioritas bukanlah merupakan konsep yang saling tertutup dan mengecualikan antara satu dengan lainnya. Melainkan bersifat hibrid dengan penekanannya pada lingkup-lingkup tertentu dengan kekhasannya masing-masing.

Kesimpulan
Uraian mengenai konsepsi-konsepsi mengenai Tuhan pada dasarnya hanyalah sekedar sebuah konsep sebagai bentuk upaya manusia mengenal Tuhan-Nya. Penting kiranya untuk merujuk pendapat tokoh sufi ternama, Jalaludin Rumi. Rumi menandaskan, dengan mengrikitik pandangan-pandangan yang meredusir Tuhan pada logika nalar, bahwa Tuhan diketahui melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Para Sufi tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Tidak jauh berbeda, dalam tradisi Yahudi pun dikemukakan bahwa Ketika Nabi Musa melihat semak-semak yang menyala di Gunung Sinai, yang pada dasarnya merupakan bentuk ”penampakan” Tuhan kepada Musa. Kemudian, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya dan Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be").
Dari jawaban ini dapat ditafsirkan bahwa Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai sesuatu yang tidak dapat begitu saja dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan memperingatkan Musa untuk tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Ibn al-'Arabi berpandangan bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Ibn al-'Arabi berujar bahwa, Barangsiapa yang membebaskan-Nya dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya.
Namun, perlu disadari, sebagai manusia tampaknya konsepsi-konsepsi tentang Tuhan merupakan hal yang tak bisa lepas dari sosok seorang manusia. Bahkan mengajukan sebuah pemahaman bahwa Tuhan itu adalah hal yang tak terdefinisi tak lain merupakan bentuk pendefenisian dan konsepsi atas Tuhan. Karena memang begitulah manusia, makhluk yang tak pernah bisa lepas dari simbol-simbol, lambang-lambang, dan konsepsi-konsepsi. []

HARRY BAWONO
Mahasiswa Sosiologi UI

Referensi:
v Armstrong, Karen, A History of God, http://esnips.com/web/ebooks4u
v Berger, Peter. L, The Other Side of God, Alih bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005.
v Adian, Donny Gahral, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
v Naisbit, John and Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Megatrends ltd, 1990.
v Noer, Kautsar Azhari, Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya, artikel dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
v Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Monday, December 03, 2007

”Memahami” Imam Samudra


“Manusia tidak pernah berbuat jahat sesempurna yang mereka
perbuat karena keyakinan agama.”
(BLAISE PASCAL, dalam ”Batas Nalar” karya Donald B. Calne)

Terlepas dari keraguan bahwa kasus Bom Bali memang dilakukan oleh Imam Samudra dkk., mengingat, dan membicarakan kejadian Bom Bali selalu memunculkan pertanyaan: benarkah aksi Bom Bali adalah jihad?
Tak salah memang Abdul Azis ‘Imam Samudra’–selanjutnya hanya ditulis Imam- dalam bukunya yang berjudul ”Aku Melawan Teroris!” (Jazera: 2004) menuliskan secara khusus mengenai penjelasan jihad Bom Bali di dalam bab “Bom Bali, Jihadkah?”.
“Bom Bali, Jihadkah?” Bagi Imam sendiri pertanyaan itu memang serius untuk dibahas. Memahaminya tidak bisa hitam putih begitu saja. Ada spektrum permasalahan dengan segenap wacananya yang harus dimengerti secara mendasar. Menurut Imam, seorang yang terdidik tidak akan mengatakan: “ngapain, jihad kok di Bali? Itu sih bukan jihad, soalnya menghacurkan ekonomi Indonesia. Kalau mau jihad ya di Amerika sana! Masa iya, jihad kok membunuh sesama muslim?” Itu asbun!
Untuk bisa memahami mengapa Imam bisa melakukan pemboman sedahsyat itu di mana banyak korban sipil dan tak sedikit di antaranya beragama Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman Imam sebagai muslim. Apa arti jihad bagi Imam? Mengapa Imam harus berjihad? Mengapa menggunakan bom? Mengapa di Bali?
Saya coba meringkas jawaban dan alasan Imam terhadap pertanyaan-pertanyaan itu yang memang Imam tulis dalam buku ”Aku Melawan Teroris?” (AMT).

Arti jihad menurut Imam
Imam mengartikan jihad ke dalam tiga segi, yaitu:
1. Dari segi bahasa (etimologi), jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan.
2. Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah. Mendakwahkannya serta menegakannya.
3. Dari segi syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan “jihad fi sabilillah”.
Dari tiga pengertian itu, Imam memahami bahwa arti jihad dari segi syar’i merupakan pengertian jihad yang sempurna. Dua pengertian jihad sebelumnya merupakan tahapan dan penyusun untuk capaian berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam beserta kaum muslimin. Kafir diartikan oleh Imam sebagai orang (individu dan kelompok/ bangsa) yang bukan beragama Islam. Dan kerap kali Imam menyamakan pengertian kafir dan musyrik. Mungkin lahir dari buah pikir bahwa setiap kafir menyembah tuhan selain Allah.

Mengapa Imam (/ muslim) harus berjihad?
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu (telah menjadi janji) yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka, bergembiralah dengan jual beli itu, dan itulah kemenangan yang besar.
(At Taubah:111)
Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk surga padahal Allah belum melihat (dalam kenyataan) siapa yang berjihad di antara kamu dan belum nyata siapa yang bersabar.
(Ali Imran: 142)
Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa.
(At Taubah: 36)
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi firnah, dan supaya agama itu semata-mata untuk (keunggulan) Allah.
(Al Anfal: 39)
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (Tuhan) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, dan mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat.
(HR. Bukhari-Muslim)
”ketahuilah, bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Ayat dan hadist tersebut, bagi Imam merupakan perintah langsung dari langit tujuh yang ditujukan kepada semua umat Islam. Berjihad (memerangi) kaum kafir merupakan cerita utama kehidupan umat manusia di dunia. Jihad (dan sabar) merupakan syarat yang harus dijalani dan dipenuhi setiap muslim untuk mencapai surga.
Berjihad pun merupakan kewajiban bagi setiap (muslim yang) mukmin. Sebagaimana diwajibkannya berpuasa bagi setiap mukmin.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedangkan kamu tidak.
(Al Baqarah: 216)
Jadi, menjadi muslim bukan sekedar sholat, puasa, zakat, haji atau yang lainnya. Semua itu bagi Imam, belum sempurna tanpa disertai turut sertanya kita dalam memerangi kaum kafir.

Mengapa menggunakan bom?
Bagi Imam konsep perang adalah bagaimana kita membunuh atau terbunuh. Artinya, teknis dan peralatan (senjata) disesuaikan dengan konsep itu. Dalam Al Quran memang tidak ada istilah bom. Meski demikian, pada zaman nabi ada teknis cara bertempur yang bernama ”manjaniq”. Fungsi manjaniq seperti martir yang memiliki daya rusak sangat tinggi. Fungsi martir pada manjaniq ini yang diasosiasikan sebagai bom. Ada pun beberapa pendapat ulama yang Imam pegang adalah sebagai berikut:
Dalam pengepungan terhadap kaum Banu Hawazin dan sekutunya, Rasulullah saw. menggunakan manjaniq selama empat puluh hari.
(Ibnu Katsir. Tafsir al Quran, Juz 2/ 357)
”Diperbolehkan menembakan manjaniq terhadap kaum kafir, dengan menghantamkan batu-batu dan api serta mengirim air bah pada mereka sekalipun di antara kaum kafirin itu terdapat kaum muslimin yang tertawan, karena hal ini merupakan kepentingan peperangan.”
(Al Khatib Asy Syarbini dikutip oleh Imam Asya Syahid Ibn Nuhas dalam Tahzib Masyariqul Asywaq) hal 150 dan 151.

Mengapa di Bali?
Sebetulnya tidak ada keharusan melakukan jihad di Bali. Karena setiap jengkal tanah adalah kepunyaan Allah. Mereka yang beragama di tanah Allah, tetapi tidak sesuai dengan agama Allah maka harus diperangi. Imam berpegang pada ayat:
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.
(Al Baqarah: 191)
Target jihad adalah orang-orang kafir. Kafir yang harus diperangi dalam artian negara adalah Amerika dan para sekutunya (Israel, Australia dll.). Di mana terdapat orang kafir berkewarganegaraan tersebut, maka itulah target. Menyerang target pada wilayah yang homogen (Amerika dan sekutunya) tentulah lebih efektif dan efisien dari pada menyerang wilayah yang heterogen. Setelah dipertimbangkan, Sari Club dan Pady’s Pub, Legian, Bali merupakan target yang tepat (Hal. 120).

Mengapa sipil yang jadi sasaran?
Imam yang begitu ”membenci” negara kafir Amerika (dan sekutunya) tentulah akan bisa kita mengerti jika kebenciannya dia luapkan dengan aksi kekerasan terhadap tentara Amerika, atau Bush misalnya. Tetapi yang Imam serang malah pihak sipil, yang notabene tidak tahu menahu, apa itu pertarungan ideologi Barat dan Islam?; apa itu konflik Israel-Palestina?; dsb. Ini menimbulkan keheranan bagi kita.
Tetapi Imam mempunyai dasar dan alasan yang menarik. Imam memulai penjelasan dengan menggambarkan keadaan bahwa selama ini Amerika dan sekutunya telah banyak melakukan peperangan di beberapa negara. Imam menuliskan bagaimana serangan Amerika terhadap Irak, telah membunuh 1,5 juta bayi Irak. Serta kebiadaban sikap Israel terhadap rakyat (sipil) Palestina yang masih berlangsung hingga sekarang.
Dari keadaan itu Imam menilai bahwa, kafir Amerika dan sekutunya adalah teroris. Para Kafir telah melampaui batas. Maka Imam mengacu pada ayat:
Barang siapa melampaui batas terhadap kami maka balaslah serangan mereka seimbang dengan yang mereka lakkukan terhadap kamu...
(Al Baqarah: 194)
Dan jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan balasan yang setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu...
(An Nahl: 126)
Dengan begitu, sipil bangsa-bangsa kafir (penjajah) yang semula tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi dengan adanya tindakan melampaui batas oleh kafir penjajah terhadap kaum sipil muslim. Bagi Imam, ini merupakan usaha pencapaian keseimbangan hukum dalam perlawanan (Hal. 116). Bom Bali hanyalah setitik reaksi terhadap sekian banyak aksi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir (Amerika dan sekutunya) penjajah terhadap umat Islam di seluruh dunia. Perang dibalas perang; darah dibalas darah; nyawa dibalas nyawa, sipil dibalas sipil, pelampauan batas dibalas dengan setimpal!

Bagaimana dengan korban yang beragama Islam?
Setiap tindakan manusia sangat memungkinkan untuk tak luput dari kesalahan (human error). Jatuhnya korban yang beragama Islam merupakan bentuk dari human error aksi bom Imam dkk. Sebelumnya mereka telah memperhitungkan dan memahami situasi lapangan bahwa, antara jam 21.00 s/d 24.00 merupakan waktu para kafir aktif bermaksiat. Dan pada waktu itu, hampir bisa dipastikan tidak ada penduduk lokal yang berkeliling di daerah itu. Ternyata kenyataan lain. Tak sedikit muslim yang menjadi korban (Hal. 121).
Adanya human error itu sangat disesali Imam. Dirinya bertaubat kepada Allah atas hal itu.
”Hilangnya dunia masih lebih ringan di sisi Allah dari pada terbunuhnya seorang muslim.”
(HR. Nasai dan Al Baihaqi)
Tapi, berkenaan dengan ketaksengajaan membunuh kaum muslim, bagi Imam Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan solusi tersendiri melalui firman Allah:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh mukmin karena bersalah (hendaklah ia) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika keluarga si terbunuh bersedekah (membebaskan pembunuh dari membayar diyat). Jika si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka hendaklah (si pembunuh), memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian (damai) anTara mereka dengan kami, maka hendaklah (si pembunuh) membayar diat yang diserahkan pada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai cara taubat kepada Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (An Nisa; 92)

Bagaimana dengan grasi?
Bagi Imam, hanya kepada Allah lah seluruh manusia wajib memohon ampun. Dialah Pemilik Neraka dan Surga. Dialah Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Grasi, ampunan, pengampunan atau yang lainnya merupakan bentuk pembelaan hukum yang dibuat oleh hukum-hukum manusia. Hukum-hukum yang jauh dari syariat Islam/ hukum Allah. Mengajukan grasi berarti tunduk kepada hukum buatan manusia.
Memohon grasi pun berarti membenarkan hukum kafir dan mengingkari kebenaran hukum Allah (Hal. 198 s/d 202).
Dan pengajuan grasi merupakan bentuk sikap penyesalan atas perbuatan. Padahal aksi bom Bali bagi Imam tak ada penyesalan dan memang didasari oleh keyakinan yang kuat yang bersumber dari kebenaran Allah, Al Quran dan Hadist. Untuk apa memohon ampun, padahal Imam telah menjalankan kebenaran.

Benarkah jihad ala Imam tidak seusai dengan Islam?
Jika kita dihadapi, ditanya, melihat dan/ atau membahas adanya kekerasan yang mengatasnamakan agama, umumnya kita selalu memisahkan antara ajaran agama dengan pemeluk agama. Seperti memisahkan cawan dengan anggur. Agama ibarat cawan sedangkan (perilaku) pemeluk agama adalah anggur. Ketika dirasakan pahit dalam mereguk anggur, maka yang disalahkan adalah anggurnya. Terorisme beragama ibarat rasa pahit yang berasal dari para pemeluk agama, bukan berasal dari ajaran agama. Bukan agama yang mengajarkan pemeluknya melakukan kekerasan, tetapi pemeluknya yang salah dalam memahami dan menjalankan ajaran agamanya.
Benarkah seperti itu? Benarkah agama adalah cawan kristal suci yang kuat-bersih-bening-mengkilat tak luput dari kerapuhan dan noda? Benarkah pemeluk adalah anggur yang sangat memungkinkan menjadi masam dan pahit, tanpa dipengaruhi cawan bernama agama?
Ulil Abshar Abdallah berpendapat bahwa, ketika Bom Bali Imam dkk. kita nilai sebagai tindakan di luar ajaran Islam, maka sebetulnya di sini kita menjumpai permasalahan yang mendasar dalam bingkai pluralitas agama. Karena dengan penilaian itu kita sedang membuat dua kleim sekaligus:
1. Kita menganggap bahwa para pembom Bali itu tidak paham Islam yang sebenarnya, sehingga tindakan mereka jelas salah;
2. Kita mengkleim bahwa pemahaman kitalah yang benar karena sesuai dengan Islam.
Dua kleim itu bagi Ulil, jelas tidak tepat. Kleim pertama tidak tepat karena para Imam dkk. bukanlah para “orang lugu” yang sekedar mengebom karena sebuah orientasi yang rendah. Imam dkk. adalah Al Ustadz (guru agama), yang sepanjang hidupnya berada dalam tradisi ajaran Islam. Dan dalam AMT, jelas bahwa Imam dkk. mempunyai argumentasi kuat yang dibangun oleh rangkaian ayat, hadist dan fatwa ulama disertai dengan penafsiran mereka.
Kleim kedua pun ditolak, karena kita memposisikan pemahaman kita hanya berasal dari satu spektrum penafsiran di antara sekian banyak penafsiran. Islam itu multi tafsir, salah satu di dalamnya ada tafsir yang membentuk pemahaman keras ala Imam Samudra.
Maka untuk menyikapi kasus aksi bom Bali Imam dkk., yang harus kita lakukan adalah kita tidak hanya mengkritik pemahaman Imam Samudra–di samping sikap kritik intropeksi pada diri kita-, tetapi juga kita mengkritik (ajaran) Islam yang kita yakini. Tindakan kekerasan pemeluk agama yang mengatasnamakan ajaran agama, bagi saya bisa juga ibarat rasa pahit dalam mereguk anggur melalui media cawan. Untuk mencari tahu sebab timbulnya rasa pahit, kita tidak hanya memeriksa apakah anggurnya pahit atau tidak. Tetapi juga, kita harus periksa cawan yang mewadahi anggur itu. Perlu adanya otokritik bagi umat Islam terhadap isi sumber ajarannya, Al Quran dan Hadist.
Itulah sikap beragama yang dewasa. Ketika kita memahami diri kita sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, namun kita juga bisa memilah-milih melalui olah pikir dan rasa terhadap kebutuhan kita untuk memiliki konsep ajaran hidup. Beragama secara dewasa adalah ketika kita sadar bahwa, kita berada dalam apitan ajaran yang toleran dan keras; yang berisi pesan perdamaian atau yang mengajarkan berperang ala Imam Samudra. Maka, selamatlah kita jika bisa mencegah potensi dan dampak negatif dari agama yang kita yakini. []
USEP HASAN SADIKIN