Tuesday, October 03, 2006

Krisis Timur Tengah dan Paradoks Demokrasi Barat

Oleh ZACKY KHAIRUL UMAM

Gempuran dahsyat Israel sebulan lebih atas Lebanon sudah tak terkira. Israel terus melakukan serangan yang membabi buta terhadap Lebanon demi melumpuhkan Hezbollah. Bukan hanya kematian berserakan di mana-mana, kehidupan bahkan peradaban Lebanon telah mundur setengah abad ke belakang.

Negeri yang dulu identik dengan Swiss-nya Arab kini terisolasi dan sarat dengan suasana yang hancur dan tak teratur. Situasi politik Timur Tengah semakin memanas, sementara dunia menunggu kepastian aksi perdamaian dan gencatan senjata yang tidak kunjung datang.

Jika hanya karena ulah Hezbollah yang menangkap dua serdadu Israel yang dijadikan alasan kuat gempuran Israel sesungguhnya hanya dalih belaka. Israel di bawah PM Ehud Olmert, warisan politik Sharon, tidak ingin kemenangan Hamas (Harakat al-Muqawwama al-islamiyya) di Palestina berulang dengan semakin kuatnya pengaruh Hezbollah di Lebanon. Secara politik, munculnya kekuatan “baru” revivalisme politik Islam di beberapa negara Arab akan menjadi batu sandung Israel.

Munculnya fenomena revivalisme politik Islam disertai dengan instrumen brigade bersenjata, seperti Hezbollah dan seterusnya, secara faktual menjadi kekuatan perlawanan bagi rezim Israel yang “konservatif”. Itulah mengapa tindakan Israel selalu diamini Amerika Serikat (AS). AS justru malah mengambil sikap diam dan alot dalam membangun rezim perdamaian alternatif di forum internasional sekelas PBB. Interdependensi Israel-AS menjadi jelas sebagai sekutu hipokrit dalam Peace Road Map dan demokrasi, yang justru mereka dengungkan.

Hezbollah dan radikalisme (Islam)

Keinginan kuat Israel dan Barat (terutama AS) untuk menekan Hezbollah dan kekuatan radikalisme Islam, secara umum, harus dipertanyakan. Persoalannya, benarkah demokratisasi di Timur Tengah dibangun dengan cara-cara yang fair dan demokratis? Ataukah proyek demokratisasi Timur Tengah oleh AS membenarkan kepentingan pragmatis di kawasan itu? Di sini perlu dikritik lubang hitam demokrasi (liberal) yang dipaksakan, bukan kesadaran. Rezim the old one yang jumud dengan berlindung di balik retorika demokrasi sudah saatnya mendapat counter-hegemony secara mondial.

Politik internasional AS (dan Barat) yang ditopang oleh Israel di Timur Tengah untuk mereduksi radikalisme harus dibongkar ulang. Intervensi Barat di Timur Tengah yang ditandai dengan kuatnya pengaruh AS di Arab Saudi (House of Bush House of Saud, Craig Unger, 2004), Irak, Afghanistan, dan seterusnya semakin menguatkan banyak kalangan kritis-progresif untuk mempreteli retorika Barat.

Dalam perspektif eksistensi yang periferal, maka munculnya ideologi Islam radikal yang berupaya menjadi simbol perlawanan Barat hingga aksi bom bunuh diri dan ancaman serta aksi teror—selain perlawanan perang—harus dilihat dengan kacamata luas sebagai manifestasi politik identitas modern, ketimbang sebagai sebuah afirmasi terhadap budaya tradisional Islam. Ia sebuah format ideologi perlawanan yang lahir dari rahim modernitas yang timpang.

Maka, radikalisme Islam bukan sesuatu yang asing. Ia sama barunya sebagai ekses modern dan amat akrab dengan Barat sejak mulainya gerakan politik ekstrem. Fakta bahwa ini adalah modern tidak kemudian menjadi sesuatu yang tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana kemudian mencari akar persoalan dan solusi yang mungkin terhadap masalah tersebut.

Francis Fukuyama (Journal of Democracy, volume 17, April 2006) sependapat dengan sarjana Perancis terkemuka, Oliver Roy dalam bukunya Globalized Islam, bahwa radikal Islam kontemporer merupakan sebuah bentuk politik identitas. Akar radikalisme Islam bukanlah kultural, yaitu bukanlah sebuah produk dari ajaran Islam atau sistem budaya di mana agama ini lahir. Akan tetapi radikalisme ini muncul karena Islam menjadi terperdayakan/ lemah, dengan mengambil cara membuka kembali pertanyaan tentang identitas sebagai Muslim.

Jika logika radikalisme Islam dipahami sebagai produk politik identitas dan fenomena modern sebagaimana tesis Fukuyama, maka masalah radikalisme dan ideologi perlawanan terhadap Barat ialah reaksi atas lahirnya hegemoni dunia Barat yang timpang. Politik mondial dari rahim modernitas telah melahirkan posisi sentral untuk Barat dan periferal bagi “yang lain” (The Rest).

Untuk itu, masalah radikalisme dan terorisme Islam tidak akan dapat dipecahkan dengan membawa modernisasi dan demokrasi di Timur Tengah. Kabinet Bush memandang terorisme ini didorong oleh kurangnya demokrasi. Padahal, faktanya terdapat banyak teroris menjadi radikal di negara-negara demokratis Eropa. Sangat naif jika berpikir bahwa Islam radikal membenci Barat tanpa peduli dengan apa itu Barat.

Resep demokrasi bagi krisis Timur Tengah dengan demikian semakin memperkuat tudingan bahwa Barat punya agenda super-pragmatis di kawasan tersebut. Radikalisme, terorisme, dan ramalan musuh ciptaan Barat berikutnya di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya, sesungguhnya hanya dijadikan dalih di balik kepentingan politis Barat dengan agenda demokrasi yang sebenarnya semu.

“Endisme” yang pongah

Persoalan ini akan semakin terang ketika paradigma Barat sebagai pemegang otoritas peradaban terkini (super power) masih dipegang sebagai nubuat historis yang benar adanya. Yakni, paradigma yang berangkat dari klaim “endisme” (endism) bahwa Barat dan demokrasi liberal merupakan “akhir sejarah”, “akhir ideologi”, atau “akhir negara-bangsa”. Akhirnya Barat merasa superior untuk membangun imperium dunia, sementara “yang lain” harus taklid. Sehingga klaim ini menjadi justifikasi bagi “benturan peradaban” (clash of civilizations) Sungguh pongah!

Paradigma tersebut harus dikritik melalui keniscayaan pluralisme mondial yang saling melengkapi: bahwa realitas di luar dunia Barat merupakan komplemen bagi tata dunia yang berimbang dan berkeadilan, bukan saling menegasikan. Sehingga muncullah keniscayaan semacam oksidentalisme Muslim dengan semangat mengimbangi hegemoni Barat.

Konsekuensinya, demokrasi global untuk mereduksi illiberal democracy (Fareed Zakaria) bukan diwujudkan dalam panorama yang paradoks. Diplomasi transformatif Amerika model baru yang mengakui negara-negara lain (baca: Arab dan Islam) sebagai partership dalam membangun demokrasi global jangan hanya sekedar retorika untuk mengukuhkan unilateralisme dan fundamentalisme baru yang terselubung.

Kritik bagi demokrasi “gombal” gaya Barat melalui permisivisme politik mondial yakni demokrasi semu yang melahirkan embrio perlawanan di pelbagai negara. Lebih tepatnya, pemaksaan demokratisasi yang justru menimbulkan resistensi politik identitas atas kezaliman politik dan tirani (Barat). Oleh karena itu, tindakan semena-mena dengan menghalalkan segala cara untuk menggapai demokratisasi, seperti cara Israel menggempur Lebanon, adalah “biadab”. Sebab demokrasi meniscayakan keberadaban. Sampai kapan? []

Agustus 2006

Zacky Khairul Umam,
Mahasiswa Program Studi Arab, FIB UI

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

This comment has been removed by a blog administrator.

8:03 PM  

Post a Comment

<< Home