Wednesday, September 12, 2007

Jilbab dalam Aturan Publik

Oleh USEP HASAN SADIKIN

Pelarangan jilbab terhadap perawat yang terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, Jawa Barat (Rakyat Merdeka, Selasa, 13 Februari 2007), menambah sejarah panjang permasalahan tindakan diskriminatif terhadap perempuan di Indonesia, khususnya bagi muslimah yang berjilbab. Buku Revolusi Jilbab yang ditulis oleh Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti mencatat dengan baik banyaknya kasus pelarangan jilbab di SMA Negeri di Indonesia pada tahun 1982-1991.

Di sisi lain, jilbab tidak hanya menjadi permasalahan dalam pelarangan pemakaiannya. Pada kurun waktu belakangan ini, kewajiban pemakaian jilbab yang diterapkan di ruang publik melalui aturan legal formal, juga menjadi permasalahan yang menarik perhatian banyak pihak. Perda-Perda (yang mengatur perempuan dalam berpakaian) yang diberlakukan di daerah Padang, Cianjur, Bulukumba, Pamekasan atau yang lainnya, adalah contoh pengaturannya.

Saya akan sedikit membahas letak kedua permasalahan pengaturan jilbab tersebut. Dan saya pun akan memberikan pendapat, bagaimana sebaiknya kita memandang jilbab dalam (aturan) ruang publik.

Aturan publik yang melarang perempuan berjilbab
Dahulu Pemerintahan Orde Baru (Rezim ORBA) yang seringkali mencurigai Islam, menganggap kemunculan jilbab ini sebagai wujud gerakan (ideologi) politik yang oposan/ berseberangan terhadap pemerintah. Islam sebagai potensi disintegerasi bangsa dan ancaman stabilitas negara. Oleh sebab itu tidak heran bila kemudian terjadi konflik antara pelajar berjilbab dan pemerintah. Pemerintah di sini memainkan peran sebagai pihak yang kontra perubahan, sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk terus menghalang-halangi siswi-siswi di sekolah negeri yang memakai jilbab -Revolusi Jilbab; Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti.

Yang ditentang pada saat itu lebih tepatnya bukan sekedar jilbab, melainkan keseluruhan nilai-nilai "Islam politik" yang diyakini ada dibalik jilbab itu. Jilbab ditentang karena jilbab merupakan wujud fisik yang bisa dihalangi oleh sebuah peraturan. Mengingat membuat peraturan untuk membatasi nilai-nilai yang bersifat abstrak adalah sesuatu yang sulit.

Jelas ini merupakan politik kepentingan Rezim ORBA yang nyaman dan senang dengan kekuasaan, dan juga disertai kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan yang dimilikinya. Sehingga kebijakan dalam bentuk aturannya kerap kali menutup hal-hal yang memungkinkan akan menumbangkan (kekuasaan) Rezim ORBA.

Hal ini mendapat pembenaran dari sejarah kasus-kasus "pemberontakan" yang terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam yang ingin mendirikan Negara Islam, dengan syariat islam yang akan menggantikan Pancasila. Dengan hal ini jilbab dikaitkan sebagai wujud (fisik) nyata embrio pemberontakan, sehingga jilbab dilarang. Mereka yang berjilbab dipaksa melepaskan jilbabnya dengan ancaman sanksi.

Tumbangnya Rezim ORBA, meletusnya reformasi, dan diusungnya demokrasi menjadikan pelarangan jilbab di dalam ruang publik bisa dikikis. Perempuan bisa bebas mengenakan jilbab. Dan jilbab pun semakin banyak kita temukan dalam keseharian kehidupan kita.

Namun adanya pelarangan berjilbab terhadap perawat yang terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, yang disebutkan di awal tulisan ini, menandakan masih mengakarnya budaya pemaksaan kehendak. Selain atas dasar (politik) kepentingan kelompok, hal-hal lain pun dijadikan dasar pemaksaan kehendak dalam melarang berjilbab. Masih ditemukan lembaga/ perusahaan swasta yang melarang jilbab atas dasar penyeragaman dan estetika.

Kita memang masih belajar berdemokrasi. Sehingga pengakuan dan penghormatan atas hak-hak individu masih belum (sepenuhnya) terlaksana. Jelas, pelarangan berjilbab dalam sebuah lembaga sebagai bagian dari ruang publik merupakan intervensi terhadap hak individu dalam berkeyakinan. Bentuk pelanggaran HAM. Bentuk kezaliman.

Aturan publik yang mewajibkan perempuan berjilbab
Tumbangnya Rezim ORBA, meletusnya reformasi, dan diusungnya demokrasi melahirkan iklim kebebasan dalam berbicara, berpendapat, berserikat dan berkumpul beserta bentuk kebebasan lainnya. Bahkan kita sulit, membedakan mana yang bebas dan mana yang liar.

Salah satu buah kebebasan tersebut adalah lahirnya tuntutan otonomi daerah. Masing-masing pemerintahan daerah diberikan (lebih dari sebelumnya) kebebasan membangun dan mengembangkan daerahnya. Lahirlah kebijakan-kebijakan baru di masing-masing daerah. Salah satunya dalam bentuk Peraturan Derah (Perda).

Di antara Perda-Perda tersebut, ada Perda di beberapa daerah yang mengatur pakaian perempuan. Dalam beberapa Perda itu dikatakan bahwa perempuan harus menggunakan busana muslimah, yang dimaksud adalah jilbab. Padang, Cianjur, Bulukumba, Pamekasan adalah contoh daerah yang menerapkan aturan berjilbab.

Pertanyaannya, apakah aturan berjilbab tersebut merupakan aspirasi dari mayoritas masyarakat khususnya perempuan di daerahnya? Jika iya, apakah masyarakat yang tidak menginkan diberlakukan aturan berjilbab bisa menerima dan mau menjadi bagian dari masyarakat yang melaksanakan/ mematuhi aturan berjilbab? Apakah dalam pengajuan dan perumusan aturan berjilbab tersebut melibatkan pihak perempuan dari berbagai macam kalangan atau pihak?

Saya tidak mengetahui keadaan pasti di masing-masing daerah, yang dalam tulisan ini bisa dijadikan acuan untuk jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi coba bayangkan dengan pikiran dan perasaan kita, jika kita menjadi (perempuan) yang tidak setuju dengan aturan itu, atau jika memiliki pandangan bahwa jilbab bukan merupakan pakaian yang harus dikenakan, lalu kita terpaksa atau dipaksa untuk memakai jilbab. Bagaimana pikiran dan perasaan kita?

Bagi saya itu merupakan bentuk intervensi sewenang-wenang terhadap diri individu. Pemaksaan penggunaan jilbab bagi saya sama zalimnya dengan pelarangan penggunaan jilbab. Ini pun merupakan pelanggaran terhadap hak individu. Bentuk pelanggaran HAM. Sekali lagi, bentuk kezaliman.

Pemaksaan penggunaan jilbab di ruang publik tampaknya merupakan sikap yang lahir dari pandangan dengan logika yang berasumsi bahwa, semua orang meyakini bahwa jilbab adalah satu-satunya pakaian wajib untuk perempuan. Dan permasalahan tidak berjilbab adalah permasalahan ketidaksiapan untuk berjilbab. Karena tidak siap (tapi meyakini wajib), ya harus dipaksa atau perlu adanya paksaan berupa aturan publik.

Jelas itu tidak bijak. Saya rasa kita semua setuju jika kesopanan dalam berpakaian adalah hal yang penting. Tetapi kalau itu direpresentasikan kepada suatu bentuk pakaian tertentu yang kemudian menolak bentuk-bentuk pakaian lain disertai pemaksaan dalam penerapannya, saya kira itu tidak benar. Karena menurut saya semua hal yang dipaksakan adalah bertentangan dengan ajaran kemanusiaan, esensi dari ajaran Islam itu sendiri. Ajaran agama itu harus dijalankan dengan suka rela, jangan dipaksakan. Kalau sudah dibikin peraturan, berarti di sana ada pemaksaan. Tidak bijak jika berjilbab dipaksakan kepada semua perempuan.

Dalam konteks pemberlakuan aturan pada otonomi daerah, bukankah Perda yang akan dikembangkan di setiap wilayah, seharusnya juga menyertakan perempuan untuk berbicara? Bukankah Perda seharusnya lahir dari aspirasi dan partisipasi mereka? Karena menurut saya esensi dari otonomi daerah adalah bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat sebanyak mungkin. Dan ketika kita berbicara masyarakat, jangan lupa bahwa separuh di antaranya adalah perempuan.

Penutup
Dari kedua permasalahan aturan jilbab ini, tampaknya kita harus berpikir "jernih". Tepatkah jika berjilbab/ tidaknya perempuan harus diatur dalam aturan legal formal? Tepatkah aturan publik harus mengatur pemakaian dan pelarangan jilbab, yang mana jika melanggar akan dikenakan sanksi skorsing, denda atau penjara?

Bagi saya tidak tepat. Sebaiknya jilbab kita letakan pada konteks hak asasi individu. Biarkan jilbab menjadi "aturan" yang ada di ruang privat masing-masing individu yang referensinya dia dapat dari ajaran dan nilai-nilai yang ada di ruang publik. Biarkan masing-masing individu mempunyai pandangannya sendiri mengenai jilbab. Yang kemudian pandangan ini menjadi ekspresi (nyata) dalam pengenaan pakaian jilbab. Entah itu berjilbab sebagai kewajiban dalam menjalankan agama, atau berjilbab sebagai salah satu pilihan berpakaian yang terkait dengan kondisi, tempat dan waktu.

Janganlah hak asasi individu (yang bersifat privat) ini dinafikan dan dikorbankan atas nama kepentingan kelompok/ kepentingan ideologi politik yang dikemas dengan sebuah (jargon) cita-cita bersama. Berjilbab atau tidak berjilbab adalah hal yang sebaiknya terlepas dari tekanan, intervensi dan ancaman dari luar, apalagi berupa aturan publik. Karena berjilbab atau tidak, yang mengatur adalah individu atas dasar keyakinannya, bukan aturan publik. []

USEP HASAN SADIKIN
koordinator Forum Lintas Batas

0 Comments:

Post a Comment

<< Home