Saturday, April 12, 2008

Kontroversi ”Fitna” dalam Perspektif Islam Phobia

Oleh Rimas Kautsar

Melihat perkembangan isu mengenai diputarnya film Fitna melalui internet dan disutradarai oleh Geert Wilders, seorang anggota parlemen Belanda, banyak orang yang menyayangkan bentuk provokasi yang Wilders lakukan karena sikapnya yang Islam phobia. Ketakutannya yang berlebihan ini muncul karena ia menganggap bahwa Islam merupakan agama intoleran dan mengancam keberadaan peradaban Eropa yang ia simbolkan dengan freedom (kebebasan). Sikap Geert Wilders provokatif dan menghasut (menebar kebencian) ini dikecam oleh tidak hanya kalangan Islam namun juga oleh kalangan non-Islam, seperti Perdana Menteri Belanda Jan Pieter Balkenende, bahkan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Sungguh menarik melihat permasalahan ini karena ternyata di Eropa sendiri Islam dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kekuatan yang akan bangkit dan mengancam Eropa.

Islam Phobia Geert Wilders lahir karena ia takut bahwa perkembangan Islam saat ini akan mengancam peradaban Eropa ditambah adanya persepsi salah yang ia anut bahwa Islam adalah agama intoleran.

Kebangkitan Islam meskipun terlihat berjalan dengan tertatih-tatih saat ini oleh sebagian kalangan Eropa dianggap sebagai suatu keniscayaan, namun persepsi negatif bahwa hal ini akan mengancam peradaban Eropa adalah hal yang perlu dipertanyakan kembali. Karena, apabila kita menengok ke belakang pada zaman abad kegelapan Eropa, Eropa mengalami penderitaan. Peradaban Eropa tidak berkembang terutama di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan, sehingga rakyatnya mengalami penindasan oleh pihak penguasa dan kemalangan karena dilanda berbagai musibah, seperti wabah penyakit dan kelaparan.

Di lain pihak, terdapat peradaban Islam yang berkembang. Salah satunya adalah Granada yang berada di jazirah Spanyol yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan kala itu. Pada masa itu pula banyak mahasiswa di universitas-universitas Granada adalah orang-orang Eropa sendiri, sehingga cendikiawan Islam kala itu seperti Ibnu Rusd (Averos), Ibnu Sina (Avicena), Al Jabar dan lain sebagainya adalah sarjana-sarjana Islam yang tidak asing di telinga mereka.

Pada saat peradaban Islam mengalami kemunduran, para sarjana-sarjana Eropa menerapkan ajaran-ajaran para sarjana Islam guna menginspirasi renaissans atau abad kebangkitan di Eropa.

Dengan melihat fakta sejarah ini, maka dapat dikatakan bahwa adalah tidak beralasan jika Islam akan mengancam peradaban Eropa bahkan sebaliknya Islam telah membawa pengaruh positif terhadap kemajuan peradaban Eropa.

Mengenai persepsi Islam sebagai agama intoleran dan bersikap destruktif hal ini dikarenakan Geert Wilders tidak melihat Islam secara utuh. Jelas bahwa, ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap toleran (QS.109/6) dan menjauhi sikap yang destruktif (QS.7/74). Bahkan, persepsi itu dengan adanya film Fitna ditengarai sebagai bentuk provokasi kepada umat Islam agar terpancing untuk bersikap emosional, sehingga bertindak destruktif, yang selanjutnya dapat dijadikan alat legitimasi bagi adanya persepsi Islam sebagai agama intoleran dan cenderung kepada kekerasan. Sedangkan di sisi lain ia menggunakan argumen bahwa perbuatannya adalah sah karena itu merupakan suatu bentuk kebebasan berekspresi, hal ini adalah sebuah strategi jebakan yang patut diwaspadai oleh umat Islam.

Meskipun demikian bukan berarti umat Islam harus bersikap pasif dalam menangani permasalahan yang dihadapi. Umat Islam dituntut untuk responsif dalam bersikap sehingga menunjukkan adanya kewibawaan dan kepedulian terhadap masalah tersebut. Namun perlu diingat setiap langkah yang diambil untuk menyikapi permasalahan ini haruslah memperhatikan aturan-aturan hukum yang berlaku (baik hukum nasional yang berlaku di mana umat Islam tersebut berada maupun hukum Internasional) serta menghindarkan diri dari tindakan yang bersifat anarkhis dan destruktif sebagaimana cerminan dari ajaran Islam itu sendiri.

Harus ada dua pendekatan guna menangani persoalan ini, yang pertama pendekatan Government (G) to Government (G), yakni Pemerintah negara-negara muslim (termasuk di dalamnya Indonesia) harus bersikap responsif menyikapi masalah ini dengan sekuat tenaga secara kompak dan bersama-sama menggunakan seluruh kemampuan diplomatiknya terhadap Pemerintah Belanda dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hukum Internasional. Yang kedua, pendekatan People (P) to People (P), hal ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh umat Islam di negara-negara Islam dan mayoritas beragama Islam melainkan juga dapat dilakukan oleh umat Islam di negara-negara yang mayoritasnya adalah non-muslim. Sebagai contoh di antarnya adalah negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, di mana meskipun secara presentase adalah minoritas namun secara jumlah cukup besar. Amerika Serikat misalnya, penduduk yang beragama Islam diperkirakan berjumlah 6 (enam) juta orang dan konon kabarnya seiring dengan berjalannya waktu terus bertambah. Jumlah ini bisa jadi lebih banyak dari jumlah penduduk negara-negara Arab Islam yang memliki jumlah penduduk sedikit seperti Kuwait. Umat Islam dapat melakukan suatu aksi berupa tindakan counter opini terhadap persepsi yang salah mengenai ajaran Islam, sehingga masyarakat non-muslim memperoleh gambaran yang utuh mengenai Islam. Hal ini juga harus secara kompak dan bersama-sama dilakukan dengan memperhatikan hukum yang berlaku sehingga umat Islam tidak terjebak pada perilaku anarkis dan destruktif. Etika-etika dalam berdakwah bisa dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam melakukan counter opini.

Bagi umat Islam yang berada di Belanda, sangat dianjurkan untuk dapat melihat masalah ini secara jernih dengan perspektif hukum pidana. Apa yang diperbuat oleh Geert Wilders dengan melaporkan hal ini kepada pihak Kepolisian Belanda dengan alasan bahwa film Fitna yang dibuat oleh Geert Wilders adalah perbuatan pidana berupa haatzaaien (menyebarkan kebencian) sebagaimana diungkapkan oleh advokat top Belanda Gerard Spong (detik.com/2008/03/28). Dengan demikian ia dapat diadili di depan pengadilan sesuai hukum yang berlaku.

Patut diingat bahwa kebangkitan umat Islam saat ini tampaknya memang terus terlihat seiring berjalannya waktu. Hal ini ternyata tidak hanya disadari oleh internal umat Islam itu sendiri, melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan di luar umat Islam. Bahkan lebih daripada itu, ada sebagian kalangan yang memandang negatif kebangkitan Islam ini dengan bersikap Islam Phobia sehingga berupaya menebarkan benih-benih kebencian terhadap Islam.

Tampaknya umat Islam saat ini menghadapi tantangan untuk dapat menunjukkan konsep ajaran ”rahmatan lil alamin” kepada pihak-pihak di luar Islam. Dakwah ”rahmatan lil alamin” ini tentunya tidaklah akan mengurangi wibawa umat Islam, melainkan akan dapat menarik simpati pihak-pihak di luar Islam yang selama ini sudah terlanjur dijejali berbagai macam persepsi yang salah mengenai ajaran Islam. Namun berhasil tidaknya tentu kembali kepada umat Islam itu sendiri sebagai pengemban risalah dakwah Islam yang mulia.

Wallahualam bi sawwab; hanya Tuhan yang tahu kebenaran sesungguhnya. []

Rimas Kautsar

Mahasiswa Fakultas Hukum UI

aktivis lintas batas

0 Comments:

Post a Comment

<< Home