Sunday, December 23, 2007

Tuhan dalam Alam Pikir Manusia

Oleh HARRY BAWONO

Karen Amstrong, seorang pakar religious studies, dalam salah satu karyanya yang fenomenal, History of God, melukiskan bahwa Tuhan dalam perjalanan sejarah umat mesti dibaca dengan memperhatikan konsepsi-konsepsi yang dinisbatkan manusia pada diri-Nya.
Konsepsi-konsepsi ini tak lain tak bukan adalah upaya manusia dalam memahami sosok yang serba misterius ini. Armstrong sendiri melacak melalui garis historis tradisi keagamaan ibrahimistik yang bercorak monotheistik. Dalam uraiannya Armstrong berbicara perihal perkembangan konsep mengenai Tuhan dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam. Guna menambah kaya guratan analisanya, Armstrong tidak lupa mengangkat konsepsi-konsepsi Tuhan versi para filsuf, reformer dan kaum mistik.
Dari sini lantas Armstrong mengkontraskan dan coba menerjemahkan Tuhan dalam konteks kekinian. Dalam pandangannya, Tuhan yang selama ini digambarkan sebagai sosok personal sudah tidak relevan lagi. Tuhan yang meski dijelaskan melalui logika nalar manusia. Yang mungkin dan jauh lebih relevan adalah ketika Tuhan dalam konteks dunia yang semakin absurd ini dipandang sebagi Tuhan yang mistycal. Tuhan yang tidak lagi dipandang sebagi sesuatu wujud yang lain, yang mesti ditundukan pada dalil-dalil rasionalitas. Namun, Ia adalah wujud yang subyektif yang hadir melalui imajinasi, penuh dengan misteri dan tak terlukiskan.
Dan tampaknya pandangan Armstrong terkait dengan Tuhan yang mystical ini tengah bersambut. Futurolog John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 mengungkapkan bahwa tengah terjadi sebuah perubahan besar yang melanda dunia Barat, khususnya Amerika Utara, yakni mulai muncul “kemuakan” terhadap insitusi agama formal, yang justru bergeliat adalah gelombang spiritual yang enggan diidentikan dengan formalitas agama tertentu. Slogan yang mengawal fenomena ini adalah spirituality yes, organized religion no!
Kelompok yang larut dalam gelombang spiritualitas sini biasa disebut sebagai the new age. Salah satu landasan yang di pegang oleh para new ager (penganut new age) adalah kesadaran akan ultimate reality sebagai satu-satunya realitas yang eksis. Agama-agama, yang selama ini menjadi salah satu tembok demarkasi terkuat, tak lain hanyalah sebuah jalan-jalan menuju kepada ultimate reality.
Disinilah Tuhan tak lagi dipahami sebagai sesuatu yang eksklusif yang hanya dimonopoli oleh jalur agama formal. Tuhan diwujudkan sebagai sosok esoteris yang emoh pada jubah formalitas agama. Tuhan dalam pandangan para new ager merupakan sosok cair yang terbuka bagi siapa pun. Misteri terdalam yang tak lekang dan terjamah oleh nalar kerdil manusia, yang hidup secara nyata dalam pengalaman-pengalaman spiritual individual.
Nah, untuk melihat lebih jauh perihal konsepsi Tuhan, dalam tulisan ini penulisan akan melihat konsepsi-konsepsi manusia perihal Tuhan yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kutub; Tuhan transenden dan Tuhan imanen.
Dari dua kutub konsepsi mengenai Tuhan ini lantas penulis menariknya pada tataran pengalaman guna memberikan gambaran konkret perihal konsep Tuhan, dengan mengacu pada kerangka Peter L. Berger, pengalaman manusia atas Tuhan paling tidak dapat direduksi dalam dua kategori; konfrontasi dan interioritas.

Tuhan Transenden & Pengalaman Konfrontasi
Tuhan transenden dibayangkan sebagai Tuhan yang mengatasi atau melampaui alam raya. Implementasi dari konsepsi ini antara lain paham penciptaan. Tuhan sebagai pencipta alam raya tidak memiliki ketergantungan pada segala ciptaan-Nya. Tuhan telah hadir sebelum alam raya terbentuk.
Disinilah Tuhan dipandang sebagai sosok personal yang seutuhnya digambarkan sebagai sosok yang berpengetahuan, berkemauan, memperhatikan bangsa-Nya, membimbing manusia, bahkan setiap orang secara pribadi. Relasi yang berlangsung antara Tuhan dan manusia bersifat dialogal. Kepasrahan penuh dengan hormat kepada Tuhan menjadi capain tertinggi bagi manusia dalam menghayati Tuhan transenden yang personal ini.
Tuhan transenden ini biasanya dinisbahkan pada tradisi agama-agama Asia Barat, khususnya iman ibrahimistik (Yahudi, Kristen dan Islam). Pesona Tuhan yang transenden ini memiliki tiga ciri pokok:
Pertama, unsur personal. Tuhan mengikatkan dirinya dan mengutus seseorang untuk menerjemahkan pesan-Nya guna mewujud sebagai bentuk penyelematan. Secara personal Tuhan memilih orang dan bangsa tertentu dan berdialog dengannya.
Kedua, pengakuan terhadap satu-satunya Tuhan. Dalam iman Yahudi, Yahweh menjadi satu-satunya Tuhan maha kuasa yang tidak memerlukan ilah lainnya. Begitupun dalam Islam dan Kristen, Allah menjadi satu-satunya penguasa yang memungkinkan segala hal dalam dunia ini terjadi.
Ketiga, Tuhan bertahta di atas langit dan bumi, Ia tidak menjadi bagian darinya. Ia tidak terurai ke dalam alam raya, melainkan ia yang menciptakan langit dan bumi.
Tuhan transenden ini mewujud dalam pengalaman manusia secara konfrontasi. Konfrontasi ini sendiri dimaksudkan bahwa Tuhan dialami sebagai sebuah realitas eksternal yang acapkali dianggap mengancam dan mengerangkeng kesadaran individu. Dalam pengalaman ini Tuhan hanya berhubungan dengan manusia dari luar dunia. Dapat dilihat misalnya; ketika Nabi Musa menerima firman dengan berbicara langsung dengan Tuhan; Paulus yang menemui Kristus yang dibangkitkan dalam perjalanan menuju Damskus; Nabi Muhammad saw ketika menerima wahyu di Goa Hira atau ketika beliau berbicara secara langsung kepada Allah pada saat isra miraj.

Tuhan Imanen & Pengalaman Interioritas
Jauh berbeda dengan Tuhan transenden yang mengatasi dan melampaui alam raya, Tuhan imanen justru dikonsepkan sebagai Tuhan yang menyerapi alam. Antara Tuhan dan alam tidak terdapat garis demarkasi yang ketat. Tuhan sebagai sumber awal secara dinamis menyerap dalam keseluruhan aspek dalam alam raya.
Tuhan imanen biasa dikaitkan kepada tradisi iman Asia Selatan dan Timur. Dalam tradisi iman Asia Selatan dan Timur yang memandang Tuhan sebagai sesuatu yang imanen, terdapat satu prinsip dasar, Brahman. Kemajemukan yang ada dalam semesta hanyalah maya, karena Brahmann-lah satu-satunya realitas. Brahmann memancarkan diri ke dalam alam semesta sampai ke kehidupan mikro di sekitar manusia. Realitas yang banyak, dewa-dewi, roh-roh, lalu manusia dan alam raya, merupakan emanasi (aliran dari zat satu yang menjadi dasar segalanya). Yang ilahi mengalirkan atau menjabarkan diri menjadi kenyataan majemuk. Alam raya, termasuk manusia merupakan eksteriorisasi zat ilahi. Dalam semadi, orang seakan-akan kembali ke asal-usul, meskipun zat itu sendiri, Brahmann, tidak dapat tercapai. Karena segala-galanya adalah satu. Pandangan seperti ini juga dikenal sebagai monisme.
Tuhan yang imanen masuk ke pengalaman dalam bentuk interioritas. Interioritas merujuk pada bentuk pengalaman tentang Tuhan, ketika Tuhan dan lebih luas lagi obyek pengalaman relijius lainnya, dipandang atau dipercaya bisa ditemukan di kedalaman kesadaran individu itu sendiri. Dalam interioritas, mistisme menjadi jalan batin menuju ilahi atau realitas mutlak. Dapat dilihat misalnya pencerahan yang dialami oleh Sang Budha. Pada tradisi Hindu terungkap dalam Vishnu Purana ayat 18; ...Dia menerima-Ku semata sebagai tujuannya yang tertinggi. Oleh karenanya, tanpa dia, aku tidak bisa menopang diriku-Ku sendiri. Oleh karenanya, sesungguhnya dia adalah diri-Ku.

Hibriditas
Dalam kenyataanya, konsepsi antara Tuhan transenden dan Tuhan imanen tidak dapat dipandang sebagai oposisi biner, yang memiliki kejelasan batasan secara ketat. Begitupun dengan pengalaman yang bersifat konfrontasi dan interioritas, apalagi hanya dibekukan seakan-akan tradisi iman Barat mutlak bersifat konfrontasi dan Iman Timur bersifat interioritas. Terdapat hibdritas dalam pemaknaan akan Tuhan yang transenden dan imanen. Begitupun dengan pengalaman, antara yang konfrontasi dan interioritas.
Transendensi dan imanensi Tuhan selalu bersamaan. Karena Tuhan sama sekali transenden, Tuhan juga sama sekali imanen. Atau dengan kata lain, Tuhan itu, sebagai Yang transenden, di mana-mana tidak ada, dan sekaligus, Yang imanen, di mana-mana ada. Tuhan itu di mana pun tidak dapat ditemukan sebagai salah satu obyek atau salah satu unsur, akan tetapi di mana pun Ia dapat ditemukan sebagia dasarnya.
Contoh konkrit, dalam ajaran Hindu yang menganut Tuhan Imanen, juga memiliki pandangan tentang transendensi (personal), seperti misalnya agama bhakti di mana cinta kasih kepada Krisna merupakan intinya.
Terkait dengan pengalaman, relasi antara Tuhan dan manusia, antara konfrontasi dan interioritas pun saling bercampur. Dalam tradisi Islam, dimana monotheisme yang merujuk pada transendensi Tuhan yang bercorak konfrontasi, dalam salah satu wajahnya mengenal tradisi imanensi yang bercorak interioritas melalui jalur mistisme yang erat kaitannya dengan kalangan sufi. Misalnya saja, (contoh ekstrim) ajaran syech siti jenar mengenai manungaling kawula gusti. Begitupun dengan Kristen, terutama dalam tradisi gnosis Kristen awal sebagaimana tercatat dalam Injil (apokrif) Thomas Sang Pendebat; ....”Orang yang mengenal dirinya”. Karena orang siapapun yang tidak mengenal dirinya berarti tidak mengetahui apa pun, tetapi ia yang mengenal dirinya pada saat yang sama telah mencapai pengetahun tentang kedalaman segala hal (Thomas Sang Pendebat 138: 7-18).
Dari sini terlihat jelas, bahwa konsepsi mengenai Tuhan transenden dan Tuhan imanen, pengalaman konfrontasi dan interioritas bukanlah merupakan konsep yang saling tertutup dan mengecualikan antara satu dengan lainnya. Melainkan bersifat hibrid dengan penekanannya pada lingkup-lingkup tertentu dengan kekhasannya masing-masing.

Kesimpulan
Uraian mengenai konsepsi-konsepsi mengenai Tuhan pada dasarnya hanyalah sekedar sebuah konsep sebagai bentuk upaya manusia mengenal Tuhan-Nya. Penting kiranya untuk merujuk pendapat tokoh sufi ternama, Jalaludin Rumi. Rumi menandaskan, dengan mengrikitik pandangan-pandangan yang meredusir Tuhan pada logika nalar, bahwa Tuhan diketahui melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Para Sufi tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Tidak jauh berbeda, dalam tradisi Yahudi pun dikemukakan bahwa Ketika Nabi Musa melihat semak-semak yang menyala di Gunung Sinai, yang pada dasarnya merupakan bentuk ”penampakan” Tuhan kepada Musa. Kemudian, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya dan Tuhan menjawab:
"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be").
Dari jawaban ini dapat ditafsirkan bahwa Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai sesuatu yang tidak dapat begitu saja dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan memperingatkan Musa untuk tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.
Ibn al-'Arabi berpandangan bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Ibn al-'Arabi berujar bahwa, Barangsiapa yang membebaskan-Nya dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya.
Namun, perlu disadari, sebagai manusia tampaknya konsepsi-konsepsi tentang Tuhan merupakan hal yang tak bisa lepas dari sosok seorang manusia. Bahkan mengajukan sebuah pemahaman bahwa Tuhan itu adalah hal yang tak terdefinisi tak lain merupakan bentuk pendefenisian dan konsepsi atas Tuhan. Karena memang begitulah manusia, makhluk yang tak pernah bisa lepas dari simbol-simbol, lambang-lambang, dan konsepsi-konsepsi. []

HARRY BAWONO
Mahasiswa Sosiologi UI

Referensi:
v Armstrong, Karen, A History of God, http://esnips.com/web/ebooks4u
v Berger, Peter. L, The Other Side of God, Alih bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2005.
v Adian, Donny Gahral, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
v Naisbit, John and Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Megatrends ltd, 1990.
v Noer, Kautsar Azhari, Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya, artikel dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
v Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Diskusi di alam terbuka asyik juga ya...

1:00 AM  
Blogger @usephasans said...

Asyik Han. Tapi jangan Djohan kotori udara alam terbuka itu dengan asap rokok.

7:37 AM  

Post a Comment

<< Home