Tuesday, May 31, 2011

Dialog Empatik antar Umat Beragama

Imad : “Peace be with you
Balian : “Alaikum salam

Dialog itu terdapat dalam film Kingdom of Heaven. Imad (Alexander Siddig), kaki tangan Salahuddin Al-Ayyubi, memberi salam kepada Balian (Orlando Bloom), seorang tentara Salib. Dengan senyum damai, Balian membalas salam yang biasa digunakan penduduk Yerussalem. Ini sikap saling memahami terhadap identitas yang bertikai.
Ridley Scott, sang sutradara, sengaja menyisipkan pesan empatik tersebut. Sebagian kritikus menilai, Ridley terlalu meninggikan Islam. “Karena orang seperti itulah dunia ini tak pernah damai,” ujar Ridley menanggapi kritik.

Mungkin memang tak ada dialog-salam itu dalam sejarah perang salib. Tapi mungkin juga, perdamaian memang memerlukan usaha yang melampaui sejarah. Derita, air mata, darah dan nyawa yang hadirkan dendam sebaiknya memang dilupakan, lalu dikonstruksi dengan sikap positif menyertai tafsir kekinian untuk masa depan yang lebih baik.

Kita perlu menarik sikap empatik Imad dan Balian di kehidupan sekarang. Meski gesekan muslim dengan kristiani (atau lainnya) tak sehebat perang salib, ada kecendrungan intoleransi kini semakin menguat. Tentu kita yang peduli tak mungkin membiarkannya.


Salam Empatik

Dalam kehidupan Indonesia yang berbingkai Bhineka Tunggal Ika, konflik agama masih terjadi. Belakangan ini pun toleransi antar pemeluk agama cenderung menipis. Penutupan paksa gereja jamaah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan bentuk intoleransi yang dilegalkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Di Bekasi, ketidakpahaman sebagian muslim terhadap ajaran Kristen, hadirkan tafsiran “Trinitas” terhadap patung besar “Tiga Mojang” karya Nyoman Nuarta, sehingga patung yang berada di lingkungan perumahan Bekasi tersebut disingkirkan.

Dari keadaan tersebut, diperlukan bentuk usaha lain dalam membangun dan menjaga hubungan antar umat beragama. Memang banyak kemungkinan di tengah kompleksnya keadaan. Tapi ada kesimpulan yang bisa kita amini bersama bahwa selama ini, Indonesia yang ika atas bhineka sebetulnya terpisah satu sama lain. Toleransi yang menjadi perekat antar umat beragama hanya diartikan sebagai sikap untuk tak saling mengganggu saja, sehingga tak ada pemahaman satu sama lain. Kehidupan bersama antar umat beragama hanya gerak urasan masing-masing. Tak ada usaha saling memahami.

Untuk mengurangi potensi konflik beragama, kita harus merubah sikap acuh tak acuh tersebut. Diperlukan sikap empatik dalam interaksi antar umat beragama. Sikap yang berusaha untuk merasakan dan memikirkan perasaan dan pikiran orang (yang berbeda) di luar kita. Sikap inisiatif untuk memahami tradisi dan ajaran agama di sekitar kita. Sikap kebersediaan dan kemampuan berinteraksi secara aktif dan empatik antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain; sikap aktif dan responsif dalam mengangkat keberagaman dan perbedaan yang ada di luar agama yang dipeluk.

Sebagian dari kita berusaha mewujudkannya dengan mengucapkan selamat dalam moment hari raya tahunan agama. Tetapi sikap empatik ini tak diwujudkan, dijaga dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, interaksi empatik antar umat beragama terkesan hanya sebatas rutinitas tahunan yang hanya terasa pada hari raya agama.

Di sini, salam memberikan peranan penting dalam membangun, menjaga dan melestarikan hubungan antar umat beragama. Biarlah frase salam yang simbolik dan terasa teologis seperti assalamu’alaikum, shalom, om swastiastu, namo Buddhaya atau namaste tetap ada dan kuat terasa di masing-masing komunitasnya, tetapi dengan sikap empatik kita akan menyapa dan mendekati serta melakukan hubungan yang berkelanjutan melalui simbol itu. Mengutip istilah dari Chumaidi Syarif Romas, simbol itu lembut, karena itu dia mudah “mempengaruhi”.


Salam: antara Budaya dan Keyakinan

Dahulu Gus Dur (sapaan akrab Abdurrahman Wahid) pernah memberikan pandangannya mengenai ucapan assalamu’alaikum. Menurutnya bentuk ekspresi normatif dan kultural, belum tentu harus sejalan. Frase assalamu’alaikum dalam shalat tak bisa diganti karena merupakan bentuk normatif. Tapi frase assalamu’alaikum dalam sapaan merupakan bentuk kultural yang bisa digantikan dengan frase lain, seperti selamat pagi dan sebagainya (Tabayun Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 1998).

Dari pandangannya tersebut, Gus Dur menempatkan ucapan assalamu’alaikum pada dua ruang yang berbeda, privat dan publik (sosial). Yang pertama merupakan ucapan ritus keyakinan, sedangkan yang kedua merupakan bahasa budaya. Salam di ritus keyakinan bersifat tetap. Sedangkan bahasa budaya bisa berubah sejalan dengan perbedaan dan perubahan masyarakat setempat. Dengan kalimat lain, Gus Dur menilai tak mengapa bila ucapan assalamu’alaikum dalam sapaan diganti dengan ucapan “salam”, “selamat pagi/siang/sore/malam”, atau bentuk salam lainnya yang biasa digunakan dan dimengerti.

Pandangan Gus Dur itu ditentang oleh sebagian muslim. Kendatipun lebih disebabkan adanya distorsi substansi terhadap pernyataan utuh Gus Dur oleh media, reaksi penentangan tersebut menandakan banyaknya pemeluk agama yang memiliki pandangan bahwa ucapan salam adalah frase salam keagamaan yang sangat terkait dengan keyakinan. Ini pertanda bahwa ucapan salam yang simbolik di komunitas agama masih dipegang teguh dalam interaksi kesehariannya.

Sangat disayangkan memang jika usaha keterbukaan Gus Dur tersebut dinilai negatif oleh (sebagian) pemuka agama dan masyarakat. Desakralisasi yang dilakukan Gus Dur penting untuk membedakan antara agama (syariat) Islam dan budaya (arab). Pemahaman muslim Indonesia yang terlalu mengidentikkan arab dengan Islam, sulit menyadari maksud inklusivitas Gus Dur.

Fakta tersebut menyimpulkan bahwa pemahaman agama di masyarakat yang masih simbolik. Kita mengakui, menerima, menghargai dan menggunakan eksistensi keragaman frase salam setiap agama. Tapi dengan sikap empatik kita menjadikan pluralitas salam sebagai jembatan untuk saling memahami antar kita yang berbeda.

Kita sadar pemahaman kehidupan antar umat beragama yang didapat di bangku sekolah dan masyarakat hanya sekedar mengakui eksistensi keberagaman agama. Kehidupan antar umat beragama belum beranjak kepada bingkai pluralisme yang memiliki semangat serta sikap kebersediaan dan kemampuan berinteraksi secara “mesra” antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain. Kehidupan antar umat beragama baru sebatas menyatakan dan mengakui keberagaman. Kita belum terbiasa hadir dalam bentuk sikap yang inisiatif-aktif dan responsif dalam mengangkat keberagaman agama.

Saatnya bagi kita untuk mengucap salam yang tak hanya berarti sapaan, tetapi juga berarti pemberian doa, pengakuan dan penghormatan keyakinan serta perwujudan identitas keagamaan seseorang. Ucapkanlah assalamu’alaikum (damai sejahtera menyertaimu) kepada muslim. Ucapkanlah shalom (damai sejahtera) kepada kristiani. Ucapkanlah namo Buddhaya (terpujilah Buddha) atau namaste (salam kehormatan bagimu) kepada pemeluk Buddha. Ucapkanlah om swastiastu (semoga kita dalam lindungan-Nya) kepada yang beragama Hindu. Begitu pula kepada pemeluk agama lain.

Perlu keyakinan dan pemahaman kuat untuk menempatkan salam empatik sebagai salah satu cara pembelajaran bagi kita dalam berinteraksi di tengah keragaman umat beragama. Ini merupakan cicilan dalam membangun, menjaga dan melestarikan kehidupan antar umat beragama yang penuh dengan nuansa persahabatan dan kedamaian. Empatik bersalam merupakan bentuk lompatan bagi kita yang ingin keluar dari jebakan eksklusifitas beragama yang sempit dan kaku, menuju inklusifitas beragama yang luas dan luwes.

Dari eksklusifitas beragama, menuju inklusifitas beragama. Dari pasif menjadi inisiatif-aktif dan responsif. Jadi, cobalah untuk empatik mengucap salam. Ke depan, tak akan ada lagi konflik antar umat beragama, apalagi sampai hadirkan kembali perang salib. []

USEP HASAN SADIKIN

http://islamlib.com/id/artikel/dialog-empatik-antar-umat-beragama

Wednesday, April 27, 2011

Pornografi, Kemunafikan dan Seks

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka ...”(An-Nisaa [4]: 145)

Malas rasanya mengutip teks sakral pada media tulis yang profan ini. Tapi apa boleh buat. Redaksi ayat tersebut tepat untuk menyimpulkan watak Drs. H. Arifinto, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Setelah mengesahkan Undang-Undang Pornografi (UUP) bersama fraksinya di tahun 2008, Arifinto malah asyik menikmati adegan panas di ruang rapat DPR yang dingin (8/4 2011). Kelakuan si gelar haji ini mengingatkan kita pada pesan moral agamanya: salah satu tanda orang munafik adalah, jika ia bicara dusta. Pornografi haram, tapi kok dilihat.

Mari kita bandingkan kelakuan Arifinto, anggota partai berasas Islam, dengan Ariel, anggota band musik Peterpan. Menyertai tafsir agamanya, Arifinto mengharamkan pornografi. Duduk di kursi fraksi partai berasas Islam, Arifinto menempatkan pornografi sebagai produk kriminal melalui UUP, tapi malah melihat konten porno di ruang tempat pengesahan undang-undang itu disahkan.

Sedangkan Ariel, ia bukan anggota partai berasas Islam. Ia bukan orang yang berobsesi menegakan syariat Islam. Tak pernah kita dengar Ariel mengharamkan pornografi. Ariel menikmati seks di ruang privat. Hubungan seks yang ia rekam pun untuk kepentingan pribadi. Tak ada pencampuran privat-publik. Tak ada usahanya menyebarkan yang pribadi pada masyarakat.

Ariel sudah dikurung. Sedangkan Arifinto melenggang kangkung. Aktivis perempuan, Mariana Amiruddin dalam jumpa pers (14/4 2011) di Jakarta menyatakan bahwa langkah pengunduran diri Arifinto sudah sepatutnya. Pejabat publik bertanggung jawab kepada publik, dan mereka dibiayai oleh pajak. Namun, pengunduran diri tidaklah cukup.

Meski perangkat yuridis tersedia, hingga kini tak ada usaha dari aparat hukum untuk menindak Arifinto. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah diberlakukan kepada orang lain. Jika Arifinto tak ditindak berdasarkan UU Pornografi (UUP), maka undang-undang ini berlaku diskriminatif. Rakyat biasa bisa dijerat, tapi tidak bagi pejabat yang digaji rakyat.

Peneliti isu perempuan, Myra Diarsi berpendapat (14/4 2011) bahwa partai merupakan lembaga perebut kekuasaan. PKS merebut kuasa, salah satunya, lewat isu pornografi. Partai berasas Islam ini memakai hawa moral untuk memerintah. Tapi konyolnya, alat rebut kekuasaan ini tidak mengilhami mereka. Menentang pornografi, tapi anggotanya menonton pornografi di ruang sidang. Ini gambaran kebangkrutan politisi.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi akan menarik Arif ke penjara seperti Ariel. Pasal 5 berbunyi: Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) masturbasi; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau d) pornografi anak. Lalu Pasal 6 berbunyi: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Bila terbukti bersalah, Arif harus dituntut untuk hukuman yang sesuai UUP. Arif bisa dijerat hukuman pidana dengan penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak dua milyar rupiah.

UU Pornografi

Desakan hukum tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menyadarkan pemerintah dan masyarakat terhadap permasalahan UUP. Disahkan pada 28 Oktober 2008, undang-undang ini merupakan aturan yang tak menyertai kajian komprehensif. Penyusunannya tak menoleh pada kajian akademis. UUP menjadi tak netral secara publik, karena kutipan ayat sakral perspektif komunal malah dijadikan dasar moral aturan ruang sosial yang plural.

Dalam pidato kebudayaan (29/7 2010) di Jakarta, Doktor bidang filsafat, Gadis Arivia berpendapat, UUP didasari oleh kedunguan pengetahuan seks, bukan kecerdasan. Aturan seperti ini akan terus melahirkan kekeruhan berpikir dan bertindak di ranah publik. Kekacauannya telah muncul saat kasus video pribadi Ariel-Luna-Cut Tari. Tiga orang dewasa pelaku seks di ruang privat tersebut malah dijadikan obyek kriminal publik dengan proses hukum yang menghabiskan pajak rakyat. Sedangkan di lain pihak, tiga orang camat asyik melihat pornografi saat bupati Malang berpidato (14/3 2011), tapi tak ada tindakan hukum bagi pejabat pelaksana amanah rakyat itu.

Batasan seksualitas tak jelas melalui pengertian dan distribusi pornografi dalam UUP hadirkan kerancuan di masyarakat. UUP mengkriminalkan seks pada media yang sangat mudah mengakses pornografi. Klausul pelarangan konten porno ini menjadi pradoks di tengah relativitas moral masyarakat. Sebuah situasi publik yang memungkinkan banyak dari kita terkena jerat hukum.

Sejatinya seks merupakan bagian sekaligus kebutuhan manusia. Gairah alamiah ini tak bertentangan dengan moral. Bahkan melalui seks kita bisa mendapatkan inspirasi moral kemanusiaan. Mengagungkan seks menjauhkan diri dari kekerasan. Mencium, menyentuh, memeluk dan bersenggama bisa menghindari diri dari perusakan dan pembunuhan. Dalam aksi “bed-in” John Lennon-Yoko Ono dalam rangka menentang perang Vietnam, bisa ditangkap pemaknaan bahwa dalam seksualitas kita bisa mendapatkan moralitas perdamaian. Sedangkan moralitas agama yang manabukan seks malah sering dijadikan pembenaran perang.

Keberadaan UUP yang memposisikan seks sebagai hal tabu dan jahat (kriminal) menghasilkan pengekangan terhadap seks. Kedepannya seks akan selalu salah dipahami karena dianggap bertentangan dan tak selaras dengan moralitas. Sebuah ironi mengingat seks tak bisa dilepaskan dari eksistensi manusia. Masyarakat yang menabukan dan menyalahkan seks malah akan melahirkan individu-individu munafik. Indonesia harus mengelus dada saat situs google menunjukkan bahwa sepuluh negara paling banyak mencari konten seks adalah negara-negara yang mayoritas muslim, seperti Indonesia. Salah satu warga muslim tersebut, sangat mungkin, adalah Arifinto, anggota PKS. []

Usep Hasan S.

http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/pornografi_kemunafikan_dan_seks/

Pluralisme “?”

“Masih pentingkah kita berbeda?”

Di tengah kisruh serta pengalaman konflik identitas agama dan golongan di Indonesia, film “?” hadir. Jalinan pita garapan Hanung Bramantyo ini menyadarkan bahwa kemajemukan Indonesia berdimensi gelap-terang. Mega berbeda adalah kaya sekaligus bahaya. Berbhineka harus selalu dijaga bagi masyarakat yang terus mencitakan “Ika”. Ini film penting di kala kemajemukan semakin genting.

“?” menceritakan pluralitas masyarakat Semarang. Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Jawa dan Tionghoa, semuanya bersatu, berdinamika dalam perbedaan. Ada Rika (diperankan oleh Endhita), perempuan yang memutuskan bercerai, menjadi single parent. Rika harus melawan stigma masyarakat yang menilainya sebagai pengkhianat kesucian pernikahan dan Tuhan. Keyakinan jujur dari hati memberanikannya berpisah dari suaminya yang berpoligami. Perceraian bukanlah hal yang dibenci Tuhan saat keegoisan suami telah hadirkan siksa batin dan merusak prinsip kemitraan setara dalam rumah tangga. Lalu, pengembaraan iman Rika memantapkannya untuk meninggalkan Islam, memilih Katolik. Hebatnya, tak ada perlakuan yang memaksa darinya dalam memberikan pendidikan agama bagi anaknya yang tetap beragama Islam.

Melalui tokoh Surya (Agus Kuncoro), kelenjar air mata penonton dibuat bekerja saat mengikuti suka-duka pergulatan tauhidnya. Sebagai aktor figuran tak sukses, Surya terpaksa mencari uang dengan memerankan Yesus dan Santa Claus di setiap ritus keagamaan Katolik. Pragmatisme Surya itu malah semakin menguatkan keimanannya sebagai muslim. Pilihan perannya justru menjadi perlambang sosial hubungan antar umat beragama yang intim. Kita akan tertawa geli melihat Surya yang memakai ruang masjid untuk berlatih seni peran sebagai Yesus. Kita pun tak tahan mencegah tangis, saat Abi, seorang bocah Katolik yang sakit keras, menginginkan kado natal pada Surya yang berkostum Santa Claus, agar Abi cepat dipanggil Tuhan, karena Abi tak mau menyusahkan ayah dan ibu.

Lalu ada Menuk (Revalina S. Temat), muslimah taat yang bekerja sebagai pelayan makanan di “Canton Chinese Food”. Tak lupa kewajiban sembahyang di sela waktu kerja, Menuk memberikan keramahan sungguh dan penjelasan utuh mengenai menu halal kepada pembeli.

Ada juga Tan Kut San (Hengky Solaiman), seorang Tionghoa pemilik “Canton Chinese Food” beragama Kong Hu Cu, yang membedakan perabot masak dan pelayanan makanan dengan wawasan fiqh halal-haram. Pemahamannya pada Islam ia terapkan juga dengan memberikan waktu sembahyang pada pegawainya yang muslim. Di bulan Ramadan, Tan tutup restoran dengan tirai untuk menghormati yang berpuasa. Saat Idul Fitri restoran ditutup Tan sebagai pemenuhan hak berlebaran bagi pegawainya yang muslim.

Soleh (Reza Rahadian) dan Ping Hen (Rio Dewanto) yang terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat. Semuanya berinteraksi seiring pasang-surut toleransi kehidupan masyarakat berbhineka. Hingga akhirnya mereka belajar untuk terus tumbuh sebagai manusia yang bermanfaat pada sesama, apapun agamanya.

Melalui semua penokohan tersebut kita menemukan kuatnya kedewasaan iman. Sejatinya kedewasaan iman merupakan keyakinan yang tak menutup terhadap perbedaan, lalu meyakini dari interaksi perbedaan, keimanan akan terus tumbuh menuju keutuhan. Kurang lebih, itulah makna pluralisme agama.

Secara umum, pluralisme merupakan istilah yang banyak di antara kita merasakan maknanya, tapi tak mengerti pemaknaannya. Padahal, bila kita bisa sadari, kita yang hidup di negara berbhineka seperti Indonesia, sangat memungkinkan, dibesarkan oleh asuhan pluralisme.

“?” MUI

Sayangnya, sikap pluralisme yang digambarkan “?” tak direstui pihak yang juga menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang budaya, Cholil Ridwan, mengatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang telah difatwa haram MUI di tahun 2005. Bagi Cholil, sebagai film, otomatis “?” pun haram karena mengkampanyekan pluralisme.

Pluralisme dinilai haram oleh MUI karena paham tersebut mencampuradukan agama, sehingga membahayakan keyakinan umat beragama (Islam)—www.voa-islam.com (2010/01/18). Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama menuliskan pada ketentuan hukum: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk lain. Kemudian dalam ketentuan umum, MUI menjelaskan bahwa Islam hanya mengakui pluralitas, bukan pluralisme.

Fatwa MUI tersebut telah mendorong masyarakat yang mengamininya untuk bersikap pasif terhadap fakta kemajemukan. Pernyataan “Islam hanya mengakui pluralitas (tidak untuk pluralisme)” berarti hanya cukup puas terhadap perbedaan saja. Bagi pihak ini, perbedaan tak perlu disikapi secara interaktif, apalagi intim.
Padahal, pluralitas selain merupakan keniscayaan nyata, dimensi gelap-terangnya akan muncul silih berganti, seiring pemahaman ragam pihak di dalamnya. Kita semua harus menyadari ini. Di samping kekayaan, pluralitas mengandung potensi bencana. Hal yang mudah dimengerti jika kita yang sama lebih mungkin didekatkan bersatu, dibanding kita yang berbeda. Sebaliknya, banyak perbedaan lebih mungkin menghadirkan konflik dibandingkan sama dan seragam.

Karena itu diperlukan pluralisme. Diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan antara kita semua yang menyertai perbedaan. Tak ada dari kita yang sempurna. Tak ada yang lebih tinggi. Pluralisme menempatkan diri dan kelompok sebagai entitas kurang yang membutuhkan diri dan kelompok lain. Ini merupakan dorongan kemungkinan yang jauh lebih kuat dalam menciptakan kerukunan masyarakat.

Bila pluralitas masyarakat mengikuti pemahaman MUI, skenario “?” bisa kita rubah. Rika akan terus menderita dengan keyakinan Islam yang merestui suaminya berpoligami. Selamanya Surya menjadi aktor figuran melarat tak bermanfaat, karena agamanya melarang membantu pelaksanaan ibadah pemeluk agama lain. Menuk tak akan bekerja di “Canton Chinese Food”, hingga ia harus mencari lagi pekerjaan sana-sini untuk mempertahankan keluarganya sehingga tak ada dialog intim Islam-Kong Hu Cu di restoran itu. Tan Kut San tak akan memahami Islam, sehingga tak ada pelayanan makanan halal bagi muslim, dan penghormatan bulan Ramadan serta Idul Fitri. Selamanya Soleh dan Ping Hen terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat, lalu menindas etnis dan pemeluk agama yang berbeda.

Dengan jalan pikir MUI tersebut, bisa dibayangkan, ke depannya keragaman agama dan identitas lainnya di Indonesia akan hilang. Tirani identitas (yang mengatasnamakan) mayoritas akan mendominasi masyarakat, menetapkan standar moralnya sebagai aturan publik. Saat berpikir seperti MUI, kita akan yakin, untuk menjawab pertanyaan tagline film “?” yang berbunyi, “masih pentingkah kita berbeda?” Jawabannya: tidak! []

USEP HASAN S.

http://www.islamlib.com/id/artikel/pluralisme

Monday, February 21, 2011

SHADIA MARHABAN: Keinginan Aceh untuk Merdeka tidak akan Hilang

Aceh, setidaknya, dalam satu dekade terakhir merupakan daerah yang menjadi sorotan nasional dan internasional. Belakangan, daerah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ini banyak diperbincangkan terkait penerapan syariat Islam. Pada peraturan daerah bernama Qanun Syariat Islam (QSI), perempuan Aceh diharuskan berjilbab jika beraktivitas di ruang publik. Dalam peraturan itu pun terdapat hukum cambuk untuk tindak pidana tertentu, salah satunya berkhalwat—berduaan dengan yang bukan muhrim. Seperti belum puas dengan itu, pemerintah NAD hendak menetapkan Qanun Jinayah (QJ) yang di dalamnya terdapat hukum rajam—lempar batu pada orang ditanam hingga mati.

Tentu saja, yang terjadi sekarang di Aceh bukanlah hal yang hadir secepat gelombang tsunami. Ada sejarah menyertai latar belakang Tanah Rencong. Untuk lebih mengetahui hal tersebut, Usep Hasan Sadikin dari Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) coba mewawancarai aktivis perempuan Aceh, Shadia Marhaban.

Lahir di Banda Aceh 20 Maret 1969, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang aktif berpartisipasi dalam tim negosiasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di perundingan damai 2005, yang menghasilkan berakhirnya konflik di Aceh. Sebelumnya, selama GAM dan pemerintah Indonesia berkonflik, Shadia bekerja sebagai wartawan dan penerjemah serta menjabat sebagai koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Pada 1999, bersama SIRA ia mengorganisir reli massa damai di Banda Aceh di mana hampir satu juta orang bersatu menuntut referendum. Perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi Hubungan Internasional di Universitas Nasional dan Arabic di American University in Cairo ini pun terlibat dalam “Jeda Kemanusiaan,” sebuah gerakan perdamaian pertama di Aceh yang banyak beranggotakan perempuan dari masyarakat sipil. Di 2001, melalui “Moratorium Dialog”, Shadia menggalang dukungan internasional untuk Aceh.

Kini, sebagai presiden Liga Inong Acheh (LINA), Shadia mengawasi beragam program LINA yang berdedikasi untuk memberdayakan perempuan Aceh (http://www.lina-acheh.com). Seiring itu, selain berperan sebagai anggota dewan pendiri untuk Sekolah Perdamaian dan Demokrasi di Aceh, Shadia merupakan peserta aktif di beberapa dialog nasional dan internasional sekitar isu-isu perempuan dan keamanan. Di 2009, Shadia menyampaikan pidato utama “Gender dan Mediasi - Bagaimana Meningkatkan Peran Perempuan dalam Negosiasi Perdamaian” pada konferensi di Finlandia, yang diselenggarakan Crisis Management International (CMI). Di 2010, Shadia dipresentasikan Pusat Penelitian Konflik Berghof pada konferensi bertajuk “Merancang Proses Perdamaian Inovatif” di Bogota, Columbia.

Berikut hasil wawancara YJP dengan Shadia Marhaban pada Minggu, 16 Januari di Jakarta.

Bagaimana masyarakat Aceh menilai QJ?

QJ sebetulnya masih berupa rancangan draft. QJ masih wacana, belum menjadi undang-undang. Masyarakat luar Aceh berpikir QJ sudah diberlakukan.

Yang sudah diberlakukan adalah QSI. Qanun ini pun diberlakukan di beberapa daerah di luar Aceh, seperti Garut, Tangerang dan lainnya. Beberapa daerah tersebut mengambil secuil dari QSI di Aceh.

Untuk QJ, saya pikir masyarakat Aceh pun banyak yang akan menolak. QJ sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia dan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Mengapa harus merajam orang? Hukum cambuk yang sudah diterapkan di Aceh hingga saat ini pun masih banyak dipertanyakan masyarakat Aceh. Kenapa harus ada hukum cambuk di Aceh? Kenapa tak bisa ditukar dengan hukum lain yang lebih manusiawi. Misalnya hukuman kerja sosial yang sesuai dengan kemampuan si pelaku.

Apakah pihak yang menginginkan syariat Islam merupakan pihak mayoritas masyarakat Aceh?

Menurut saya, tidak semua setuju dengan model syariat Islam sekarang. Bagi sebagian kalangan politisi, syariat Islam digunakan untuk melanggengkan posisi mereka. Politisi itu menilai ide politik yang bisa dijual bagi warga Aceh adalah agama.

Bagaimana prosesnya masyarakat Aceh bisa menerima syariat Islam di Aceh?

Ada perasaan bahwa tsunami membawa bencana dan kemalangan merupakan peringatan dari Allah SWT. Dalam pemikiran ummat beragama tentu ada rasa takut bencana itu terulang. Penjelasan ini masuk dalam ranah politik massa dan mudah diterima. Masyarakat umum sendiri banyak yang belum paham tentang syariat Islam. Tapi secara umum, masyarakat Aceh memang kuat agamannya. Keinginan sebagian orang Aceh memang cenderung diterima masyarakat karena memang mengatasnamakan agama. Keadaan masyarakat Aceh tersebut, membuat ide-ide HAM dan demokrasi sulit dipahami mereka dan cenderung dibenturkan dengan pemikiran dan interpretasi agama.

Sebelumnya, sewaktu Abdurrahman Wahid (Gusdur) masih menjadi presiden, Gus Dur menanyakan keinginan Aceh untuk meredakan konflik. Apa sih yang diinginkan orang Aceh? Saat itu ada lima tokoh yang mewakili Aceh. Ke lima tokoh ini menyebutkan bahwa keinginan Aceh adalah syariat Islam. Gus Dur tidak berpikir hal ini akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Yang dilakukan Gus Dur saat itu lebih sebagai temporery solution, agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Syariat Islam menjadi solusi saat keadaan Aceh darurat.

Saat proses ini berlanjut perundingan damai juga dilaksanakan dengan kerjasama NGO (Non-Governmental Organization) dari Swiss, Hendry Dunant Centre (HDC) yang akhirnya menghasilkan “Jeda Kemanusiaan” dan Perjanjian Perhentian Permusuhan (Cessation of Hostilities) pada tahun 2001-2002. Kemudian, saat terjadi darurat militer isu syariat Islam tenggelam. Konflik di masyarakat saat itu terjadi lebih dalam dan luas. Setiap hari ada kabar orang meninggal, dibunuh dan diculik. GAM serta sebagian masyarakat yang masih belum puas terhadap pemerintah nasional, tetap melalukan perlawanannya.

Dalam perjanjian damai Helsinki 2005, bila kita baca, tidak ada penulisan syariat Islam. Yang ada, kebebasan beragama. Kami menuliskan “freedom of religion”. Ini bisa ditafsirkan secara luas, maknanya. Waktu itu GAM memang tidak menginginkan syariat Islam masuk ke dalam agenda perjanjian damai. Pasca perdamaian Helsinki, tentunya ide syariat Islam menguat dan ini sebagai bentuk identitas pemerintahan sendiri, yang memang pada awalnya bukan menjadi dasar, dan sekarang lebih sebagai simbol identitas masyarakat Aceh.

Saat ini, pemerintahan banyak diwakili partai apa dan seperti apa pemerintahan berjalan?

Mantan pasukan gerilyawan GAM mendirikan partai yang diberi nama Partai Aceh (PA). Partai inilah yang sekarang memegang tampuk kekuasaan di parlemen termasuk sebagian eksekutif. Ekspektasi masyarakat Aceh terhadap pemerintahan yang baru terbentuk itu terlalu tinggi, tapi kapasitas pemerintah terpilih tidak tinggi. Terjadi gap antara kapasitas pemerintah dan ekspektasi masyarakat Aceh. Contoh, masyarakat berharap pemerintahan Aceh bisa menyelesaikan permasalahan kesejahteraan, pendidikan, HAM, investasi dll., tapi kapasitas pemerintahannya sendiri tidak mencukupi. Itu yang terjadi di Aceh sekarang.

Kondisi itu mirip dengan yang terjadi di Timor Leste dan Nikaragua. Pergerakan gerilya yang memenangkan perebutan kekuasaan tidak mampu menjalankan pemerintahan. Kekuatan politik yang lahir dan mempunyai tradisi pergerakan gerilya, hanya mampu memimpin perang. GAM bisa bertahan 30 tahun berperang. Tapi untuk memerintah belum bisa.

Secara umum pun orang Aceh suka perang. Memilih perang, orang Aceh mau dan sanggup. Banyak referensi buku yang menceritakan dan menjelaskan tradisi perang masyarakat Aceh. Pengalaman perang masyarakat Aceh membentuk watak masyarakat Aceh yang rebellious (suka memberontak). Keadaan ini memungkinkan masyarakat Aceh mudah untuk diprovokasi, diobok-obok.

Saya berpikir, GAM merupakan bagian dari orang Aceh. Suka atau tidak suka, orang Aceh merupakan bagian dari gerakan yang dinilai separatis itu. Perang yang berlangsung selama 30 tahun, tidak memberikan kemerdekaan bagi Aceh. Sekarang, kami (masyarakat Aceh) harus berpikir realistis, bersama pemerintah membangun Aceh.

Apakah semangat referendum di Aceh masih ada?

Setelah perdamaian ini tentunya semangat referendum sudah tidak ada lagi karena sudah digantikan dengan perdamaian yang membolehkan Aceh mengatur pemerintahannya sendiri walaupun masih dalam NKRI.

Namun ide Merdeka, sampai kapan pun keinginan orang Aceh untuk merdeka tidak akan hilang. Seorang aktivis Irlandia pernah menyatakan, “jika benih ide telah tertanam dalam pikiran suatu bangsa, ide itu tidak pernah hilang.” Orang Irlandia ingin mencapai kemerdekaan sampai sekarang. Mereka tetap menyatakan “Im Irish, not British”. Tak mengapa Aceh mempunyai visi yang berbeda dengan Indonesia. Ini bisa menjadi cambuk yang sesuai dengan identitas dalam melakukan pembangunan. Aceh bisa menjadi rujukan daerah lain untuk juga mencari identitas dan visi yang sesuai dengan konteks lokal.

Dalam konteks desentralisasi daerah, Aceh tak hanya sebagai daerah modal sumber daya, tapi juga daerah model. Kalau kita perhatikan program pemerintahan daerah lain, itu banyak merujuk kepada Aceh. Calon Independen dan syariat Islam, diikuti oleh banyak daerah di Indonesia. Partai lokal pun sepertinya akan diikuti daerah lain.

Pastinya di ujung kemerdekaan adalah kesejahteraan. Kita ingin mendapatkan apa yang selama ini pemerintah Indonesia tidak berikan. Ujung-ujungnya untuk rakyat. Bukan untuk diri kita sendiri. Nah, kalau cara itu bisa dicapai dengan tidak merdeka, misalnya sekarang, tentunya dengan otoritas pemerintahan yang bagus beserta kemampuan, Aceh bisa kita bangun.

Seperti apa keadaan perempuan Aceh saat ini?

Saat ini perempuan tidak mendapatkan porsi yang seharusnya didapat. Dalam situasi yang masih transisi ini, banyak peran-peran perempuan terabaikan. Walaupun pasca tsunami dan perdamaian banyak bantuan dari LSM lokal, nasional maupun internasional tidaklah cukup. Perempuan Aceh harus muncul dan memperbaiki kondisinya bersama seluruh elemen masyarakat Aceh. Saya pikir ini penting sekali untuk kemajuan perempuan Aceh ke depan yang baru saja bangun dari konflik.

Saat Syariat Islam diterapkan di Aceh, perempuan Aceh diharuskan berjilbab di ruang publik. Apa memang dahulu muslimah Aceh berjilbab? Apakah jilbab bagian dari identitas muslimah Aceh?

Islam di Aceh tidak konservatif. Sekarang pun begitu. Tapi, orang Aceh memandang Islam sebagai bagian budaya mereka, “Islam way of life”, “Islam way of think”. Sebetulnya orang Aceh tidak menerima ide-ide konservatif fundamentalis. Dahulu, ibu-ibu kami tidak pake jilbab. Sama dengan perempuan Indonesia umumnya. Orang Aceh itu awalnya pake selendang. Jilbab tertutup kan baru muncul pada 80-an/90-an. Bukan hanya di Aceh saja kan. Ini fenomena Asia tenggara. Jadi masuk juga tuh ke Aceh.

Kalau saya memandang jilbab, selama itu tidak dipaksakan, tidak mengapa. Yang menjadi masalah saat ini jilbab menjadi harus dan dipaksakan. Segala sesuatu harus dilegal-formalkan, itukan aneh.

Kita lihat Malaysia. Hampir semua Melayu pakai jilbab. Mereka tidak dipaksa. Tidak ada usaha pemerintah mengharuskan perempuan berjilbab di Malaysia dengan ancaman hukum cambuk. Masyarakat Malaysia membangun pemahaman berjilbab dari bawah.

Bagaimana masyarakat Aceh menilai identitas Islam Aceh saat ini?

Islam sudah lama ada di Aceh sudah melebur dengan budaya dan tradisi. Kemudian seiring terjadinya konflik selama puluhan tahun dan lain-lainnya, terjadi penurunan nilai dan pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Kemudian waktu tsunami, banyak dana masuk ke Aceh dari negara timur tengah, seperti Arab Saudi. Dana tersebut masuk ke pesantren-pesantren menjadi semacam aliran atau pemikiran Islam baru. Islam Arab, bukan Islam Aceh yang kita kenal.

Sekarang Shadia aktif sebagai presiden di LSM LINA. Bisa dijelaskan perjuangan LINA, khususnya seputar isu perempuan?

LINA awalnya dibangun untuk memberikan aksi afirmasi (penguatan posisi) terhadap perempuan mantan kombatan (pejuang perang). Perempuan, pada saat konflik di Aceh, ikut berperang. LINA melakukan afirmasi pada mereka. Saat dan pasca berperang, perempuan tidak mengalami pemberdayaan apa pun. Perempuan mantan kombatan ini tidak hanya perempuan yang memegang senjata, tapi juga ada yang dulu berjuang dengan memasak, membeli pulsa untuk kepentingan komunikasi, menjadi informan dan lain-lain. Kelompok perempuan ini kurang mendapat perhatian pasca perjanjian damai. Tahun 2004-2005 kami mulai gencar melakukan pelatihan, memberikan pemahaman tentang bagaimana sebaiknya masyarakat bisa menyatu dengan perempuan mantan kombatan.

Kini kami memperluas target, memperjuangkan hak-hak semua perempuan Aceh, baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Bagaimana pandangan masyarakat Aceh terhadap LSM lokal dan nasional di Aceh dalam proses demokrasi?

Masyarakat Aceh menerima LSM yang ada di Aceh. Memang di tahun pertama, LSM nasional kurang mendapat tempat di hati masyarakat Aceh karena orang Aceh cenderung tidak bisa percaya dengan orang Jawa. Pengalaman buruk yang dialami orang Aceh menyimpulkan bahwa penyebab atau pemicu terjadinya konflik adalah orang Jawa. Sebetulnya ini tidak hanya terjadi di Aceh saja. Di daerah konflik seperti Papua, Ambon, Timor-Timor juga seperti itu. Sentimen terhadap orang Jawa itu kuat di seluruh Indonesia, di luar Jawa.

Menurut saya keliru jika menyimpulkan orang Aceh tidak suka dengan LSM. Orang Aceh sangat memuliakan tamu dan pendatang selama orang ataupun organisasi tersebut menghormati mereka.

Keadaan orang Aceh yang traumatik dan cenderung berkonflik dengan orang Jawa juga disebabkan oleh Jawanisasi yang keras. Dahulu, kampung-kampung di Aceh mempunyai struktur administrasi sendiri. Lalu diganti dengan kelurahan, sewaktu Orde Baru. Jumat pake batik Jawa. Ada pemaksaan budaya saat itu. Orang Aceh harus membiasakan dengan orang Jawa dan budaya Jawa. Tapi orang Jawa tidak didorong untuk membiasakan budaya Aceh. Pemaksaan itu sistemik dengan program transmigrasi yang didukung World Bank. Konflik Madura dengan Dayak di Kalimantan pun terjadi setelah program transmigrasi.

Saya pernah wawancara dengan orang Aceh di daerah transmigrasi. Saat itu, setiap hari dua pesawat Hercules datang membawa orang Jawa. Mereka langsung mendapatkan tanah dan KTP. Transmigrasi yang tidak menyertai usaha memahami masyarakat lokal akhirnya melahirkan konflik. Transmigran yang berduyun-duyun datang ke Aceh merupakan kebijakan salah kaprah. Ada pendatang ambil lahan orang kampung, siapa yang tidak ngamuk. Para pendatang lebih maju, bisa berdagang, sedangkan orang Aceh masih bego-bego, bagaimana perasaannya? Coba misalnya dibalik, orang Batak ambil tanah di Pekalongan atau di daerah-daerah lain di Jawa. Itu bukan pemerataan sebetulnya, tapi penghancuran. Termasuk penghancuran kultur masyarakat. Tidak sama value yang ada di Jawa dengan yang ada di Aceh. Jangan dipaksakan. Masing-masing wilayah punya nilai-nilai sendiri. Transmigrasi yang salah kaprah ini telah menciptakan wilayah-wilayah berpotensi konflik seperti Aceh, Bugis, Papua, dan lainnya.

Saat Aceh konflik, Shadia tinggal di Jakarta. Apa yang membuat Shadia kembali ke Aceh?

Sebelum saya terlibat, saya sudah mendengar kabar kekerasan yang terjadi di Aceh. Kalau kawan saya bercerita, saya hanya bisa menangis. Ada keluarganya yang tewas, ada teman yang diculik. Apa yang bisa kita lakukan, selain menangis dan meratapi keadaan?

Kami coba berpikir untuk melakukan sesuatu. Kepedulian kita pertama kali dilakukan dalam bentuk penyebaran informasi tentang Aceh kepada masyarakat Jakarta, khususnya orang Aceh. Saat itu banyak yang tidak percaya. Kita melakukan pertemuan-pertemuan kecil.

Terus terang, justru dulu, yang mempopulerkan Aceh ke tingkat nasional adalah (almarhum) Munir. Dari situ kita bermain di tingkat nasional. 1999 saya menjadi duta khusus dari SIRA untuk mempromosikan kasus Aceh ke internasional. Saat itu saya keliling ke Amerika Serikat, Australia, Eropa, menyuarakan kasus Aceh di tingkat internasional bersama lembaga internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty Interntional dan sebagainya. Isu Aceh yang sebelumnya tidak popular menjadi menarik dan semakin meluas karena dibawa oleh mahasiswa dan aktivis HAM. Banyak negara luar mengundang saya untuk menjelaskan Aceh. 1999-2002, isu Aceh gencar sekali. Lalu tahun 2003 mulai terjadi darurat militer. Terjadi penangkapan dan penculikan aktivis HAM. Keadaan ini justru semakin menguatkan perjuangan orang Aceh untuk lepas dari NKRI. GAM memandang ini sebagai momentum untuk mempromosikan perjuangan referendum ke tingkat nasional dan internasional.. Upaya dialog dan diplomasi yang dilakukan oleh gerakan sipil tentu lebih bisa diterima. Di situlah mulai gerakan referendum populer di Aceh.

Sebagai warga Aceh sekaligus orang yang terus terlibat dalam pembangunan masyarakat Aceh, apa harapan Shadia terhadap Aceh ke depannya?

Sekarang Aceh harus mengejar, mencapai kesetaraan dengan provinsi lain atau bahkan lebih. Sedikit demi sedikit kami mulai berbenah. Sekarang kita lihat, pemerintah daerah (Pemda) Aceh sudah punya program beasiswa yang mengirim anak Aceh kuliah ke luar negeri. Pemda juga mempunyai program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Program pendidikan gratis dari tingkat SD-SMA merupakan upaya yang sedang terus dilakukan di Aceh. Dengan perdamaian sekarang, insya Allah Aceh bisa mengejar ketinggalannya. Yang penting tetap berpikir positif. []

Usep Hasan S.

Monday, February 14, 2011

Jejak Kekerasan Islam Maskulin

Tiga nyawa jamaah Ahmadiyah melayang di Cikeusik, Pandeglang, diiringi teriak “Allahu Akbar”. Kita boleh menduga atau yakin, ini kreasi elite mengalihkan isu atau penyudutan pihak tertentu. Tapi sediakanlah niat untuk memahami sisi lain dari kompleksitas persoalannya. Mungkin ada yang membayar kekerasan tersebut. Tapi sulit diterima jika manusia tega membunuh sesama dengan begitu yakin hanya sebatas bayaran. Ini bukan kisah mafia berprofesi memburu nyawa. Di dalam peliknya permasalahan, terasa kuat keimanan yang merestui kekerasan.

Tragedi Cikeusik tersebut memungkinkan kita membuka sejarah Islamisasi di muka bumi. Proses perjuangan dogma Islam ternyata tak lepas dari jalan kekerasan. Usia esksitensi Islam tak sedikit memunculkan wajah marah. Kumpulan individu yang meyakini agama keselamatan ini menjadikan kekerasan sebagai solusi. Agar Islam tetap murni, pemeluknya rela membunuh pihak yang dianggap mencampur atau merubah ajaran. Untuk mempertahankan Islam, muslim direstui dogma untuk melawan dengan kekerasan.

Sebagian dari kita seperti melakukan klarifikasi terhadap jejak kekerasan mengatasnamakan Islam. Dipisahkanlah Islam, antara ajaran agama dengan pemeluk agama. Persis seperti memisahkan cawan dengan anggur. Ajaran Islam ibarat cawan sedangkan (perilaku) muslim adalah minuman anggur. Ketika meneguk anggur dirasa pahit, langsung disimpulkan anggur sebagai penyebabnya. Kekerasan Islam ibarat rasa pahit yang berasal dari para pemeluknya, bukan dari ajarannya. Disimpulkan, Islam tak mengajarkan pemeluknya melakukan kekerasan, tetapi pemeluknya telah salah dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam. Benarkah begitu?

Dogma kekerasan

Islam, yang secara bahasa berarti damai/selamat/berserah total kepada Tuhan, ternyata merekam kekerasan di dalam dogmanya. Usia muda spesies manusia diisi pertumpahan darah putra Adam, Habil oleh Qabil. Selain itu, dalam kisah penciptaan manusia, malaikat memprotes Tuhan karena makhluk bernama manusia suka melakukan kekerasan terhadap sesamanya, sehingga mengancam kerusakan bumi. Dua kisah keberasalan manusia ini memungkinkan hadirkan sikap mewajarkan kekerasan manusia.

Di dalam Al Quran, kekerasan disebutkan secara eksplisit. Melalui ayat yang diklaim sebagai ucapan Tuhan, kekerasan memungkinkan menjadi pilihan. Sebagian firman berikut bisa menggambarkan, betapa kekerasan direstui oleh ajaran kedamaian bernama Islam:

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” (QS. 2: 161-162)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. 2:190-191)

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. 9:5)

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. 9:29)

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela’nati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. 9: 68)

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir, maka pancunglah batang leher mereka, sehingga manakala kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka.” (QS. 47:4)

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang antar sesama mereka.” (QS. 48:29)

Pelaksanaan titah illahiah tersebut menjadi bagian ketaatan kaaffah (menyeluruh) seorang muslim. Ayat-ayat tersebut belum menyertai sejumlah hadits yang juga mengandung ajaran kekerasan.

Jejak kekerasan

Di sebagian fase perluasan dakwah Muhammad, kekerasan sudah terjadi. Setidaknya dalam rentang 624-632 Masehi terdapat 26 perang yang dipimpin Muhammad (ghazwah), dan 25 perang yang dipimpin perwakilan yang ditunjuk Muhammad (sariyah). Perang Badar melawan kaum Quraisy, dan Perang Khaibar melawan Yahudi, merupakan pertumpahan darah paling monumental Islam perdana.

Sepeninggal Muhammad pun terjadi tindak kekerasan di antara pemimpin Islam dan pengikutnya. Di fase Khulafa al-Rasyidun (para pengganti yang diberi petunjuk), penggunaan dalil agama dijadikan dasar kekerasan. Bisa dibilang fase Khulafa al-Rasyidun merupakan fase paling berdarah di internal umat Islam. Masa kekhalifahan (kepemimpinan) Abu Bakar yang singkat (632-634 M) sarat peperangan dengan kelompok (yang dinilai) membelot (murtad). Muslim penolak zakat diberikan dua pilihan oleh Abu Bakar: tunduk tanpa syarat atau diperangi hingga binasa.

Bercak darah Islamisasi muka bumi semakin pekat pasca kepemimpinan Abu Bakar. Sejumlah pemimpin penggantinya, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mati secara tidak “wajar”. Ketiga orang yang menurut hadits dijamin masuk surga ini, mati dibunuh. Belum lagi tragedi Karbala, yang menjadi ingatan kelam umat muslim sedunia, memisahkan dua sekte besar Islam, Sunni dan Syiah.

Bisa dibilang, Khawarij merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap sensitivitas teologis. Kelompok ini membentuk teologi tekstual yang mudah mengafirkan muslim yang tak mengikuti hukum teks Tuhan. Puritanismenya dengan tegas memetakan bahwa siapa pun yang tak sepaham dengannya dinilai telah keluar dari Islam. Pernyataan “kafir” terhadap seseorang atau kelompok, mendorong terjadinya pertumpahan darah.

Muncul upaya rasionalisasi ajaran Islam oleh Mu’tazilah. Konsep teologis yang dikonsepkan Wasil bin Atha (699-749 M) ini momposisikan akal di atas Al Quran. Dengan doktrin “Al Quran sebagai makhluk”, Mu’tazilah menolak ajaran yang tak sesuai dengan akal. Namun, pemosisian Al Quran tersebut berdampak hadirkan konflik besar. Bahkan untuk mempertahankan dominasi sektenya, Mu’tazilah melakukan inkuisisi (penghakiman bid’ah) terhadap sekte yang tak sejalan dengan Mu’tazilah. Kekerasan berbentuk penangkapan, penganiyayaan dan pemaksaan dogma terjadi.

Di Indonesia, selain pembunuhan dan aksi kekerasan lainnya yang dialami jamaah Ahmadiyah, juga telah terjadi kekerasan mengatasnamakan Islam oleh kelompok lain. Konflik Muhammadiyah-NU dan Sunni-Syiah, telah mengisi sejarah panjang islamisasi di Indonesia. Muhammadiyah-NU berkonflik secara teologis berdasar perbedaan liturgi, ritus dan ritual. Sedangkan konflik teologis Sunni-Syiah merujuk pada perbedaan penghormatan pemimpin Islam pasca Muhammad. Tak tahu berapa korban yang ditimbulkan konflik tersebut.

Sejarah panjang kekerasan itu tak bisa ditampik dengan pernyataan “yang salah adalah pemeluknya, bukan Islam”. Sedangkan pernyataan “perangilah orang-orang kafir...” oleh pelaku kekerasan terlalu lantang untuk tak diacuhkan. Pemisahan cawan-anggur yang menyalahkan muslim sebagai pihak yang tak memahami ajaran Islam, terlalu menyederhanakan persoalan. Ada kompleksitas dan dinamika panjang yang terjadi pada Islam.

Islam maskulin

Abad 7 M di jazirah Arab, Islam hadir bukan dalam ruang kosong. Wahyu dan hadits sebagai basis keimanan muslim dibentuk bersama kebudayaan masyarakat. Di negeri padang pasir ini individu beserta masyarakatnya tumbuh oleh perspektif laki-laki yang menekankan pada kekuatan. Tanah dan iklimnya yang panas mendorong laki-laki menjadi kuat untuk mempertahankan tanah keluarga dan masyarakat. Di Hijaz, salah satu daerah penting kelahiran Islam, musim kering selama tiga tahun merupakan hal wajar. Kehabisan sumber daya kehidupan, memungkinkan peperangan merebut atau mempertahankan tempat tinggal. Konteks ruang masyarakat ini menjadikan kekerasan sebagai pilihan menyelesaikan masalah, entah karena keterdesakan, buntunya pertukaran kepentingan atau memang merasa mampu untuk melakukan aksi kekerasan.

Bisa dibilang, semua pelaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam adalah laki-laki. Kisah Habil dan Qabil, peperangan fase Muhammad, sweeping keyakinan dan pembunuhan Khulafa al-Rasyidun, Perang Salib, konflik NU-Muhammadiyah dan Sunni-Syiah, juga terakhir pembunuhan jamaah Ahmadiyah, semunya dilakukan laki-laki.

Masyarakat patriarki membakukan konsep maskulin terhadap laki-laki. Maskulin diartikan sebagai sifat kejantanan yang merujuk pada kekuatan otot (muscle). Perang-perangan, memanjat, berlari, berkelahi dijadikan proses pelestarian diri laki-laki sebagai makhluk yang mengedepankan kekuatan. Sedangkan sisi perasaan laki-laki (hampir) ditutup semuanya.

Bandingkan proses tumbuh kaum Adam tersebut dengan perempuan. Permainan rumah-rumahan, boneka, dan berbincang menjadi warna-warni pengisi karakter kaum hawa. Laki-laki dipisahkan dari sifat/sikap perasa, lemah-lembut-manja dan ekspresi air mata.

Islam, yang lahir di masyarakat patriarki memiliki citra maskulin. Kepemimpinan yang hanya diperuntukan bagi laki-laki (QS. 4: 34) menjadikan perang, pembunuhan dan bentuk kekerasan lainnya sebagai sesuatu yang berdimensi gender. Eksekusi, inkuisisi dan aksi bantai pasti melalui instruksi pemimpin laki-laki.

Dari pemaparan tersebut, teks dan konteks Islam sulit dipisahkan dari kekerasan. Terjadinya kekerasan yang mengatasnamakan Islam pun bersumber dari sebagian isi Al Quran dan hadits. Muslim pelaku kekerasan tak hanya berdasar pada karakter individu atau masyarakat yang terbentuk dari maskulinitas budaya patriarki, tapi juga berdasar dari ajaran kekerasan di dalam Islam.

Kita perlu menyadari dualisme ajaran Islam. Watak maskulin harus diakui menjadi bagian dalam Islam, yang kemudian bisa dikesampingkan. Sikap ini bukan untuk menyudutkan atau mengolok-olok muslim. Mengakui poros maskulinitas dalam Islam yang terus bersetubuh dengan budaya patriarki di masyarakat, justru akan mendorong upaya penghapusan watak dan tindak kekerasan di masyarakat. Cukup sudah tiga nyawa di Cikeusik menjadi jejak akhir kekerasan Islam maskulin. Ke depan kita bisa menoleh pada Islam damai untuk bisa melangkah bersama dalam perbedaan. []

USEP HASAN S.

Sunday, January 16, 2011

Perempuan pun adalah Khalifah

“Nama saya, Khalifah.”

Begitulah Nurman Hakim menutup filmnya, “Khalifah”. Seorang perempuan berdiri di depan cermin, menyebut tegas namanya. Tampaknya sutradara jebolan pesantren ini ingin menegaskan bahwa kaum Hawa pun bisa menjadi khalifah (pemimpin). Ini kritisme untuk budaya patriarkal. Perempuan yang selama ini telah dikonsepkan sebagai subordinat laki-laki, digugurkan melalui khotbah pita film yang juga ditulis oleh Nurman. Sama halnya laki-laki, perempuan juga mempunyai otonomi diri dalam menentukan pilihan hidupnya.

Khalifah (diperankan Marsha Timothy) adalah perempuan sulung tulang punggung keluarga. Bersama ayah dan adiknya, ia menghadapi beratnya beban ekonomi pasca biaya mahal berobat ibunda, yang malah tak tertolong. Pekerjaan ayahnya sebagai penjaga masjid (marbot) sangat tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Khalifah lalu bekerja sebagai kapster salon. Keadaan itu membuatnya tak meneruskan kuliah, meski sudah diterima di Universitas Indonesia. Adiknya ia putuskan untuk tetap sekolah hingga kuliah, meski harus berhutang.

Paradoksal Khalifah

Pemaknaan nama Khalifah sebagai pemimpin menjadi bertentangan di tengah masyarakat ekonomi bawah berbudaya patriarkal. Ia mandiri, namun bersedia dijodohkan ayahnya dengan Rasyid (Indra Herlambang). Khalifah berusaha menjadikan tradisi agama sebagai pondasi keluarga yang menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga. Ia mematuhi semua keinginan Rasyid, termasuk titah mengenakan cadar.

Khalifah terus jalani rumah tangga hasil perjodohan tersebut. Namun ia tak dapat memungkiri ketertarikannya pada Yoga (Ben Joshua), penjahit yang tinggal di depan rumahnya. Hasratnya tak dipenuhi, karena Khalifah telah bersuami. Yoga menjadi pendamping kesepian hati Khalifah yang sering ditinggal Rasyid berbulan-bulan. Sengaja Khalifah meminta Yoga menjahit pakaiannya agar ada alasan etis untuk bertemu-bicara.

Tarik-ulur independensi Khalifah semakin terasa melalui proses buka-tutup tubuhnya. Sebelum bercadar ia merasa tak nyaman terhadap laki-laki yang suka menggoda karena fisiknya dinilai cantik. Pelanggan di tempatnya bekerja pun ada yang hanya ingin dilayani Khalifah dengan alasan kecantikannya.

Setelah mengenakan cadar, seksisme masyarakat yang memandang tubuh Khalifah jauh berkurang. Tapi stereotipe Arab, sholehah dan terorisme malah melingkupinya. Mulai dari sapaan “Assalamu’alaikum” hingga umpatan “teroris!”. Secara mendadak, ketertutupan tubuh telah menjadikannya terasing oleh apitan makna cadar dari masyarakat yang tak dipahaminya. Di satu sisi ia “dilindungi” oleh ketertutupan berbusana. Tapi di sisi lain, hanya menyisakan mata dan telapak tangan untuk publik telah menghilangkan kediriannya yang utuh. Khalifah tak diberikan kesempatan oleh masyarakat untuk menjelaskan otonomi tubuhnya yang menyerta busana. Apa yang baginya pantas eksis tak mendapat tempat bagi sebagian besar mayarakat.

Meninggalnya Rasyid menyadarkan dimensi kepemimpinan Khalifah. Laki-laki yang dijadikannya kepala rumah tangga itu ternyata adalah anggota jamaah Islam yang suka melakukan pengeboman. Kepercayaan dan kepatuhan yang sungguh-penuh menjadi kesalahan mutlak bila tak menyertai keterbukaan dan pemahaman utuh. Sebelumnya Khalifah hanya mengamini ajaran tradisional yang menitahkan percaya dan patuh terhadap suami. Kini ia bebas dan mandiri dengan keberhasilan peran di ranah domestik dan publik.

Akhirnya Khalifah melepas cadar. Ia sadar, keputusan bercadar bukanlah keinginannya. Ada dialektika dalam pikir-rasanya mengenai berbusana. Dasar ayat Al Quran yang disampaikan Rasyid saat menyuruh Khalifah bercadar, penjelasan perempuan bercadar bernama Fatimah (Titi Sjuman) yang menekankan pentingnya pemahaman saat perempuan memutuskan bercadar, serta dukungan Yoga untuk terus bercadar, semuanya ditolak Khalifah atas dasar pemahaman dan kemandirian.

Islam warna-warni

Melalui kisah Khalifah tersebut, Nurman dalam narasi lain kembali mendakwahkan Islam warna-warni. Film sebelumnya “3 Doa 3 Cinta” yang bercerita kehidupan Islam pesantren berhasil diputar dan mendapat penghargaan di banyak festival film internasional. Kini melalui “Khalifah”, Islam kembali ditampilkan plural. Keragaman Islam dalam film ini ditampilkan melalui corak Islam versi ayah Khalifah, Fatimah dan Rasyid. Ada Islam yang kontekstual dengan Jawa-Indonesia. Ada Islam yang genuine dengan kebudayaan Arab. Ada juga yang kaku dan keras seperti yang didakwahkan terorisme Islam.

Pemaparan tersebut sedikit/banyak akan mengurangi kebingungan masyarakat ketika ada pihak yang melakukan subordinasi terhadap perempuan dan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Keyakinan Islam yang dimiliki masing-masing muslim, tak perlu dikhawatirkan terkotori oleh tindak kekerasan pihak dan subordinasi perempuan yang mengatasnamakan Islam. Keyakinan pemeluk Islam yang ramah dan egaliter masih tetap memiliki citra adil gender dan berprospek untuk kehidupan bersama. Di mata orang di luar Islam pun fakta dan pemahaman pluralitas Islam akan menenangkan. Tak semua orang Islam tak adil gender dan tak semua orang Islam suka kekerasan.

Tentunya fakta pluralitas Islam dan pemahamannya perlu menyerta usaha menghapus ketidakadilan. Sebagai latar belakang film dan realitas di luar gedung bioskop, kemiskinan dan diskriminasi membuat manusia mudah didominasi, kehilangan kemandirian ber-pikir/sikap, dan melakukan kekerasan. Subordinasi perempuan dan terorisme adalah dua hal yang sangat mungkin hadir karena ketidakadilan.

Jika film kita tempatkan sebagai media yang mempunyai misi sosial, Khalifah diharapkan bisa menjadi bagian dari usaha perubahan keadaan masyarakat. Mungkin ada di antara kita yang terinspirasi oleh “Khalifah”, terdorong memimpin masyarakat untuk menghilangkan ketidaksetaraan dan kesenjangan. Semoga ada dari kita yang bisa menjadi pemimpin dengan semangat kemandirian dan kesetaraan seperti Khalifah. Laki-laki maupun perempuan, sama saja. []

USEP HASAN S.

Monday, December 13, 2010

Berlian Kemanusiaan

Oleh USEP HASAN S.

Adriana Francesca Lima, super model pakaian dalam Victoria’s Secret (VS), dipilih sebagai Victoria’s Secret Angel dan dinobatkan sebagai model yang memperkenalkan produk terbaru Bra Berlian 124 karat keluaran VS akhir tahun ini. Di lain tempat, pada 2 Oktober 2010, Risty Tagor menikah dengan Rifky Balweel menyerta maskawin cincin emas bertahta berlian.

Acara tersebut, menyertai logika publikasinya, semakin melanggengkan bahwa perempuan identik dengan berlian. Kualitas clarity-color-cut-carrat (4 C) batu terkuat itu dinilai sebagai simbol kualitas kaum hawa. Hal ini terkesan paradoks. Biasanya berlian disemaikan oleh laki-laki kepada perempuan “baik-baik”, manis, lembut, yang (besar kemungkinan) tak mengalami kehidupan sekeras berlian.

Berlian, secara genuine adalah intan. Dalam strata batuan mineral, intan menempati puncak. Ia tak hanya kuat, melainkan (hampir) mutlak kokoh sempurna. Ketika intan (diamond) digosok dan dibentuk, ia menghadirkan efek pantulan cahaya yang cemerlang maksimum (brilliant). Efek brilliant menyilaukan mata untuk memilikinya. Alhasil, tingkat kesempurnaan kekuatan dan keindahannya, membuat berlian tinggi nilai.

Tapi siapa sangka, sebagian perhiasan berlian di dunia diproduksi menggunakan cara yang bertolak belakang dengan keindahannya. Di balik kemilaunya, terdapat kelamnya kemanusiaan. Batu bening yang biasa teruntai indah menggantung di daun telinga, melingkar di leher, atau ajeg dipasang di atas cincin emas yang mengelilingi jari, ternyata didapat dari alam dengan menyertai tindak biadab manusia.

Sudah sering diberitakan bahwa berlian menjadi “penyebab” tragedi kemanusiaan di berbagai belahan muka bumi. Tahun 2009 tim badan keamanan PBB menemukan tanda adanya praktek perdagangan berlian ilegal yang dilakukan Israel di Pantai Gading. Sebelumnya, pada tahun 2003, Kimberley Process Certification Scheme (Skema Sertifikasi Proses Kimberley-KPCS) berusaha menghentikan perdagangan berlian di tengah bangkitnya perang saudara di Angola, Sierra Leone, dan Liberia, yang sebagian besar dibiayai oleh perdagangan berlian ilegal—suaramedia.com (31/10/2009).

Tahun ini, Human Rights Watch meminta lembaga pengawas perdagangan berlian dunia agar Zimbabwe dikeluarkan dari daftar Kimberley Process, sebuah lembaga global yang bertanggungjawab atas upaya mengakhiri perdagangan “berlian berdarah” yang hasilnya dipakai untuk mendanai berbagai peperangan di Afrika. Kelompok HAM yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, ini mengatakan penelitinya memiliki bukti kuat bahwa tentara Zimbabwe membunuh lebih dari 200 orang, memperkosa, dan memaksa anak-anak menjadi budak tambang berlian di Marange—www.bbc.co.uk (28/6/2010).

Dalam dua dekade pasca akhir Perang Dingin, wilayah barat Afrika porak poranda karena perang saudara. Hasil jual penyelundupan berlian dari tambang di Liberia dan Sierra Leone digunakan untuk pembelian senjata dan logistik perang. Lebih dari 200 ribu jiwa hilang memperebutkan tambang batu mulia itu. Sampai 2010, kasus kemanusiaan ini tak banyak diliput media, hingga super model Naomi Campbell mau hadir di persidangan sebagai saksi dari rantai pembantaian manusia di Afrika.

Semua tragedi itu bisa kita lihat melalui fiksi bersyarat data. Film garapan Edward Zwick, Blood Diamond, membuat Leonardo Di Caprio, salah satu pemerannya, menyimpulkan bencana kemanusiaan di Afrika dengan kalimat, “di Amerika Serikat berkilauan berlian, di Afrika berkilauan (api) tembakan.” Juga film ‘Lord of War’, dibintangi aktor flamboyan Nicholas Cage, yang menguak fakta bahwa bisnis berlian dan senjata api merupakan persetubuhan yang sangat hangat dengan darah. Sebuah sajian paradoksal supremasi keindahan perempuan.

Afrika merupakan benua tempat berlian banyak dihasilkan. Mungkin istilah “benua hitam” merupakan upaya menutupi fakta lapang Afrika tempat berlian bergelimang. Afrika Selatan, Angola, Namibia, Botswana, Lesoto, Kongo, Republik Afrika Tengah, Tanzania, Ghana, Cote D’ Ivoire (Pantai Gading), Liberia, Guinea, dan Sirrea Leone, merupakan negara-negara yang di jengkal ranah pijaknya terdapat batu mulia itu. Mungkin kata “hitam” dilekatkan pada benua tempat istilah “Aphartheid” menggema itu untuk menekankan bahwa “mereka”, yang hitam, tak berhak mendapatkan keuntungan dari berlian yang bening nan kemilau. Istilah “Tanjung Harapan” bagi Afrika seakan tak tepat karena harapan akan tegaknya kemanusiaan begitu jauh, laksana ras negroid itu berjalan kaki dari tanah airnya menuju tempat HAM pertamakali berkumandang.

Kita tahu bahwa dehumanisasi tak manusiawi. Tapi entah kenapa bisnis berlian mampu menggerakan pencari perut kenyang menembakan butir kaliber dari AK47 hingga nyawa orang meregang. Jaminan tumpukan uang ekspor industrinya membungkam generasi muda yang kritis dan menjadikan mereka sebagai mesin pembunuh bagi penghalang rantai distribusi berlian. Dan para perempuan pun tak lepas dari pelecehan melalui proses itu.

Tak benar memang bila berlian disalahkan. Namun, batu hasil tempaan tekanan dan suhu tinggi dari alam itu terlanjur dipuja peradaban kuno manusia yang berdasar mental materialistik. Dasar mental itu telah mengukuhkan tangan besi yang merendahkan kelas pekerja untuk menekan biaya produksi.

Evolusi pikir/rasa manusia seharusnya bisa merubah dasar mental itu. Manifesto kekokohan dan keindahan seharusnya bisa dirubah kepada sesuatu yang tak terjebak pada bentuk. Bentuk memang merepresentasikan nilai, dan di balik materi pasti ada spirit (imateri) yang membuat sesuatu jadi ada terasa. Tetapi bentuk tak bisa mewakili nilai secara utuh. Yang material bukanlah yang spiritual penuh. Sehingga, untuk menghindari watak materialistik kita perlu men-cari/temu-kan berlian lain.

Berlian berbentuk batu jelas tak lebih tinggi dari manusia. Sungguh pikir/rasa yang kelam bagi manusia yang menganggap tinggi/rendah-nya nilai ditentukan dengan ada/tidak-nya batu bening berkilau melekat di tubuh manusia. Berlian baru diperlukan untuk menggeser perwakilan wujud nilai tinggi/rendah-nya manusia yang terlalu material(istik) itu.

Berlian yang lain, dalam makna yang kokoh dan indah, bukanlah batu, melainkan manusia itu sendiri. Kemanusiaan merupakan makna yang melampaui materi. Kecemerlangannya berasal dari potensi sebagai makhluk paling sempurna. Ia bukanlah entitas bergeming, melainkan hidup bergerak mencari dan menebar inspirasi bagi kehidupan. Kilaunya bukan berasal karena biasan dan pantulan sinar di luar sekitarnya, melainkan bersumber dari pikir dan rasa kemanusiaan. Sungguh telah rusak hati dan otak kita bila mengorbankan manusia demi kepentingan dan kepemilikan materi.

Tentu tak tak semua berlian di dunia diperoleh dari alam dengan cara kelam. Tapi kenyamanan pikir/rasa kita perlu diganggu. Adalah mutlak bahwa meninggikan perempuan bukanlah dengan tingkat 4C dari seuntai maupun sebongkah batu. Dan hendaklah kita meyakini bahwa menyamakan, menggantikan atau menghilangkan manusia dengan materi adalah dehumanisasi.

Selamat hari HAM sedunia. Cita kemanusiaan di dunia masih jauh dari banyak pasang mata yang memilih melihat tabur berlian di dada Lima, dan kamera yang malah menyorot Risty Tagor dengan berlian penggenap agama. Semoga peringatan HAM tahun ini bisa memalingkan banyak manusia kepada haknya yang asasi. []

Thursday, November 11, 2010

Otonomi Tubuh Perempuan

Oleh USEP HASAN S.

Akhir Agustus 2010, di pantai Venice, California, puluhan perempuan melakukan aksi telanjang dada. Menamakan diri “GoTopless” para perempuan ini menuntut persamaan hak dalam konstitusi Amerika Serikat (Amrik). Perempuan pun harus bisa bertelanjang dada di tempat umum, layaknya laki-laki. Inti perjuangan GoTopless adalah menolak kendali negara (melalui undang-undang) terhadap tubuh perempuan, termasuk dada. Selain itu, GoTopless pun ingin menciptakan kesadaran kepada masyarakat bahwa setiap inci tubuh perempuan―sekali lagi, termasuk dada―dimiliki oleh dirinya; masing-masing perempuan.

Tentu saja, aksi GoTopless membuat sebagian masyarakat Amrik kaget. Mereka terjebak pada bentuk ekspresi aspirasi. Bila reaksi penolakan bisa muncul di Amrik, lalu bagaimana reaksi masyarakat di negara lain? Kita yang saling terhubung di iklim globalisasi, memerlukan penjelasan yang lebih mumpuni.

Sejarah Perjuangan “Tubuh”
Yang dilakukan GoTopless termasuk kategori demonstrasi radikal. Wajar jika menghentak nalar umum. Bentuk unjuk rasa seperti itu disertai pemikiran yang mengakar (radic). Pemikiran tak biasa ini, biasanya, sulit dipahami masyarakat biasa. Sehingga seringkali, agenda demonstrasi terdistorsi oleh proses penafsiran massa dari wujud unjuk rasa yang tak biasa.

Unjuk rasa tak biasa yang serupa, pernah juga dilakukan oleh gerakan feminis di masa lalu. Meski pembahasan tubuh sudah dimulai sejak Plato menyatakan “cogito” (pemikiran) sebagai hal yang penting dibanding tubuh, namun perjuangan perempuan untuk menempatkan tubuhnya sebagai subjek di ruang publik, baru dilakukan di pertengahan abad dua puluh. Adalah feminis(me) radikal yang merintis perjuangan ini.

Seksualitas sebagai tubuh yang berdasar pengalaman dari setiap manusia yang menyertakan perbedaan jenis kelaminnya, bagi feminisme radikal merupakan hal yang sangat penting. Dalam “Filsafat Berperspektif Feminis” (Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), Gadis Arivia menuliskan kembali sejarah perjuangan feminis radikal bagi tubuh perempuan yang ditulis oleh Angela Y. Davis dalam “Women Race & Class” (1983). Dipelopori dengan argumentasi aborsi dan penggunaan alat kontrasepsi di tahun 1960-an, “hak untuk memilih” dijadikan slogan perjuangan. Bukan negara yang menentukan apakah perempuan hamil dan punya anak. Adalah hak bagi setiap perempuan untuk menentukan dirinya hamil dan mempunyai anak atau tidak. Perempuanlah yang mempunyai tubuhnya, sehingga perempuan yang berhak menentukan apa yang terbaik untuk diri perempuan atas tubuhnya.

Saat itu, kontrasepsi merupakan keharusan bagi perempuan. Jenis kontrasepsi yang digunakan pun bukan pilihan perempuan. Bahkan perempuan tak mempunyai kebebasan mengakses alat kontrasepsi beserta informasi kesehatan. Padahal hal ini berdampak langsung pada tubuh, kesehatan bahkan nyawa perempuan.

Demonstrasi terkait tubuh perempuan selanjutnya pernah dilakukan gerakan feminis di tahun 1968, tepatnya saat pemilihan Miss America. Di kontes pemilihan ratu kecantikan se-Amerika itu, berlangsung juga unjuk rasa. Menamakan diri sebagai kelompok feminis radikal, aspirasi yang diusung adalah penolakan terhadap acara pemilihan Miss America. Mereka menilai kontes yang diadakan di Atlantic City itu, sebagai eksploitasi dan perendahan terhadap perempuan.

Seorang jurnalis berkewarganegaraan Australia, Germaine Greer, melakukan aksi teatrikal. Ia membakar segala aksesoris pada tubuh perempuan. Wig, kosmetika, korset, sepatu hak tinggi, hingga bra, dibuang ke sebuah wadah yang dinamai “The Freedom Trash Can”, lalu dibakarnya. Aksi ini kemudian dikenal bernama “The Bra Burning”.

Aksi “The Bra Burning” dinilai radikal, karena menohok pemahaman umum masyarakat. Perempuan saat itu direpresentasikan secara tunggal oleh nalar konsumtif yang dikendalikan kepentingan bisnis. Tubuh perempuan dinilai sebagai “perempuan” bila menggunakan bra, kosmetika, sepatu hak, atau yang modis lainnya. Perempuan dieksploitasi tubuhnya oleh kalangan pemodal. Akibatnya otonomi tubuh perempuan hilang, dikendalikan trend fashion.

Fenomena “Queen of Pop” Madonna di fase 1990-an, pun disikapi sebagian feminis dengan isu kepemilikan tubuh perempuan. Buku Madonna berjudul “Sex” yang berisi gambar seksual provokatif dan eksplisit, menimbulkan reaksi negatif dari media dan masyarakat. Reaksi tersebut berlanjut saat Madonna melahirkan album berjudul “Erotica”. Bagi mereka yang sepakat dengan sikap Madonna, berargumen bahwa eksistensi tubuh perempuan merupakan pilihan mutlak si perempuan, sebagai pemilik tubuh. Mereka memposisikan Madonna sebagai wujud kritik radikal terhadap masyarakat dan negara yang memaksa individu perempuan dalam menentukan eksistensi tubuhnya.

Buka-Tutup Tubuh Perempuan
Kebijakan publik di Perancis bisa menjadi kasus menarik untuk membahas kendali negara terhadap tubuh perempuan. Di tahun 1989, berjilbab dilarang oleh sebagian sekolah negeri di Perancis. Sebagian masyarakat Perancis lalu memportes larangan jilbab tersebut. Kasus ini mengundang perdebatan publik. Pemerintah Perancis lalu mengeluarkan aturan yang memperbolehkan perempuan mengekspresikan keyakinan dan agama yang dianut di ruang publik. Tapi di tahun 1994, lahir kebijakan pelarangan semua simbol agama, termasuk jilbab.

Hingga kini, menggunakan jilbab di Perancis masih dilarang di lembaga-lembaga pemerintah, termasuk di sekolah negeri. Dan hingga kini pula, pro-kontra terhadap kebijakan tersebut masih berlangsung.

Sejarahwan agama dan peneliti gender asal Swedia, Anne Sofie Roald, dalam "Notions of 'Male' and 'Female' Among Contemporary Muslims: With Special Reference to Islamists" (1999) menyatakan bahwa dalam perspektif feminis, jilbab hampir tak pernah diperlakukan sebagai pertanyaan agama. Jilbab oleh para feminis ditempatkan dalam pembahasan hak kebebasan memilih untuk individu perempuan. Dan oleh feminis muslim, hak kebebasan mimilih bagi individu perempuan dalam berjilbab dikaitkan dengan hak kebebasan berkeyakinan. Penekanan ini yang membuat feminis muslim Mesir, Mai Yamani, menulis “Feminism and Islam”. Ia menyimpulkan, pertanyaan yang relevan untuk hal ini bagi feminis Muslim dalam perjuangannya, apakah hak perempuan untuk memilih berjilbab atau tak berjilbab sudah terpenuhi di ruang publik?

Kesimpulan para feminis tersebut bisa menjadi dasar penilaian bahwa pemerintah tak boleh menerapkan hukum publik yang mengatur individu dalam berpakaian. Negara tak bisa memaksa warganya untuk menutup atau membuka pakaian, termasuk melarang atau mengharuskan suatu bentuk pakaian.

Demikian pula dengan peraturan daerah “bernuansa syariat” yang diberlakukan di sejumlah daerah di Indonesia kontraproduktif terhadap semangat feminisme yang memperjuangankan otonomi tubuh perempuan. Mengatur perempuan untuk berjilbab melalui undang-undang merupakan kebijakan yang tak sesuai dengan hak kebebasan memilih dan berkeyakinan.

Negara dan masyarakat tak bisa memaksakan setiap individu untuk menutup atau membuka tubuhnya. Salah satu yang ingin disuarakan feminis adalah tubuh perempuan sepenuhnya dimiliki perempuan. Banyak perempuan tak menyadari hal ini, dan menganggap tubuhnya sebagai sesuatu yang asing. Bahkan sebagian perempuan malah meyakini tubuhnya harus diatur oleh sesuatu di luar dirinya, termasuk oleh laki-laki.

Para feminis, khususnya yang radikal, meyakini bahwa sosial budaya ruang publik saat ini dinilai ajeg dari konstruksi sudut pandang laki-laki. Sehingga, cara berpakaian perempuan dinilai layak atau tidak berdasar pada perspektif patriarkal. Lebih jauh lagi, patriarkal menyimpulkan bahwa moralitas perempuan ditentukan oleh cara perempuan berpakaian.

Demonstrasi GoTopless dan aksi protes menentang pelarangan jilbab, secara substansi merupakan perjuangan yang sama. Tak ada yang bisa memaksa setiap individu untuk memilih, mau menutup atau membuka tubuhnya. Maka, pertanyaan tentang otonomi tubuh, apakah pakaian yang anda kenakan di tubuh anda saat ini, didasari oleh perintah dari pihak di luar anda? Jika ya, perjuangkan hak kebebasan memilih berpakaian bagi tubuh anda; dengan cara radikal jika perlu.

USEP HASAN S.
jurnalis di Jurnal Perempuan
http://www.jurnalperempuan.com/index.php/jpo/comments/otonomi_tubuh_perempuan/