Wednesday, September 12, 2007

Demokrasi Ala Indonesian Idol

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Beberapa tahun terakhir, hampir di setiap malam kita disuguhi acara televisi berupa referendum populer untuk memilih penyanyi terbaik dengan format pemilihan via sms. Salah satu dari acara tersebut bernama Indonesian Idol di RCTI. Indonesian Idol merupakan acara yang memperoleh lisensi dari acara di Amerika Serikat yang bernama American Idol. Seperti di negara asalnya, Indonesian Idol pun merupakan acara yang banyak ditonton oleh jutaan pasang mata pemirsa.

Jika Indonesian Idol bisa menjadi penyederhanaan demokrasi yang maknanya hanya sebatas pemilihan langsung yang ditentukan oleh kehendak mayoritas, menurut saya Indonesian Idol bisa dijadikan referensi yang baik bagi Indonesia yang sedang "belajar" berdemokrasi. Dalam Indonesian Idol terkandung nilai serta semangat dari demokrasi yang (bagi saya) baik dicontoh dalam proses pemilihan pemimpin negara, PEMILU atau proses pemilihan kepala daerah langsung, PILKADAL.

Kontestan independen
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam Indonesian Idol, semua orang bisa mendaftarkan diri menjadi kontestan. Tidak ada pembatasan yang diskriminatif. Semua yang merasa memiliki kemampuan menyanyi dan kepercayaan diri yang tinggi bisa mengikuti kompetisi ini. Proses penseleksian dengan sistem dan penjurian yang terbuka yang kemudian menentukan siapa yang layak menjadi kandidat pemenang merupakan salah satu nilai demokrasi di mana semua warga negara (yang memenuhi syarat) memiliki hak dipilih. Setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam berkompetisi. Dan setiap individu merupakan individu yang bebas, individu yang independen, individu yang tanpa disertai oleh unsur, pihak serta kepentingan lain.

Hal tersebut berbeda dengan yang berlaku di dalam PEMILU/ PILKADAL. Sistem perekrutan calon kandidat pemimpin PEMILU/ PILKADAL hanya mengenal mekanisme perekrutan melalui partai politik (Parpol). PEMILU/ PILKADAL belum menerapkan mekanisme perekrutan calon dari kalangan independen/ tidak lewat jalur Parpol. Padahal, mekanisme perekrutan calon dari kalangan independen lebih memungkinkan terbebas dari tarik-menarik kepentingan dari berbagai pihak.

Di samping itu, untuk mengoptimalkan hak mencalonkan dan hak dipilih beserta mengakomodir hak tersebut, dalam pemilihan pemimpin (negara/ daerah) secara langsung, perlu adanya asumsi bahwa masyarakat tidak lagi melihat dan memilih Parpol melainkan lebih melihat dan memilih figur dari calon kandidat. Saya yakin ada banyak calon pemimpin yang berkualitas yang layak mengikuti proses pemilihan yang kemudian bisa (terpilih) menjadi pemimpin. Sangat disayangkan jika hal ini harus dibatasi dengan mekanisme perekrutan melalui Parpol.

Tidak menjadikan ijazah sebagai persyaratan
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam Indonesian Idol semua orang bisa mendaftarkan diri sebagai kontestan. Artinya, persyaratan dalam Indonesian Idol tidak memberatkan siapa pun. Salah satunya dengan tidak adanya persyaratan pendidikan (formal) minimal. Siapa pun orangnya, entah Sarjana, lulusan SLTA, lulusan SLTP, lulusan SD, atau tidak pernah sekolah sekalipun, bukan merupakan hal penting. Yang penting adalah kualitas suaranya bagus dan menarik. Tidak peduli apakah calon pernah atau lulusan kursus olah vokal atau tidak.

Pada proses perekrutan calon dalam PEMILU/ PILKADAL, salah satu persyaratannya adalah ijazah pendidikan formal. Bagi saya ini merupakan pembatasan yang kurang substansial sifatnya. Karena, bukan berarti orang yang tidak memiliki ijazah formal tidak mempunyai pengetahuan yang luas serta tidak memiliki leadership skill. Sebaliknya, bukan berarti mereka yang gelarnya berderet pasti mempunyai pengetahuan yang luas serta mempunyai leadership skill. Paradigma gelar sebaiknya kita ganti menjadi paradigma kemampuan dan keahlian.

Di samping itu, gelar yang semula merupakan atribut penghargaan atas kemampuan, keahlian atau kinerja seseorang, kini telah berubah menjadi sebuah orientasi untuk mencapai posisi dan jabatan. Orang sekolah (secara asal) kemudian bergelar agar bisa mendapat posisi, naik jabatan, berubah status, berpenghasilan tinggi dan sebagainya. Bukan untuk menimba ilmu, membentuk kualitas pribadi berkemampuan dan berkeahlian yang bisa diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menjadikan persyaratan ijazah pendidikan formal sebagai manifestasi kualitas calon, bagi saya terlalu formalistik. Karena sebagaimana yang kita ketahui tidak sedikit tokoh nasional dan tokoh dunia yang tidak mengenyam pendidikan formal bisa menciptakan perubahan bagi negara mereka dan dunia ini. Bisa jadi karena banyaknya gelar pendidikan formal, seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya di intitusi pendidikan dibandingkan melakukan aksi nyata di masyarakat. Selain itu adanya persyaratan pendidikan formal sangat berpotensi munculnya pemalsuan, penipuan dan money politic dalam proses PEMILU/ PILKADAL. Belum lagi adanya praktek jual-beli gelar.

Sangat disayangkan jika ada seseorang yang telah banyak berkontribusi di masyarakat, memiliki jiwa sosial dan leadership skill yang tinggi serta berpengaruh dan dikenal di masyarakat, dibatasi hak berpolitiknya dengan adanya persyaratan pendidikan formal minimum. Biarlah masyarakat yang menyeleksi dan memilih siapa yang akan menjadi pemimpin negara/ daerah-nya. Mana yang (dianggapnya) berkualitas, apakah yang mempunyai gelar atau yang tidak bergelar.

Kedewasaan pemilih, pendidikan memilih dan pendidikan politik
Hal lain yang mencerminkan Indonesian Idol sebagai sebuah pemilihan yang demokratis adalah, para kontestan dipilih secara bebas (tidak diskriminatif) oleh para pemirsa (di studio dan di rumah) dengan cara yang jujur dan terbuka. Proses pemilihan dalam Indonesian Idol menggunakan asumsi bahwa pilihan pemirsa dengan suara terbanyak merupakan pilihan yang terbaik. Artinya, panitia Indonesian Idol percaya bahwa pemirsa bisa bersikap "cerdas" dalam memilih. Panitia percaya pemirsa adalah pemilih yang dewasa yang bisa menilai mana kontestan dengan kualitas suara serta penampilan yang baik dan mana yang buruk.

Tidak hanya itu saja, demokratisasi Indonesian Idol disertai dengan pendidikan memilih (vote education) bagi pemirsa, semacam panduan langsung dalam memilih. Ini diwujudkan dengan adanya juri yang kompeten di bidang tarik suara serta penampilan dan aksi panggung.

Kedua hal tersebut (beserta seleksi ketat yang dilakukan juri sebelum acara pemilihan) menjadikan kontestan yang terpilih sebagai pemenang dalam Indonesian Idol adalah pemenang yang memang memiliki kualitas suara dan penampilan yang luar biasa. Pemenang yang tidak hanya memiliki kemampuan bernyanyi tapi juga memiliki kemampuan menghibur. Itulah mengapa tidak ada yang meragukan/ memprotes kemenangan dan kemampuan dari seorang Joy/ Delon, Mike dan Ihsan atau (nanti) yang lainnya.

Keadaan itu belum tercipta dalam demokratisasi kita. Karena itu, sudah saatnya politik dijadikan sebagai diskursus publik. Salah satunya dengan menjadikan pendidikan politik yang berwawasan nasional dan lokal sebagai mata pelajaran di tingkat SLTA. Karena selain sudah merupakan usia memilih, siswa pada tingkat SLTA sudah bisa ditekankan pada pembelajaran yang sifatnya analisa. Siswa bisa aktif berdiskusi, berpendapat dan berwacana. Jika tiba waktunya siswa memperoleh hak memilih, siswa bisa tahu dan menentukan mana calon pemimpin negara/ daerah yang baik dan yang layak dipilih.

Ini sama halnya dengan pendidikan seni yang menjadi mata pelajaran kesenian di sekolah. Kita yang telah melewati pendidikan seni di sekolah, tentu setidaknya tahu mana (jenis) suara serta penampilan panggung yang bagus dan menarik. Menurut saya ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan cerdasnya pemirsa dalam memilih kontestan (penyanyi) terbaik di acara Indonesian Idol.

Politik belum menjadi diskursus publik yang baik. Masyarakat pada umumnya adalah pemilih yang belum "cerdas" dalam menentukan pilihannya. Keadaan seperti ini yang kemudian berpotensi menimbulkan money politic. Para (tim sukses) kandidat memanfaatkan kebingungan pemilih dengan penawaran imbalan jika memilih mereka.

Dalam konteks multi partai, pendidikan politik yang dilakukan oleh partai pun belum berjalan baik. Bagi saya partai-partai yang ada seperti sekte-sekte agama yang lebih mengedepankan simbol-simbol dan ajakan untuk masuk dan beramal kepada sektenya dibandingkan menawarkan dan memberikan nilai-nilai kehidupan. Partai-partai yang ada lebih sering menonjolkan atribut partainya serta mengajak untuk masuk dan berkontribusi untuk partainya (setidaknya memilih atau meyakini bahwa partai saya paling sempurna dan yang lainnya penuh kekurangan) dibandingkan memberikan pendidikan (pengetahuan dan pemahaman) (ber)politik.

Itulah mengapa, tidak salah jika ada (atau banyak) masyarakat yang apatis terhadap PEMILU/ PILKADAL. Partai sebagai elemen penting dalam demokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya -Bab IV Fungsi, Hak dan Kewajiban Partai Politik Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Masyarakat menjadi "muak" dengan kata politik. Politik diartikan sebagai sesuatu yang buruk dan kotor, janji-janji "surga" yang tidak tahu realisasi dan bentuknya seperti apa.

Dari hal tersebut kita dalam PEMILU/ PILKADAL membutuhkan lebih banyak yang berperan sebagaimana juri dalam pihak Indonesian Idol. Pihak yang bisa menilai secara objektif serta mengkritisi para calon pemimpin negara/ daerah. Pihak yang ahli dan kompeten di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum dan tata negara, atau bidang-bidang lainnya seperti bidang eksakta dan lingkungan hidup. Penilaian dan kritik mereka bisa dijadikan sebagai referensi dan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Di sinilah kemudian peran pers dan media yang bebas sebagai salah satu elemen penting dalam demokrasi berperan.

Untuk pemerintahan serta kondisi masyarakat yang lebih baik
PEMILU/ PILKADAL memang berbeda dengan Indonesian Idol. Proses menjadi pemimpin (negara/ daerah) tidak sama dan tidak semudah menjadi penyanyi idola. Menjadi pemimpin tidak hanya sebatas bagaimana memberikan kepercayaan terhadap masyarakat untuk memilih tetapi juga bagaimana kemudian membuktikan kepercayaan tersebut dengan rasa dan sikap yang bertanggung jawab. Jumlah suara pemilih dalam PEMILU/ PILKADAL tidak hanya sebagai legitimasi yang kuat dari terpilihnya seorang pemimpin tetapi juga merupakan kumpulan harapan-harapan menuju arah perbaikan dari masyarakat yang ditujukan kepada pemimpin yang mesti direalisasikan.

Semoga semangat dan nilai demokrasi dalam Indonesian Idol tersebut bisa menjadi pelajaran, inspirasi atau pun sesuatu yang bisa diadopsi dalam (proses) demokrasi kita. Semoga PEMILU/ PILKADAL saat ini merupakan sebuah bentuk pemilihan pemimpin yang belum "final", yang terus-menerus mengalami perubahan ke arah yang lebih baik untuk terciptanya pemerintahan serta kondisi masyarakat yang lebih baik. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas
penggemar musik yang belajar berdemokrasi

0 Comments:

Post a Comment

<< Home