Monday, October 02, 2006

Di Balik Kontroversi Revisi UU Ketenagakerjaan:

antara Pola Kebijakan Pengembangan Dunia Usaha dan Tuntutan Akan Perlindungan Hak-hak Kemanusiaan*
Oleh TAUFIK HIDAYAT

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Saat ini penduduk Indonesia diperkirakan lebih dari 220 juta jiwa. Pada dasarnya penduduk merupakan salah modal terpenting dalam pembangunan. Jumlah penduduk yang besar apabila dilatih dan dibina sehingga memiliki produktifitas yang tinggi dan menjadi sumber daya manusia yang handal akan menjadi modal dasar yang efektif dalam mengelola dan mencapai tujuan pembangunan. Artinya, disini terdapat kaitan yang sangat erat antara dunia ketenagakerjaan dengan aspek kependudukan yang kesemuanya diarahkan dalam mencapai tujuan pembangunan.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, besarnya jumlah penduduk justru menjadi masalah tersendiri. Hal ini berkaitan dengan tidak seimbangnya jumlah tenaga kerja (penduduk yang memerlukan pekerjaan) dengan daya serap tenaga kerja itu sendiri. Daya serap terhadap tenaga kerja sangat sedikit dibanding dengan banyaknya tenaga kerja. Masalah ini tidak lepas dari lemahnya daya serap ekonomi sebagai akibat dari ketidakarifan dalam mengelola pembangunan, ditambah rendahnya kualitas serta produktifitas tenaga kerja. Hal tersebut menjadikan masalah dalam dunia ketenagakerjaan begitu pelik. Belum lagi bila kita melihat bahwa dari struktur umur penduduk Indonesia sebagian besar merupakan kelompok yang membutuhkan pelayanan masyarakat, termasuk didalamnya lapangan pekerjaan. Krisis moneter yang menimpa Indonesia semakin menambah masalah karena jutaaan penduduk kembali menjadi penganguran. Peraturan yang diharapkan pun sampai saat ini belum dapat dibilang telah sampai pada titik dimana para pihak yang terkait dalam dunia ketenagakerjaan dapat menerima.

Berdasarkan dari apa yang diuraikan, dapat dilihat bahwa permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang tidak dapat dilihat hanya dari salah satu sudut pandang. Didalamnya sangat terkait dengan permasalahan, seperti ekonomi, hukum, sosial politik, budaya, serta dunia internasional. Artinya, permasalahan dalam dunia ketenagakerjaan sangatlah komprehensif.

Arus reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim Soeharto membawa konsekuensi akan adanya tuntutan perubahan dalam setiap bidang kehidupan, termasuk di dalamnya tuntutan akan pembaharuan hukum. Berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan, pembaharuan hukum tersebut tercermin dengan dikeluarkannya Undang-Undang no.13 Tahun 2003 tentang dunia ketenagakerjaan yang menggantikan Undang-Undang no.25 Tahun 1997. Lahirnya UU tersebut ketika itu menimbulkan beberapa kontroversi. Diduga pihak IMF bermain dalam merumuskan UU tersebut dan sangat berharap UU tersebut begitu berpihak pada kepentingan kaum pemilik modal, terutama bagi para pemilik modal yang berasal dari luar negeri. Namun, apa yang diharapkan oleh IMF ternyata tidak terealisasikan karena menurut mereka UU yang dilahirkan justru sangat begitu menguntungkan kaum pekerja.

Pada tahun 2005 di Aula FISIP UI, Depok, Tery L. Caraway, yang berasal dari Departement Of Political Science University of Minnesota, AS, memaparkan hasil risetnya atas putusan-putusan P4P selama 2 tahun sekaligus penelitian terhadap palaksanaan UU Ketenagakerjaan. Dari paparannya terungkap beberapa hal:
1. Dengan adanya UU tersebut, para pengurus SP/SB yang di PHK karena dituduh menggerakan mogok, diputuskan oleh P4P harus dipekerjakan kembali.
2. Para pekerja yang di PHK tanpa mendapatkan hak apapun dari perusahaan karena dinyatakan kontrak kerjanya habis, tetapi karena adanya aturan dalam UU mengenai PKWT, Outsourcing, hubungan kerja dengan Labour Supplier, maka putusan P4P mempekerjakan kembali mereka sebagai PKWTT atau mereka berhak atas uang pesangon sesuai dengan pasal 156.
3. Adanya kekecewaan IMF tehadap UU tersebut karena sangat memberikan proteksi yang begitu ketat kepada pekerja, terutama soal PKWT, outsourcing, labour supplier, mogok, sulitnya mem-PHK dan besarnya uang pesangon yang harus dibayar perusahaan.
4. Ketidakpuasan IMF ditindak lanjuti dengan mengirim konsep perubahan UU tersebut kepada BAPPENAS.

Dikalangan pekerja pun ketika itu terjadi perpecahan pendapat berkaitan dengan dikeluarkannya UU ketenagakerjaan. Pertama, kelompok pekerja yang menolak
adanya UU tersebut. Mereka menganggap bahwa UU tersebut sangat tidak berpihak kepada kaum pekerja. Kelompok inilah yang memang lebih terpublikasikan ketika itu. Belakangan diketahui bahwa aspirasi yang mereka kemukakan tidak lain merupakan perpanjangan kepentingan dari kalangan pengusaha, dan terutama IMF tentunya. Kedua, kelompok yang menerima UU tersebut dengan kesadaran pula bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam UU tersebut.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa saat ini terdapat dorongan yang begitu deras terhadap tuntutan perubahan UU ketenagakerjaan. Anehnya tuntutan tersebut justru tidak berasal dari salah satu anggota bipatride (pekerja ataupun pengusaha), tetapi dari pemerintah. Hal ini diungkapkan oleh para petinggi negara kita bahwa UU ketenagakerjaan yang saat ini berlaku sangat tidak berpihak pada kepentingan masuknya investasi di Indonesia. Tersiar kabar pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh adanya pertemuan antara SBY dengan para pengusaha Asia di Singapura, dan SBY disesak untuk merevisi UU tersebut (hal ini secara tidak sengaja terlontar dari mulut Menakertrans Erman Soeparno ketika terjadi pertemuan informal dengan para SP/SB di kantor PBNU).

Hal ini langsung menimbulkan reaksi terutama dikalangan pekerja. Mereka menolak keras adanya revisi tersebut dengan menggelar demonstrasi yang dilakukan secara stimultan di berbagai kota. Dikalangan pengusaha, hal ini direspon dengan menyiapkan draft revisi pendamping yang dikeluarkan pemerintah melalui BAPPENAS. Oleh karena begitu derasnya suara yang menolak akan revisi tersebut, maka pemerintah menarik draft revisi dan mengalihkan kebijakan dengan menggelar forum tripatride untuk membahas masalah revisi UU ketenagakerjaan.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari adanya revisi UU tersebut:
1. Menghapus larangan mempekerjakan TKA sebagai personalia dan memberikan kebebasan kepada TKA untuk menduduki jabatan seperti supervisor, foreman, dll (pasal 46) serta menghapus kewajiban untuk mengalihkan teknologi (pasal 49);
2. Menghapus kewajiban pengusaha memberikan perlindungan kesejahteraan kepada pekerja (pasal 35, 66, 79 ayat 2 huruf d, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 100, 150, 155 ayat 3);
3. Mengizinkan pengusaha membuat kerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, dengan masa kontrak bisa sampai 5 tahun dan jika tidak diperpanjang pekerja hanya diberikan santunan, dan jika PHK karena melanggar perjanjian kontrak pekerja wajib membayar ganti rugi sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya kontrak (pasal 59);
4. Membolehkan anak dibawah umur (15 tahun) menandatangani perjanjian kerja karena dianggap sudah cakap melakukan perbuatan hukum (pasal 68A) serta menghapus larangan mempekerjakan anak di bawah umur bersama-sama orang dewasa (pasal 72);
5. Menghilangkan pesangon bagi pekerja yang upahnya diatas PTKP, mengurangi besarnya pesangon dan menghilangkan hak penggantian perumahan 10% (pasal 156) serta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah dan hak-hak pekerja yang diskorsing dalam proses PHK (pasal 155 ayat 3).

Pada dasarnya perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, yang harus digaris bawahi adalah apa yang menjadi semangat dalam melakukan perubahan tersebut. Adanya intervensi pun merupakan salah satu bentuk dari sebuah interaksi sosial. Justru yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita masih begitu mudah untuk diintervensi. Diharapkan adanya perbaikan dalam dunia ketenagakerjaan dengan tidak berpaling bahwa paradigma suatu hukum ketenagakerjaan haruslah berpihak pada kepentingan para pekerja.

“Jangan Hanya Berpikir Tentang Keadilan Sosial, Tapi Berbuatlah Dengan Penuh Keadilan Sosial” []

* Pernah disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan Bidang Hukum dan HAM HMI cabang Depok Komisariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

TAUFIK HIDAYAT
Mahasiswa Fakultas Hukum UI;
Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi Universitas Indonesia (FKMB UI); Wasekum Hukum & HAM Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum UI

1 Comments:

Blogger RENALDY PERMANA said...

manteb ini.,.,.,
HMI juga ya...

gw juga HMI Kom UIJ cabang jakarta timur....
Kpn kita bisa diskusi2 bareng.,
kunjungin blogspot gw juga donk
renaldypermana.blogspot.com

3:25 AM  

Post a Comment

<< Home