Tuesday, May 20, 2008

Absurditas Program ”Kelas Khusus”

Oleh Eki Ridlo Na'im

Saat ini, kita kembali disuguhkan oleh pemberitaan seputar dunia pendidikan kita yang ”aneh”. Kali ini mengenai adanya "kelas khusus". Kelas ini elit, sebagaimana namanya. Mengapa demikian? Karena, penerapan kelas ini didapat bagi mereka yang (orangtuanya) mampu secara finansial.

Jelas hal itu ”aneh”, karena merupakan aksioma bahwa, proses pendidikan seharusnya lebih menekankan pada sebuah capaian prestasi yang didasari oleh kemampuan dan keahlian. Pemberian pelajaran seharusnya diberikan secara merata tanpa adanya perbedaan pada status, prestise ataupun kedudukan sosial di masyarakat.

Salah satu kota di Indonesia yang menyelenggarakan "kelas khusus" di sekolah-sekolah adalah Pemerintah Kota Bekasi. Kelas khusus diterapkan di 14 sekolah (empat SD Negeri, lima SMP Negeri, empat SMA Negeri serta satu SMK). Kapasitas siswa per kelasnya di SD sebanyak 30 siswa, 40 siswa per kelas untuk SMP, dan rata-rata untuk SMA 120 siswa).

Mereka yang menerapkan dan menerima konsep "kelas khusus", beralasan bahwa, program tersebut akan lebih memberikan potensi pada anak peserta didik, terbina dengan maksimal. Program "kelas khusus" di sekolah akan membawa dampak positif terhadap anak didiknya dengan menerapkan kurikulum yang khusus. Padahal, dasar dari konsep "kelas khusus" tidak lain merupakan upaya sekolah untuk memaksimalkan kas perbendaharaan di sekolah.

Jelas, dengan adanya program "kelas khusus" ini, dunia pendidikan kita seolah menunjukkan disparitas sosialnya secara terbuka dan berhadapan dengan kenyataan pendidikan anak didik yang diterapkan. Kelas khusus akan memberikan dampak psikologis yang cukup besar pada anak didik yang tidak masuk dalam kategori anak kelas khusus di sekolahnya. Apalagi mereka yang berbeda kelas berada pada satu komunitas sekolah yang setiap hari bertemu dan bertatap muka pada lingkungan sekolahnya.

Selain itu, "kelas khusus" pun dikhawatirkan oleh banyak pihak karena akan terjadinya pungutan liar di luar biaya program yang ditetapkan di sekolah tersebut.

Apakah mungkin program tersebut benar-benar layak dimunculkan? Apakah tepat jika status sosial dan ekonomi rumah tangga orang tua anak didik yang berbeda latar belakang diimplementasikan secara bersamaan dalam ruang dan waktu pada masa pelajaran di sekolah?

Absurd

Fenomena yang terjadi di dunia pendidikan di negeri ini sungguh terasa absurd, dan akan membuat kita untuk mengerutkan dahi. Kebijakan pendidikan yang ada saat ini, terasa sungguh membuat orang tua yang berpenghasilan rendah akan merasa keberatan dan berat hati dengan adanya kebijakan ini. Mereka melihat kenyataan pendidikan kita semakin menciptakan kesenjangan sosial dalam memperoleh hak pendidikan bagi anak.

Secara realita, dunia pendidikan kita disuguhkan pada keadaan dan fakta absurd. Di satu sisi, Pemerintah sedang gencar-gencarnya berkonsentrasi untuk menggratiskan sekolah untuk anak, dengan program wajib belajar 9 tahun. Di sisi lain, terdapat sekolah-sekolah yang membuka program "kelas khusus", yang tidak lain adalah akan membuka pembiayaan sekolah kepada anak dengan biaya yang cukup mahal.

Orang tua bisa menerima adanya pembayaran uang masuk sekolah dengan nilai yang bervariatif, walaupun semua sepakat biaya pendidikan untuk masuk sekolah digratiskan. Akan tetapi pada kenyataannya, orang tua anak didik harus dibebani lagi dengan adanya pembelian seragam sekolah, uang buku paket, sumbangan sekolah di luar program sekolahnya dan hal lain sejenisnya (yang serupa tapi tak sama) dengan wujud ”uang pengembangan sekolah”.

Sebagian besar masyarakat Indonesia, hidup di bawah garis kemiskinan. Namun apakah karena status yang mereka miliki, mereka tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan? Secara hati nurani kita, tentu mengamini bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia, tanpa memandang simbol, status, SARA, dan kultur yang ada. Biaya yang cukup besar dan nilainya bervariatif di sekolah-sekolah akan membuat mereka berpikir ulang memasuki anaknya di bangku sekolah.

Maka sudah selayaknya semua pihak, untuk lebih meningkatkan perhatiannya kepada dunia pendidikan di negeri ini. Bangsa ini sangat menaruh harapan besar terhadap masa depan pembangunan negeri ini. Di tangan anak, keberadaan masa depan dipertaruhkan sebagai tulang punggung bangsa saat nanti. Bagaimana bangsa ini dapat maju dan beradab, sejajar dan dipandang hormat oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Maka dengan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan, berarti membangun masa depan ke arah yang lebih baik.

Refleksi

Membangun bangsa dengan pendidikan, akan berarti membangun jiwa dan raga manusia seutuhnya. Manusia akan lebih mudah dididik sejak dini, dengan anak sebagai investasi bangsa secara moral dan intelektual. Pendidikan membuat manusia akan cerdas dan berwawasan luas-intelek, dengan dibekali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita agaknya harus lebih berkaca, terutama berbicara tentang dunia pendidikan kita yang terasa absurd. Hidup memang absurd, tetapi bukan berarti kenyataan hidup yang selalu ingin membuat kita bergerak maju secara cerdas dan intelek, lantas bersusah diri dalam membina dan mengembangkan dunia pendidikan kita.

Semua berharap agar pendidikan di negeri ini, dapat merengkuh semua anak manusia memperoleh pendidikannya, secara formal maupun informal. Secara formal, lembaga-lembaga sekolah agar berbaik hati menerima mereka masuk sekolah bagi anak-anak dari para orang tua mereka yang tidak mencukupi secara finansial. Dan secara informal, pendidikan anak diluar sekolah, mampu membina dan menumbuhkembangkan potensi anak agar dirinya mempunyai eksistensi dan jati dirinya, layaknya seorang manusia dengan segala absurditasnya. []

Eki Ridlo Na'im

aktivis lintas batas

Aktivis Forum Angkatan Muda Peduli Pendidikan,

Tergabung dalam PSP.

Tinggal Di Serang

0 Comments:

Post a Comment

<< Home