Monday, October 02, 2006

Melihat dan Mengakui Persamaan


Oleh Usep Hasan Sadikin

Banyak orang di dunia ini yang mengagumi Nelson Mandela karena keberhasilannya dalam mewujudkan rekonsiliasi Afrika Selatan sekitar tahun 1994. Menghancurkan politik Apartheid yang merupakan suatu kebijakan diskriminasi rasial yang menjadi rezim kekuasaan pada saat itu. Permasalahan ini diperlihatkan secara fisik dengan membeda-bedakan atau memisahkan sesama warga negara berdasarkan warna kulit, yaitu kulit hitam dengan kulit putih.

Tapi menurut saya, permasalahan yang diselesaikan Nelson Mandela pada saat itu terlalu sederhana jika dibandingkan dengan permasalahan yang ada di Indonesia (khususnya dalam kurun waktu belakangan ini). Masalah di Indonesia tidak hanya bagaimana mempersatukan dua perbedaaan tetapi bagaimana mempersatukan ratusan atau bahkan ribuan perbedaannya. Jika di Afrika Selatan hanya ada dua warna kulit, di Indonesia terdapat banyak warna kulit yang bisa dibedakan secara gradual. Dari putih, kuning, coklat sampai hitam. Terdapat juga belasan ribu (hampir dua puluh ribu) pulau disertai dengan ratusan bahkan ribuan suku, bahasa, budaya, tradisi, adat dan sebagainya. Egosentris terhadap paham kesukuan yang menganggap salah satunya lebih baik dari pada yang lainnya merupakan permasalahan klasik yang selalu muncul dalam kehidupan keberagaman di Indonesia.

Permasalahan tidak hanya terjadi pada bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural, sebagai bangsa yang beragama, Indonesia mengalami penurunan kepercayaan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya. Dampaknya adalah tidak terjalinnya kerjasama dalam membangun negara dan civil society. Selain itu juga di masing-masing agama diributkan dengan kleim kebenaran serta ketidakbenaran (kesesatan). Merasa diri atau kelompoknya yang benar sedangkan yang lainnya salah atau sesat.

Menurut hemat saya, semua itu bisa (sering) terjadi karena kita selalu dan terlalu melihat sisi perbedaan yang terdapat di antara kita. Sehingga kita mengalami kesulitan untuk bekerjasama dalam mengatasi berbagai macam permasalahan atau bahkan mungkin tidak mau bekerjasama karena tidak bisa mencocokan satu sama lain.

Kita tidak terbiasa melihat dan mengakui sisi persamaan yang kita miliki. Suatu persamaan berupa nilai yang diakui secara universal. Nilai yang bisa diterima oleh semua individu, kelompok, golongan, suku, agama, ras dan antar golongan.

Kita lupa bahwa kita ikatan kebangsaan, bahwa kita semua adalah satu bangsa dan satu tanah air, bangsa dan tanah air Indonesia. Bukankah dulu bangsa ini bisa berjuang bersama, karena kesadaran atas persamaan yang dimiliki. Persamaan nasib, persamaan aspirasi perjuangan dan persamaan atas musuh yang dihadapi (penjajahan), serta persamaan substansi tujuan yaitu kebebasan (kemerdekaan).

Dengan melihat dan mengakui adanya persamaan di antara kita, hal itu memudahkan bagi kita untuk bersatu. Ketika kelompok atau beberapa kelompok manusia dihadapkan dengan permasalahan yang sama maka semuanya akan bersatu untuk mencari pemecahan masalahnya, sehingga akan terjadi kerjasama di antara mereka.

Sekarang ini, kita lebih merasa dihadapkan kepada permasalahan kelompok-kelompok kecil yang berbeda. Di antara kelompok tersebut tidak lagi berkeinginan untuk bersatu, yang muncul adalah perasaan atau keyakinan kelompok yang berlebihan. Sehingga tidak menerima orang atau kelompok lain untuk ikut solider di kelompoknya yang dampaknya akan terbentuk sikap negatif dan sterotip terhadap orang lain atau kelompok lain (out group). Akibatnya terjadi saling serang dan menjatuhkan di antara kelompok-kelompok tersebut.

Mungkin ini juga dikarenakan oleh trend demokrasi yang diartikan sebagai bebas menentukan nasib sendiri, sehingga bermuatan perilaku, sikap, idealisme dan kepentingan fragmental di luar koridor kepentingan bangsa (nasional). Situasi seperti itu menyebabkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang memanipulasi logika demokrasi demi kepentingannya masing-masing.

Kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi pada sebelum kemerdekaan mempunyai tujuan yang jelas dan punya visi yang sama, yaitu untuk menghapuskan penjajahan menuju kemerdekaan. Lalu apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat kita setelah merdeka? Semua pasti akan menjawab mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan pembangunan.

Kita tahu bahwa, dalam mengisi kemerdekaan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi sangat penting dipergunakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan tersebut. Untuk itu, adanya perbedaan SARA janganlah menjadikan penghambat bagi pembangunan bangsa. Jadikan semua itu sebagai bentuk kekayaan bagi bangsa kita yang tak ternilai harganya. Jangan ada sikap primordialisme atau eksklusivisme di antara kita yang justru kontra produktif dan dapat memecah belah bangsa serta menghambat pembangunan wawasan kebangsaan Indonesia yang kuat.

Nilai-nilai dan ikatan kebangsaan yang kuat perlu dibangun dan dijaga bersama secara berkesinambungan agar paham multikultural nasionalisme tidak tergeser oleh multinaturalisme yang menjurus ke pemecahbelahan persatuan di Indonesia. Seharusnya kita yakin bahwa persatuan Indonesia tidak akan menghapus keanekaragaman dan bukan menciptakan keseragaman, melainkan melestarikan dan mengembangkan kebhinekaan.

Melihat dan mengakui persamaan di antara kita bukan berarti menyeragamkan, menghilangkan atau menafikan perbedaan (di luar persamaan) di antara kita, tetapi merupakan upaya mencari titik temu semua suku, agama, ras, antar golongan sehingga tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai penghalang tetapi menjadi ornamen-ornamen yang mampu bekerja sama secara sinergis dalam membangun, menjaga dan menjalankan nilai-nilai kebangsaan. []

Oktober 2005

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Kalian adalah orang bodoh berbahasa intelektual

Hendro

3:53 PM  
Anonymous Anonymous said...

Terimakasih atas tanggapannya.
BTW, Hendro mana ya? Saya kenal Hendro ga? Bisa kirim e-mail?

salam

Usep

11:50 PM  

Post a Comment

<< Home